Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Kisah Prabowo Tentang Para Garong di Kebun Sawit

Posted on Senin, 31 Maret 2014 Tidak ada komentar

Senin, 31 Maret 2014

“Kalo pak prabowo presiden berani gak ngusir newmont sama freeport kembali ke rumahnya, om?”

Kurang lebih begitu pertanyaan yang sering kudapat dari para sahabat baik langsung mau pun tidak langsung melalui jejaring sosial. Pertanyaan yang wajar, antara desakan karena kegeraman terhadap perilaku pengurasan SDA di republik ini-- hingga rasa was-was karena tahu betapa keras tekanan dan lobby Amerika atau bangsa lainnya.

Jadi begini sodara-sodara,

Pada dasarnya, setahu saya pak Prabowo menguasai dua basic ilmu teknis yang memang dibutuhkan dalam kepemimpinan negeri kita saat ini. Kemiliteran as soldier dan Ekonomi as entrepreneur. Artinya, esensi kedaulatan dan kesejahteraan menjadi pokok yang harus sinkron.

Dan sebelum menjawab pertanyaan sebelumnya, coba kita cek bersama-sama pernyataan pak Prabowo yang sering diulang-ulang nya. Baik di social media, televisi ataupun pertemuan langsung dan terbuka:

“"Saya katakan pada orang asing yang bertemu. Aku ingin jadi mitramu, kawanmu. Tapi kalau kau ingin aku jadi pesuruhmu, pionmu, kacungmu, saya katakan tidak! “

Prabowo Subianto, Partai Gerindra dan rakyat Indonesia tidak mau berlutut didepan bangsa lain!"

Jadi, jika ada “tamu” yang membawa uang dan ingin berbisnis “mudarabah”—saling menguntungkan, ya monggo saja. Welcome!

TAPIIIIIIIIIII….!

Memang sayangnya yang datang model seperti itu juaraaaang sekali. Kebanyakan malah menghisap kekayaan alam Indonesia. Ilustrasi yang pernah kudengar langsung dari beliau adalah pada pola “ivestasi” perkebunan sawit di Indonesia ini. Saudara pengen tahu ceritanya?

Begini,

Ada banyak kejadian datangnya orang-orang dari luar negeri yang konon mengaku “investor”. Nah, kalau yang namanya investor—harusnya membawa uang dong? Tapi apa nyatanya?

Mereka malah melobby oknum pejabat-pejabat Pemda dan turunannya setempat, dari bupati, camat, kades hingga kepala-kepala dinas yang berkaitan dengan pertanian, kehutanan dan perkebunan untuk mendapatkan “IZIN” pembukaan lahan hutan menjadi kebun sawit.

Dengan aneka godaan dan pancingannya, mungkin komisi berapa persen—mereka pun mendapatkan selembar kertas bernama IZIN ini.

Lalu apa sodara, sodara?

Dengan izin ini mereka bisa mengajukan hutang ke bank untuk membuka lahan. Daaan, bank ini adalah bank di Indonesia! Dimana uang bank tersebut adalah kumpulan uang dari rakyat Indonesia. Termasuk saya, anda, tukang bakso, BMI, buruh, PNS dan lain sebagainya.

Bayangkan saja, belum juga menanam, sudah dapat untung. Sudah dapat modal dari bank di Indonesia. Helooow, katanya investor, mana uangmuuuh?!!!

Sudah begitu, dari pinjaman itu mereka kelola dengan menggunakan tenaga kerja dari orang Indonesia. Nggak usah ditanya berapa gajinya. Kira-kira sendirilah. Bisa 3 kali UMR berarti jos gandos. Nyatanya? Hehehe…

Itu baru orang, belum mobil, truk, traktor—saya tanya, emang berapa persen yang cash? Hutang lagiiiii…. Pakai uang bank Indonesia lagiiii….

Sudah begitu, mereka wira-wiri lewat jalan buatan Indonesia. Sampai jebol jeglang-jeglong gak karuan. Kalau rusak, tinggal tuding → “ini tanggung jawab DPU dan pemerintah Indonesia”. Gubrak!

Sudah begitu, ketika panen—hasilnya langsung dikirim ke negaranya. Dinegara mereka, CPO mereka olah menjadi minyak goreng dan di kirim (uhuk-uhuk) untuk dijual lagi ke Indonesia lagi dengan harga tinggi. Sudah untung modal dengkul, dapat tambahan untung “nama besar” sebagai negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Terbesar gundulmu!

Sudah selesai?
Beluuuuum...!

Yang paling menyakitkan, dengan cara “investasi” dengan modal dengkul ini, mereka membuka lahan ini dengan membakar hutan. Pembakaran hutan yang bikin bukan hanya dada sesak oleh asapnya—tapi sesak karena kesal setengah mati karena kita (kitaaaa????!!) mesti minta maaf kepada negara mereka yang mengaku investor ini karena kiriman asapnya.

Kalau pun tidak dibakar, betapa banyak tambahan untung mereka dari pohon-pohon yang di jual. Jika harga permeter kubik sekitar Rp. 3 juta, maka jika rata-rata per hektar terdapat 200 M3--maka "keuntungan" gratisan ini mencapai 600 juta.

Padahal, rata-ra ijin pembukaan lahan sawit bisa mencapai 10.000 hektar. bah, kali saja 600.000.000/hektar x 10.000 = 6 trilyun gratisan!!! Sudah begitu, kemana mereka menyimpan/mengirin keuntungan kayu ini? Ke bank Indonesia tempat mereka men-boroh-kan (mengadaikan) izin usahanya? Kok saya yakin enggak, yah? Hahaha...

Naudzubilah min ndazik!

Bangsa macam apa kita ini!

Jadi saudaraku, sahabatku semua. Kembali ke pertanyaan apakah Prabowo akan mengusir newmont, freeport atau yang lainnya. Saya rasa—jika konsep investasi mereka beneran bawa uang untuk kesejahteraan dan keuntungan bersama. Welcome!

Tapi jika modelnya tidak jauh berbeda dengan investor abal-abal alias garong di kebun sawit ini. Saya rasa bukan hanya diusir—tapi ditendang pantatnya sampai nungging guling-guling.

Selamat pagi, selamat belajar dan berjanji tak akan menjadi negara yang bodohnya setengah mati. MERDEKA!

[Hazmi Srondol]

Buku Tasauf Modern, Motivator Itu Diri Sendiri

Posted on Senin, 03 Maret 2014 Tidak ada komentar

Senin, 03 Maret 2014

Suatu pagi, saya bersama keluarga melakukan safari ke Masjid Sunda Kelapa Jakarta. Masjid yang seperti biasa selalu ramai dengan para pedagang dan pembeli di halaman masjidnya. Apalagi saat hari minggu atau liburan seperti ini.

Usai kenyang menyantap soto Padang kegemaran, iseng-iseng saya melihat buku "Tasauf Modern" karya Buya Hamka. Buku yang membahas soal shafa' atau cara mensucikan diri. Yang dalam bahasa latin disebut 'theosoefie' dimana sekarang jadi tercampur penyebutannya menjadi tasauf/tasawwuf.

Nah, kali ini saya tidak akan panjang lebar membahas soal tasauf ini. Saya lebih tertarik membaca kata pengantarnya.

Ya, disana ada dua kata pengantar. Yang pertama kata pengantar tahun 1939 saat buku ini pertama kali terbit dan kata pengantar kedua--tahun 1970 pada cetakan ke duabelas. Keduanya ditulis oleh Buya Hamka sendiri.

Paling menarik tentu kata pengantar kedua ini. Disana ditulis kejadian saat Hamka dipenjara tahun 1964 karena dituduh berkhianat ke Malaysia. Waktu itu, beliau minta dibawakan buku tasauf modern ini untuk dibacanya.

Sipir penjara sampai terbengong saat melihat Hamka sedang membaca buku karangannya sendiri. Sangat mengejutkan, saat melihat pandangan mata heran tersebut--ternyata Hamka malah berkata "Hamka sedang menasehati dirinya sendiri oleh tulisannya sendiri..."

Nah, maksud saya--saya hanya ingin bertanya kepada diri sendiri. Seberapa sering iseng membaca artikel yang pernah dituliskannya sendiri? Baik berupa buku, blog atau bahkan status di social media?

Kalau sering, apakah tulisan sendiri bisa menjadi pemberi nasehat, motivasi dan pencerahan kepada diri sendiri atau jangan-jangan... Tulisan kita selama ini hanya kesia-siaan waktu dan pulsa internet saja?

Ah sudahlah, selamat malam rekan-rekan semua.
Don't Miss