Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Pengalaman Perbaikan Focusing Screen Canon EOS 1100D di Datascript (Canon Service Centre)

Posted on Sabtu, 05 Januari 2013 Tidak ada komentar

Sabtu, 05 Januari 2013

“Kenapa kameranya, pak?” kata istriku penasaran melihatku berulang kali mengintip lubang intip (prisma viewfinder) kamera DSLR kesayanganku itu.

“Ada debu nempel di dalam kameranya, Buk” jawabku dengan perasaan gundah.

“Bawa ke sercive centre nya saja pak” saran istriku hati-hati.

“Nggak usah lah, engineer gini kok gampang menyerah. Dikit-dikit service, mahal biayanya. Ntar bapak bersihin sendiri aja, Buk” kataku menjelaskan.

Mendengar kata ‘biaya mahal’, langsung membuat istriku terdiam dan ngloyor pergi menjauh. Maklum saja, namanya juga menteri keuangan rumah tangga—soal duit itu segalanya, termasuk penghematannya.

Penghematan itu jua lah yang sejak setahun yang lalu akhirnya aku membeli kamera DSLR merk Canon 1100D. Kamera yang rencananya akan aku pakai untuk membuat short movie atau film pendek. Maklum, setelah lama blogging lewat tulisan dan sudah menghasilkan sebuah novel komedi “Srondol Gayus Ke Italy”, aku berfikir untuk mencoba bidang lain dalam dunia blogging. Harus bisa membuat cerita atau reportase versi audio visual atau lebih gampangnya disebut video.

Kamera yang aku beli itu sebenarnya kelasnya merupakan entry level dengan harga yang terjangkau. Waktu aku membeli, harganya masih sekitar 4,5 juta. Namun dengan harga yang termurah, bukan berarti hasilnya murahan. Sebenarnya aku ingin sekali membeli Canon dengan seri 7D, tetapi istriku menolak keras. Menurutnya, dengan anggaran sebesar 15 juta rupiah—aku bisa membeli kamera sekaligus aksesoris dan perlengakapannya.

Dan memang benar kata istriku ini, dengan anggaran seharga Canon 7D—aku bisa membeli sebuah kamera DSLR lengkap dengan lensa kit (18-55mm) ditambah dua lensa fixed 50mm/f1.8 dan lensa zoom Sigma 70-300mm serta seperangkat monitor TV LCD 7” untuk memperjelas tampilan ketika main DSLR video beserta tetek bengeknya seperti recorder digital stereo ZOOM H1, pistol grip, tripot, monopot dan spider rig.

Untuk aksesoris monitor TV 7” ini ada seorang kawan yang menanyakan, kenapa mesti memakai monitor segede Gaban ini? Lha iyalah, namanya mata sudah mulai tua. Hehehe. LCD viewfinder 2,7” atau 3” masih tidak cukup jelas dilihat, apalagi untuk capture video yang waktu jepretnya lebih lama dan melelahkan mata daripada memfoto.

Oh ya, awalnya aku sendiri kurang yakin, apakah dengan kamera entry level ini akan menghasilkan video yang baik dan bagus. Namun setelah mencoba, terbukti kamera ini hasilnya sudah sangat keren untuk ukuranku sendiri. Apalagi setelah rencana membuat short movie diundur karena ternyata banyak sekali faktor pendukung yang belum siap untuk aku lakukan seperti team, ijin lokasi shooting, alih cerita ke skenario hingga aktor-aktor gratisan yang susah didapat. Akhirnya, dengan segala keterbatasan, ide dialihkan ke dunia reportase video yang bisa dilihat hasilnya di channel youtube-ku di SINI.

13572503281395986421

Aksi Video Blogging dengan Canon EOS 1100D


 

Dari sekitar 50 an video awal-ku, 75% diantaranya merupakan hasil capture dengan kamera ini. Sisanya merupakan video dari kompilasi foto atau capture dari Blackberry dan Android phone. Hasil memuaskan pun  kudapat. Pilihanku benar, kalau sama-sama belum bersensor Full Frame seperti Canon 5D, lebih baik memakai kamera ini, toh kelas yang diatasnya (550D, 600D, 650D, 60D atau 7D) dan lebih mahal toh sama-sama  yang mempunyai sensor APC-S dan processor DIGIC 4—cuman bedanya seri APS-C yang lain sudah CMOS yang bisa full HD sedangkan seri 1100D ku baru ke taraf HD.

Perbedaan ini pun hampir-hampir tidak terlihat, apalagi sebagian besar hasil video diunggah ke Youtube atau di convert ke VCD. Mungkin jika sudah di tayangkan ke layar lebar di bioskop akan mulai sedikit terlihat bedanya. Walau pun aku yakin, tidak banyak yang tahu bagaimana membedakannya. Toh soal kualitas hasil juga tergantung ketepatan memilih alur cerita/reportase, lensa, audio dan tentu saja editing nya. Untuk editing reportase yang membutuhkan kecepatan editing, aku lebih memilih memakai Corel Video Studio Pro X5.

Dan kelebihan utama kamera Canon EOS 1100D dibandingkan ‘kakak-kakak’ nya yang sama-sama bersensor APS-C adalah hampir tidak adanya isyu OVER HEATING atau kamera DSLR mati mendadak karena kepanasan. Belum lagi daya tahan baterai yang lebih lama. Cocok untuk blogger video yang mobilitasnya tinggi dan anggaran membeli batarai cadangan disunat istri. Hihihi...

Kemudian, setelah melihat banyaknya hasil video yang aku buat aku sempat mencoba melobby istri untuk upgrade ke kamera bersensor full frame seperti Canon 5D Mark III atau versi down-grade nya Canon 6D. Namun sayangnya, proposal ini ditolak dengan alasan sederhana—selama belum ada sponsor dan belum menghasilkan tambahan pemasukan, apalagi hanya untuk hobby mendingan pakai saja senjata yang sudah ada. Iya deeeeh booos...

Nah, saking seringnya memakai kamera ini untuk membuat video termasuk gonta-ganti lensa—tak sadar debu pun iseng masuk ke dalamnya. Hal ini baru aku sadari setelah saat malam tahun baru aku mencoba menggunakan kamera ini untuk memfoto kembang api. Alamak paniknya, satu titik debu dan beberapa titik halus lainnya tampak dari lubang intipnya. Dari hasil cek hasil fotonya di komputer ternyata tidak ada masalah. Dugaanku debu ini menempel di bagian yang bernama focusing screen.

Dengan semangat ‘engineer’, aku mencoba browsing di internet cara membersihkan bagian itu. Dengan gagah berani, aku coba semprot dengan Dust Off yang iasa aku pakai untuk membersihkan optik perangkat telekomunikasi. Hasilnya nihil, debu masih mesra menempel di focusing screennya. Alhasil, dengan hati-hati aku coba copot sendiri focusing screennya—menyontek arahan di situs internet. Sayang seribu sayang, bukannya tambah bersih. Malah makin kotor gara-gara FS nya mungkin tersenggol sesuatu saat dimasukan kembali ke kameranya.

Dengan badan gemetaran, pagi pagi aku coba twit akun twitter @Canon_Indonesia dan mengibarkan bendera putih atas keisenganku yang luar biasa ini. Aku pun akhirnya menelepon Datascrip – Canon Service Centre Bekasi. Alamak, memang sih harga spare partnya cukup murah, hanya 30 ribu namun biaya pasangnya 175 ribu. Dan itu pun, spare part nya belum ada, mesti ke pusatnya di Jakarta.

Dengan gontai, akhirnya saing hari (2/2/2013) aku mengajak anakku ke Datascrip (Canon Service Centre) di daerah komplek Mangga Dua, tepatnya di Ruko Grand Boutique Center Blok B no 3-4, Jl Mangga Dua Raya, Jakarta.

Setelah mengambil nomor, akhirnya aku pun segera menjelaskan permasalahan yang menimpa kamera kesayangan ini beserta menunjukan kartu garansi yang sebenarnya sudah lewat masanya dua minggu dari jadwal. Harap maklum, bagi kamera Canon yang tidak memakai kartu garansi dari datascrip ini akan di kenakan biaya service dua kali lipat dari tarif normalnya. Aku dengan ikhlas menerima apa pun biaya yang harus di keluarkan.

Mungkin karena ikhlas akan menghadapi resiko biaya, aku tidak terlalu stress saat mbak Customer Service bilang kalau akan mengganti focusing screen harus sekalian dibersihkan sensornya. Dan dengan sopan mbak CS nya menyampaikan progres kerjanya adalah membersihkan sensor, body dan finder beserta menganti focusing screennya itu sendiri.

“Jadi biayanya kena berapa mbak” kataku lemas sambil menahan nafas.

“Rp. 30.800,00 pak” jawabnya

“Hah? Serius mbak?” kataku girang namun masih tidak percaya.

“Iya, pak. Bapak cukup bayar spare part nya saja” jelasnya sambil tersenyum.

“lha garansinya gimana? Kan sudah habis mbak?” kataku masih belum yakin.

“Kami beri toleransi 1 bulan, pak. Garansi bapak baru terlewat dua minggu jadi masih bolehlah berlaku” jelasnya kali ini yang membuat badanku serasa ringan seperti kapas. 30 reboo gitu looh!

“Jadi, bapak mau di tunggu atau di tinggal kameranya pak?” tanya mbak CS yang langsung aku jawab aku akan menunggunya dan jawabanku ini di balas dengan stempel QUICK SERVICE berwarna merah di lembar Surat Perintah Kerjanya.

13572506431404102692

Datasrip - Canon Care Centre Jakarta


 

Tak masalah bagiku jika harus menunggu dua jam di tempat service Canon ini. Lha bagaimana tidak masalah, wong tempatnya sejuk ber AC. Sudah begitu tersedia kopi Nescafe, coklat Milo, teh susu yang bisa kita ambil sendiri di alat nya sendiri. Mau sholat dan ke toilet juga tersedia ruangannya. Bawa anak seperti Thole yang super aktif ini juga tidak masalah, di pojokan ruangan tersedia meja bermain yang puas diobrak-abrik Thole. Wah, serasa di rumah sendiri rasanya. Saking serasa di rumahnya, kami sempat tertidur di sofa empuk setelah perut terisi Milo hangat.

Saat terbangun, jam sudah menunjukan pukul 16.10. Lalu aku pun segera menuju ke mbak CS sebelumnya. Tak lama, datang lah kamera Canon EOS 1100D kesayangan tersebut yang di bungkus plastik rapi.

“Dimana bayarnya mbak” kataku sambil menabut dompet di celana.

“Nggak jadi bayar, Pak” jawab mbak CS

“Maksudnya?”

“Gratis, pak. Di kertas SPK nya di coret biayanya” jawabnya masih tetap tersenyum.

Aku tersenyum lebar, anakku pun juga. Ah, luar biasa sekali hari ini. Aku yang datang dengan hopeless, kini pulang ke Bekasi dengan perasaan girang luar biasa. Dalam perjalan pulang aku berdoa supaya Canon Indonesia di beri kesuksesan luar biasa di tahun baru ini dan seterusnya. Aku yakin, kebaikan akan dibalas Tuhan dengan “invisible hand” nya yang dalam teori ekonomi makro sangat besar pengaruh dan perannya dalam kesuksesan suatu usaha. Amiin.

......

“Wiuh beneran gratis tadi nih pak?” kata istriku girang.

“Beneran, Buk. Bapak jadi makin pede buat beli kamera Canon lainnya kalau mau bikin shortmovie atau film” kataku.

“hmm, emang mau beli yang mana? Yang 5D dulu itu?” katanya menjawab yang terlihat mulai berubah roman wajahnya.

“Bukan, nanggung lah. Kalau khusus buat film atau cinema, kayaknya bapak mau beli Canon C100 atau Canon C500 ajah. Toh kalau ada apa-apa aman. Sudah tahu tempat service nya” kataku menjelaskan.

“Emang berapa duit?” tanyanya sambil megerutkan dahi.

“Yang Canon C100 sekitar 70 jutaan, yang Canon C500 sekitar 300 jutaan lah” jelasku kepadanya.

“Hmm, boleh sih pak. Tapi...”

“Tapi apa, buk?”

“Tapi bapak berangkat kerja ke kantor tiap hari naik sepeda genjot dari Bekasi ke Jakarta trus makan siangnya bawa bekel, trus..... “

Tiiiiiiit, Sensor. Syaratnya kepanjangan.

-------

Twitter: @hazmiSRONDOL
Don't Miss