Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Kisah Tanda Tangan Palsu

Posted on Sabtu, 08 Mei 2010 Tidak ada komentar

Sabtu, 08 Mei 2010






Sewaktu SD, ada satu mata pelajaran yang paling aku sukai. Pelajaran itu adalah pelajaran “Menulis Halus”. Pelajaran yang aku belum tahu, apakah masih ada untuk anak SD jaman sekarang atau tidak.

Banyak alasan kenapa aku suka sekali pelajaran ini. Diantaranya adalah pelajaran ini satu-satunya pelajaran yang tidak perlu banyak membutuhkan otak untuk menghapalkan. Belum lagi, aku suka sekali menulis huruf yang disambung. Sepertinya aku terobsesi dengan tulisan Almarhum Bapak dan Ibuku. Belum lagi, betapa senang melihat temen cewek yang sangat tersiksa dengan pelajaran menulis halus ini. Mereka kan sukanya menulis dengan huruf balok, tidak seperti aku yang sukanya disambung. Bukan jahat, sedikit iseng saja.

Banyak kenangan yang masih aku ingat dari pelajaran ini. Dari buku khusus menulis halus yang bersampul warna biru dongker tua dengan merk “Cap Banteng” sampai sindiran dari temen-temen yang aku suka lama-lamain menulis halusnya. Padahal, memang harus aku akui tulisan halusku sebanarnya banyak nabrak garis bantu di buku menulis halusnya. Sampai-sampai, beberapa temanku SD tertawa melihat tulisanku yang ternyata kata mereka “kaya bapak-bapak”.


Aku sempat kesal dengan olok-olok ini. Tapi semakin besar, aku semakin paham manfaat dari menulis halus ini. Diantaranya adalah kecepatan menulis yang lebih tinggi, merangsang otak untuk tetap menjaga aturan walau cuman sekedar aturan menjaga tarikan tulisan tidak menabrak garis. Walaupun di olok-olok tulisan kayak bapak-bapak.

Lebih besar lagi, saat sekolah di STM yang tempatnya di luar kota. Tulisanku yang mirip bapak-bapak ini semakin terlihat sekali manfaatnya.

******

“Ndol, bikinin surat ijin sakit ya”, kata Bendho yang tampak malas-malasan buat berangkat sekolah.

“Tanda-tangannya?”, tanyaku

“Sekalian aja”

“Ogah”

“Tolong tho Ndol, cuman tulisanmu yang kayak bapak-bapak”

“Rokok setengah bungkus”, kataku ber negosiasi.

“Yo wes, gak popo”, jawab Bendho masih terkantuk-kantuk.

Tuuuh kan, dari membuat surat ijin pura-pura sakit ini. Lumayan, setengah bungkus rokok masuk kedalam kantong. Bisa buat seharian.

***

“Anak-anak, hari ini kita latihan Pramukanya di gedung sebelah”, kata Pembina Pramuka.

“Asyiiik”, seru anak-anak.

Kamipun berlatih baris berbaris dan sandi Semaphore di lapangan olahraga milik kantor pemerintah yang memang lebih luas lapangannya serta kebetulan tempatnya bersebelahan dengan sekolah kami.

Sebenarnya sih yang paling membuat senang berlatih pramuka di tempat itu adalah “pohon mangga’nya. Pohon yang buahnya sudah gembandul itu terlihat jelas dari lantai 3 sekolah kami. Kami seperti kesetanan. Saat jeda latihan, banyak yang memanjat pohon mangga itu sekaligus ‘Illegal Panen” mangga yang ranum-ramun itu. Tidak terkecuali aku sendiri.

Alhasil, kamipun di komplain penjaga kebun kantor pemerintah sebelah. Kamipun di kulpulkan di tengah lapangan berserta barang bukti yang masih digenggam. Para pembina marah dan melaporkan masalah ini ke pak Condro, Kepala Sekolah kami yang berwajah seram tetapi punya 1000 anekdot yang bisa membuat kami terpingkal-pingkal di kelas.

Dari laporan para pembina itu, pak Condro mengeluarkan perintah kepada para guru untuk menghukum para murid yang tertangkap tangan panen mangga tanpa ijin pemiliknya itu. Salah satunya adalah membuat surat pernyataan meminta maaf dan janji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang tidak baik itu.

Kami yang tertangkap akhirnya mudik dadakan, akupun juga. Cuman sayangnya, sampai rumah malah ketemu teman-teman lama dan kongkow tanpa sempat meminta tanda tangan bapak dan ibu. Baru ingat setelah naik bis arah kembali ke sekolah hari minggu malamnya.


***

“Wah gimana itu Ndol?”, kata bendho kaget setelah tahu aku lupa membuat surat pernyataan.

“Ya terpaksa, bikin sendiri. Toh selama ini lolos. Puluhan kali bikin selamat”, jawabku percaya diri.

Bendhopun tersenyum. Percaya betul dengan tulisan ala bapak-bapakku, termasuk tanda tangannya.


***

“Hmm… kamu sudah balik ke Semarang?”, tanya pak Condro di ruang Kepala Sekolah.

“Sudah pak!”, jawabku yakin.

“Begini, suratnya sudah aku baca… hmmm”, kata pak Condro terputus.

Darahku mulai berdesir.

“Kok tanda tangan bapakmu beda dengan yang di raport!, Suratmu palsu yah?!”, katanya galak sambil menunjukan raport dan Surat palsuku.

DEG!

HADOH!

“Eee… yang di raport palsu pak”, jawabku ngeles.

“ %$#$^*( !”

Jadilah aku cleaning service dadakan seharian. Sempat kulihat tatapan mata adik kelas yang cantik di jendela kelas dengan senyum yang di tahan.

[Hazmi Srondol]




Don't Miss