Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Andrea Hirata dan Saatnya Balas Tulisan Dengan Tulisan

Sabtu, 23 Februari 2013

Entah kenapa, simpati saya atas ANDREA HIRATA--seorang penulis buku yang sama-sama pernah bekerja di perusahaan telekomunikasi, berada pada titik nadir.

Berbagai macam alasan muncul, salah satu alasannya adalah bagaimana dia membuat dikotomi antara ‘penulis’ dan ‘blogger’. Padahal dalam dunia blogging itu sendiri—selain para jurnalis, blogger sendiri juga banyak yang berbasis penulis buku atau calon penulis buku. Lebih anehnya lagi, dengan latar belakang pekerjaan lama di dunia telekomunikasi, masa sih tidak tahu jika weblog adalah sebuah tempat atau wadah baru 'menitipkan' tulisan di dunia internet yang kian maju?

Bahkan wartawan jaman sekarang, banyak yang ‘menolak’ disebut kuli tinta dan lebih suka disebut kuli BB (blackberry) karena faktanya memang benda dari Canada ini yang lebih banyak dipakai untuk mencatatkan bahan reportasenya di bandingkan pena atau pulpen seperti zaman terdahulu.

Sedangkan alasan kedua, prinsip standar tulisan di balas tulisan yang lazim di lakukan oleh mereka yang mengaku ‘penulis’ tidak dilakukannya. Padahal jika memang ia penulis novel yang (konon) laris manis tanjung kimpul—rasanya mudah sekali membuat tulisan balasan. Apalagi (konon lagi) ia mempunyai banyak data yang bisa mematahkan tulisan sang ‘blogger’ tersebut.

Byuh, sudah—capek juga menulis dengan banyak sekali tanda kutip seperti diatas.

Sekarang mendingan saya sedikit berbagi kisah tentang kejadian tulisan yang di balas dengan tulisan. Kisah yang terjadi sekitar bulan Desember tahun 2011 di Kompasiana ini. Saat itu, saya terkaget dengan naiknya Headline di Kompasiana dengan judul Laundry, Ancaman Pencemaran yang Dininabobokan oleh Kebersihan, Kelembutan dan Wewangian tulisan mas Dhanang Dhave.

Sontak saya terperangah dan sedikit panik. Maklum, di kawasan Bekasi—mungkin laundry kiloan yang dibuat istriku termasuk angkatan pertama yang memulainya. Muncul kekhawatiran besar, tulisan headlines ini akan merusak citra usaha yang dirintis istriku. Sempat membalas komen, tapi mengingat gawatnya nama besar dan Kompasiana dalam mesin penjelajah Google mau tidak mau sebagai suami yang (pengen) di cap baik oleh istrinya maka aku segera angat senjata... eh keyboard ding.

Lalu meluncurlah tulisan balasan Jawaban: Ancaman Bisnis Laundry Kiloan di hari dan tanggal yang sama.Hasilnya, bukan hanya tulisan dibalas tulisan namun HL dibalas HL. Kekhawatiranku berkurang, keseimbangan opini mulai terbentuk. Nafas pun menjadi melega.

1361603311389690581

HL dibalas HL


Setelah tulisan ini berbalas, tentu muncul pertanyaan: “bagaiamana hubungan kami (saya dan mas Dhanang) setelah berbalas tulisan?”

Memang, pastinya setelah kemunculan tulisan berbalas ini, sempat muncul perasaan yang tidak nyaman. Namun, nyatanya setelah kejadian itu—kami malah saling add pertemanan baik di Kompasiana, Facebook, twitter mau pun Istagram. Bahkan setelah itu, tak jarang kami saling jempol komen, foto bahkan saling jitak di socmed.

Kami sama-sama sadar dan mengerti. Yang kami lakukan hanyalah sekedar berbagi sudut pandang. Sudut pandang yang pastinya berbeda. Agak terasa menyerang jika malah tidak ada tulisan berbalas. Aku pun  juga makin tahu latar belakang tulisan mas Dhanang yang memang expertasinya di bidang Biologi—tak jauh dari kesehariannya mengajar kelas pascasarjana di sebuah kampus swasta di Salatiga. Dan aku yakin mas Dhanang juga mengerti latar belakang tulisanku yang ingin menyelamatkan salah satu pilar ekonomi keluarga rintisan istriku dengan sodoran data-data berbasis ilmu kimia dan entrepreneurship.

Sedangkan pertanyaan kedua soal siapa yang kalah dalam masalah ini, maka jawabannya adalah tidak ada yang kalah tapi yang pasti kami sama-sama menang! Saya merasa bertambah ilmu dan tahu wawasan temen-temen berlatar belakang Biologi. Belum lagi keuntungan tambahan saudara dan hiburan foto-foto cantik mas Dhanang di komunitas Kampretos dimana ternyata kemampuan dan karya mas Dhanang di dunia fotografi sungguh memikat.

Nah, kembali ke masalah Andrea Hirata. Rasanya sangat naif jika ‘sekedar’ tulisan yang sama-sama dari seorang penulis kok sampai di bawa ke meja hijau. Apa tidak lebih baik meniru langkah saya yang pernah mencoba membawa mas Dhanang ke meja makan. Meja makan Nasgorkam Kebon Sirih yang sangat terkenal itu. Ajakan yang belum terjawab karena mungkin ada alasan sederhana yaitu soal ongkos transport ke Jakarta dari Salatiga tidak sebanding dengan harga Nasgorkam campur Sate Kambingnya.

Ah…. Sudahlah, siapalah saya kok menyuruh-nyuruh orang sekaliber penulis 'best seller internasional' ini. Saya cuman mendadak ingat tagline iklan rokok mild jaman dulu.

Tua itu pasti jadi Dewasa itu pilihan.

[Hazmi Srondol]

Tidak ada komentar

Don't Miss