Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Menjaga Nasionalisme Lewat Odong-Odong

Posted on Minggu, 19 Juni 2011 Tidak ada komentar

Minggu, 19 Juni 2011

Pertama kali aku pindah ke Bekasi ini, aku mempunyai tetangga yang pekerjaannya sangat berbeda dari tetangga yang lain.

Tetanggaku ini bekerja sebagai penarik/pengenjot odong-odong. Odong-odong yang terbuat dari modifikasi becak yang diberi hiasan kepala garuda dan dilengkapi seperangkat sound system ala kadarnya dengan speaker keras dan memekakkan telinga.

Tetanggaku itu pun lebih dikenal dengan panggilan Pakde Odong-odong. Suara keras odong-odong Pakde selalu mengagetkanku disaat hari libur atau sore disaat aku tidak masuk kerja. Kadang-kadang disaat santai dan leyeh-leyeh di depan rumah, Pakde ini bukannya segera pergi tapi malah berhenti didepan rumahku.

Mentang-mentang tinggalnya satu deretan dengan rumahku. Mentang-mentang dulu juga orang Semarang sepertiku, Pakde ini kalau bertemu suka mengajakku ngobrol ngalor-ngidul tidak karuan. Bahkan kadang pembicaraannya aneh bin ajaib sekaligus sok tahu.

Contohnya saat Pakde Odong-odong bercerita kalau dirinya bakal berumur panjang. Katanya, dia diramalkan akan berumur sampai 107 tahun. Tentu saja demi suasana aman dan tentram aku mengiyakan saja. Malas berdebat, paling hanya berkomentar pendek seperti:

“Enak dong Pakde, tahu bakal berumur panjang begitu” kataku ala kadarnya alias basa basi lebih tepatnya

“Enak apaan?” jawabnya sambil bersungut.

“Loh, kan bisa berumur 107 tahun” kataku keheranan.

“Masalahnya aku sekarang masih berumur 47 tahun, mas Ndol”.

“Lha trus?”.

“Lha berarti aku masih 60 tahun lagi dong sengsaranya? Lama bener hidup melaratnya” jawabnya dengan wajah serius.

Sumpah aku jadi ngakak dalam hati. Ngakak dan langsung memberikan penghakiman kalau odong-odong itu adalah sebuah alat wirausaha yang konyol, norak, koplak dan sangat menganggu. Tidak jauh-jauhlah dari image yang sangat melekat pada sosok Pakde Odong-odong ini.

Namun pada suatu sore di hari minggu, Pakde Odong-Odong kesleo engkel kakinya saat bermain voli di lapangan RT. Akibat kesleo, Pakde mau tidak mau harus pensiun dini sebagai penarik becak Odong-odong. Dari RT dan RW, pakde diangkat menjadi satpam perumahan untuk membantu mencarikan solusi pekerjaan baru yang cocok untuk Pakde.

Aku sempat girang, suara berisik speaker itu menghilang untuk beberapa saat. Tapi ya cuman beberapa saat saja. Setelah itu ternyata malah bermunculan odong-odong baru dengan bentuk dan variasi yang makin aneh-aneh lagi.

Ada yang mirip kuda-kudaan, mandi bola, bianglala dan lain sebagainya. Tentu sja lengkap dengan sound system dengan suara yang memekakkan telingan.

Hal menjengkelkan ini akhirnya jadi bahan pembicaraan dengan sopir kantorku yang hari itu mengantarku pulang ke rumah. Aku menceritakan kejengkelan-kejengkelan kepada odong-odong ini. Dari modelnya yang norak, maksa dan lebay.

Bayangkan saja, ada model berupa kereta Thomas And Friend tapi kok keretanya ada gambar rambut kuncungnya di depan. Lha ini menabrak pakem. Coba kalau yang punya lisensi nya tahu, apa nggak marah-marah tidak karuan?

Namun entah kenapa, tampaknya sopir kantorku ini tidak sependapat denganku. Dia malah memuji-muji adanya odong-odong ini. “Coba dengar lagu dari speaker sembernya pak?” katanya.

“Iya, emang kenapa?”.

“Tuh, pasti lagu yang diputar lagu anak-anak ama lagu nasional” jelasnya.

“Lha terus?”.

“Lha berarti odong-odonglah penjaga jiwa ceria sekaligus penjaga nasionalisme anak-anak Indonesia pak” jelasnya.

Aih! Aku jadi malu bukan kepalang.

Ternyata benar apa kata sopirku ini. Dari dalam mobil aku mendengar beberapa odong-odong memutar lagu anak-anak yang memang untuk anak-anak. Bukan lagu dewasa yang dinyanyikan anak-anak. Bahkan ada odong-odong lain masih menyetel lagu nasional dengan kerasnya di sudut yag lain.

Aku terdiam, makin tambah malu. Aku yang mengaku nasionalis ini, bahkan sampai namaku di FB pun aku tulis “Hazmi Srondol Indonesia Banget” pun tampak seperti orang bodoh dimata sopir kantorku.

Mosok sampai esensi sederhana soal nasionalisme dari adanya odong-odong ini luput dari perhatian.

Rupanya aku ini terlalu sok-sokan berkutat membahas hal-hal yang ketinggian dan jauh dari membumi. Padahal di depan mata, ada beberapa orang yang kreatif mencari rejeki dengan berwirausaha, ladang rejeki dengan 7 pintunya, yang lebih banyak hanya sekedar menjadi buruh atau pegawai sekaligus pelestari lagu anak dan lagu nasional yang sudah jarang disiarkan di televisi atau jangan-jangan di sekolahan juga.

***

Senayan, Piala AFC 2010

“Gimana mas? Sudah hapal kan lagu yang bapak nyanyikan tadi?”.

“Lagu yang mana?” tanyanya balik.

“Itu, Lagu Garuda Di Dadaku yang bapak dan orang-orang bareng-bareng nyanyikan!” jelasku.

“.....” Thole diam saja, entah mengerti atau malas menjawab pertanyaanku.

Sungguh aku kecewa sekali. Padahal beberpaka kali mas Thole ini aku ajak menonton langsung pertandingan itu agar anakku bisa merasakan atmosfir saat menyanyikan lagu Indonesia Raya serta lagu koor penyemangat yang Indonesia banget. Tapi ya sudahlah, aku menyimpan kesal dan jengkel. Bahkan sampai keesokan harinya dan berakhir saat tiba-tiba mas Thole menyanyikan lagu Mars suporter Timnas PSSI seperti ini:

Garuda di dadaku Yarabe Sorendoreri Ku yakin hari ini pasti menang..

Apuse kokon dao Tunjukkan keinginanmu Wuf lenso bani nema baki pase

Aku mendadak jadi kaget, heran dengan cara mas Thole menyanyikan lagu itu dengan nada berselang—seling dengan lagu daerah Papua itu. Aku juga heran, darimana mas Thole tahu kalau lagu itu mempunyai nada irama yang sama.

“Mas!”

“Iya Bapak”

“Kok tahu lagunya miripi Apuse? Tahu dari maa?”

“Dari odong-odong yang lewat bapaaaaak!” jawabnya sambil berteriak.

Aih, aku maluuuuu sekali!

[Hazmi Srondol]

Buku: Antara “SUBWAY” ala Novel Ouda Saija dan MRT Jakarta

Posted on Tidak ada komentar
Tepat sesaat kendaraan yang aku kemudikan berjalan tidak lebih dari 1 km dari rumah, mendadak aku menerima pesan pendek di Blackberry dari istriku. Pesan yang sangat mengejutkan, pesan yang ternyata kabar datangnya sebuah surat dari Amerika tepatnya dari Chicago.

Langsung saja aku menelepon balik dan menanyakan siapa gerangan pengirimnya dan apa isinya.

Diseberang telefon istriku memberi kabar jika ternyata isinya adalah sebuah buku berjudul “EVIL EYES ON THE SUBWAY” karya sahabatku nun jauh disana, Om Ouda T. Ena yang sering aku panggil 'prof Ouda' karena aliran tulisan flash fiction yang berbentuk sebuah cerita pendek yang tak lebih dari 500 kata.

Cerita yang digarapnya selalu meninggalkan bekas memori dan imajinasi yang jauh lebih panjang dari kata-katanya. Khas garapan orang ber-itelejensi tinggi ala profesor-profesor di kampus-kampus perguruan tinggi. Andaikan saja tidak ada janji Kopdar di TIM dengan teman-teman  sebelumnya, tentu aku sudah berbalik arah dan kembali ke rumah untuk segera membaca kumpulan cerita pendek ini.

Eit, jangan berprasangka kalau aku menulis kata-kata diatas hanya untuk menyenangkan hati sahabatku ini. Tapi memang ada hal yang membuat aku memang sangat membutuhkan cerita tersebut. Hal tersebut adalah soal kata SUBWAY di judul sampul buku itu.

Sudah bukan rahasia lagi memang aku termasuk anggota 'roker' Bekasi alias rombongan kereta KRL sebagai sarana transportasi utamaku menuju ke kantor. Sudah begitu, sudah setahun terakhir aku terlibat dalam proyek relokasi utilitas jaringan fiber optik kantorku yang bersinggungan dengan proyek MRT Jakarta alias Mass Rapit Transport yang merupakan proyek subway pertama di Indonesia.

Dimana proyek tersebut merupakan proyek pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pembiayaan dana-nya sebagian besar dari Jepang (JICA) dengan skema Special Term for Economic Partnership (STEP).

Dalam berbagai seminar dan meeting koordinasi yang aku ikuti perihal ini, aku sering menerima paparan baik berupa file cetak maupun video yang menggambarkan pembangunan tahap 1 (Lebak Bulus- Bundaran HI)-nya yang sepanjang 15, 7 Km dengan bagian bawah tanahnya sekitar 5,9 Km. Dan panjang ini seperrtinya akan di perpanjang sampai Stasiun Kota jika pembangunan tahap 1 nya tidak menemui banyak masalah.

Nah, dari beberapa paparan tersebut membuatku sering berandai-andai atau membayangkan bagaimana kirannya suasana dalam stasiun dan kereta subway tersebut. Walaupun pernah merasakan sedikit pengalaman naik kereta subway di luar negeri, tapi rasanya masih belum memuaskan. Terlalu sedikit sudut pandang yang aku lihat.

Dan di novel ini, aku menemukan kepuasan tersendiri. Banyak istilah-istilah tentang kereta subway aku temukan dari nama stasiun seperti Roosevelt Station, Chichago station, Red line train station, Filder Street Station atau istilah lain seperti subway tunnel dan lain sebagainya.

Belum lagi memang setting beberapa ceritanya banyak yang berlatar belakang suasana baik stasiun maupun di dalam kereta subway itu sendiri. Sekali lagi, langsung terbayang jika kata-kata didalamnya adalah Senayan Station, Istora Station, Bendungan Hilir Station dan lain sebagainya.

Bahkan lebih gawatnya, aku mendadak juga membayangkan kisah asmara nyata di subway New York dimana ada seorang ahli design web bernama Patrick Moberg dari Brooklyn yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada sosok gadis cantik yang ia temui di kereta subway Manhattan dan sayangnya dia kehilangan jejak dan untuk menemukan sosoknya dia menyebarkan sketsa gadis tersebut di internet.

Ajaib, dalam waktu 48 jam, atas bantuan email, chat dan telefon dari warga New York akhirnya gadis itu dapat di temukan. Ternyata gadis berambut pirang itu adalah Camille Hayton dari Melbourne, Australia.

Nah, jadilah kisah mereka disebut sebagai kisah “Romeo Bawah Tanah” yang sangat terkenal di dunia maya abad ini.

Kembali kepada soal buku Prof Ouda ini, gambaran lain kisah di sekitar subway banyak terwakilkan dan tentu saja kisah-kisah didalam buku ini bakal menginspirasi penulis lain dalam mencari setting latar belakang cerita baik fiksi maupun non fiksi jika MRT 'subway' Indonesia sudah selesai pembangunannya. Tentu dengan cita rasa ala Indonesia.

Termasuk juga aku sendiri. Jadi, siapa cepat dapat. Hehehe...

Namun begitu, dibalik kehebatan buku ini, terdapat juga sedikit kekurangannya. Kekurangannya adalah soal bahasa, maklum saja semuanya berbahasa Inggris. Dan untuk peraih nilai TOEFL pas-pasan asal sesuai standar masuk kerja sepertiku, perlu sahabat lain dalam membaca buku ini yaitu kamus dan tentu saja mbah google translator. Heheheh...

[Hazmi Srondol]
Don't Miss