Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

"Bajaj" Kini Tak Hanya Bajaj, tapi Piaggio & TVS

Posted on Minggu, 21 September 2014 Tidak ada komentar

Minggu, 21 September 2014

 

Suatu sore sepulang kerja saat naik ojek menuju stasiun Gondangdia--saya agak terkejut dengan sebuah "bajaj" yang mendadak mendahului ojek kami.

Terkejut bukan karena gaya mengemudi kendaraan roda tiga yang sangat terkenal dengan slogan "hanya Tuhan dan sopirnya yang tahu kapan bajaj berbelok", namun soal tulisan logo kendaraaan berwarna kini bermutasi warna dari oranye menjadi biru. Sebuah emboss bertuliskan : PIAGGIO

Saya baru tersadar jika ternyata "bajaj" kini tak hanya ber-merek BAJAJ. Namun merek Italia juga sudah meramaikan khasanah dunia kendaraan beroda tiga di Jakarta.

Sedikit beruntung saat "bajaj" Piaggio ini berhenti pula di Stasiun Gondangdia. Sempat kuperhatikan, tipenya adalah "APE City". Modelnya sekilas mirip BAJAJ RE biru yang kebanyakan beredar, namun sedikit berbeda pada model lampu depannya.

Agak membingungkan memang mencari spesifikasi "bajaj" ini. Dari browsing di Google, ada beragam versi yang beredar. Ada yang berkapasitas mesin 200 cc, 275 hingga 395 cc. Entah mana yang beredar di Indonesia. Sepertinya perlu segera mencegat bajaj ini lagi untuk dilakukan (halah) wawancara ulang dengan abang "bajaj"-nya.

Setelah memotret "bajaj" Piaggio ini, kembali saya dikagetkan oleh beberapa "bajaj" lain yang lewat. Ditemukan "bajaj" non BAJAJ lain yang lewat.

Kali ini merek-nya TVS. dengan jenis "KING". Untuk "bajaj" TVS ini, agak mudah dicari referensinya di internet. Kapasitas mesin yang terpasang 200 cc dengan kekuatan 7,3 HP. Lumayan buat keliling Ibu Kota.

Jepretan Layar 2015-06-20 pada 02.59.04

TVS KING


Kehadiran dua merek "bajaj" baru di Jakarta ini tentu menimbulkan beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan. Contohnya adalah rasa malu, dari sekian merek kendaraan roda tiga ini, tak ada satu pun merek Indonesia. Bayangkan, roda empat dikuasai Jepang dan Eropa trus roda tiga dikuasai India dan Italia? Lha Indonesia menguasai apa? Sopir ama penumpangnya saja? Hehehe...

Hal lain yang patut diperhatikan adalah soal mesin jenis empat tak yang memang lebih ramah lingkungan. Apalagi yang versi konversi bahan bakar gas.

Namun, coba perhatikan. Dahulu 'bajaj" lama yang susah diketahui beloknya--kita masih bisa waspada atas kehadirannya dengan surana "treng-treng-treng" yang memekakkan telinga. Bagaimana jika suara bajaj sekarang lebih senyap dan halus?

Sepertinya kita perlu "radar' khusus untuk mengetahui kehadiran mereka.

Hehehe...

====

follow : @HazmiSRONDOL

 

Kemah Pramuka & Tentara Belanda

Posted on Jumat, 19 September 2014 Tidak ada komentar

Jumat, 19 September 2014

Jepretan Layar 2015-06-20 pada 03.03.17

Sekitar kelas 2 SMP, sekolah kami mengadakan acara kemah di Sumowono--sebuah daerah yang berada di dataran ketinggian sisi selatan Kabupaten Semarang. Saya yang memang semenjak SD sangat tergila-gila dengan kegiatan "outbond" ala Pramuka ini begitu semangatnya untuk mengikuti. Ya, walau saat itu, tiga keyword "kemping, api unggun dan jalan-jalan" masih mendominasi alasan untuk aktif dalam extra kulikuler ini, namun semakin beranjak umur dan banyaknya bekal ketrampilan dasar seperti tali temali, baris berbaris, kode sandi dan lain sebagainya akhirnya menyadarkan bahwa--gerakan kepanduan ini jauh lebih besar manfaatnya dari sekedar cap sebagian orang bahwa kegiatan ini hanyalah gerakan "tepuk-tepuk tangan" belaka.

Apalagi saat suatu hari menemukan buku pegangan "boy scouting" internasional dari salah satu lapak buku bekas di Bekasi dan dihubungkan dengan beberapa buku panduan survival seperti "Outdoor Survival Guide" nya Hugh McManner, semakin menyadarkan bahwa kegiatan kepanduan ini bukan kegiatan sembarangan.

Jika memang bisa menguasai semua dasar-dasar kegiatan kepanduan tersebut, itu artinya--kemampuan anggotanyanya sudah boleh disetarakan dengan kemampuan pasukan-pasukan elit di dunia.

Tak heran, jika suatu hari--KH Facrudin, salah satu hari pernah menyatakan: "tongkat-tongkat yang kamu panggul itu pada suatu ketika nanti akan menjadi senapan dan bedil" saat dijemput oleh anggota-anggota kepanduan Muhammadiyah (Hizbul Wathan) di Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Dan benarlah ucapan beliau, kelak muncul nama Jenderal Sudirman yang menjadi Panglima Besar Tentara Indonesia yang sangat melegenda. Seorang panglima yang lahir juga dari gerakan ini. Belum lagi Jenderal Soeharto (Presiden RI ke 2), Mulyadi Joyomartono, Kasman Singodimejo atau Yunus Anis.

Sudah begitu, bergabung dengan gerakan ini--para anak-anak dan remaja bisa bebas berkativitas tanpa perlu khawatir dicap sebagai golongan penganut paham "fasisisme", paham yang sempat 'in' dibicarakan dalam masa kampanye pilpres 2014 ini.

Bahkan, saking cintanya dengan kegiatan ini. Anak pertamaku pun kuberi nama "Pandu". Yang merujuk pada kegiatan ini sekaligus berarti "pemimpin" dan "pemberi arah/pesan".

Nah, kembali ke kegiatan kemping di Sumowono. Pada saat itu, sekitar jam dua malam mendadak saya mendapat 'panggilan alam' untuk membuang ampas makanan yang sudah sesak di perut.

Berhubung para kakak-kakak pembina yang waktu itu disebut "Instruktur Muda" tidak saya temui dan belum hapal lokasi kemping yang berada di sekitar barak tentara tersebut, akhirnya--dengan terpaksa celingak celinguk mencari info lokasi toilet terdekat.

Alhamdulillah, saat itu ada seorang bapak-bapak sedang berdiri sambil bersedekap tangan. Sekilas terlihat, wajahnya pucat dan badannya tinggi besar mirip orang eropa. Sambil bercanda saya menyapa "Halo Mister, WC sebelah pundi (mana)?"

Orang berbadan tinggi besar itu menunjukan sebuah arah dan akupun segera menuju ke tempat tersebut dan membuang hajat.

Kisah yang rada tidak penting ini hampir terlupakan setelah belasan tahun terjadi hingga suatu hari, saat iseng menonton acara TV dan acara tersebut membahas soal kisah tentara-tentara Belanda yang terbunuh dan dibuang di toilet barak tentara--saya kok jadi merinding sediri.

Soalnya, lokasi barak tentara yang dimaksud dalam acara TV tersebut sepertinya adalah tempat kempingku saat SMP dulu, di Sumowono.

Jangan-jangan....?

=====

follow: @hazmiSRONDOL

 

Prof. Suhardi & Kesederhanaan Tanpa Publikasi

Posted on Selasa, 02 September 2014 Tidak ada komentar

Selasa, 02 September 2014

Usai sholat subuh hari Jumat kemarin (29/8/2014) saya segera tancap gas menuju DPP Partai Gerindra di kawasan Jl. RM Harsono yang tak jauh dari kebun binatang Ragunan dimana jenazah Profesor Suhardi--Ketua Umum Partai Gerindra disemayamkan.

Ya, setelah dua hari sebelumnya melewati masa kritis akhirnya Allah memanggil beliau untuk menyudahi penderitaan sakit kangker paru-paru stadium empat yang dalam beberapa bulan ini cepat menjalar di tubuhnya.

Suasana duka terasa sangat dalam di ruangan tempat persemanyaman almarhum. Sejak hari kamis (28/8/2014) pukul 22.17, pelayat tak henti-henti mengalir menyampaikan rasa bela sungkawa terdalamnya.

Tak terkecuali beberapa petinggi partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih seperti terlihat sedang melakukan sholat jenazah ketika saya tiba di lokasi. Pak Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Hatta Rajasa, Habib Ali Mochtar dan lain-lain juga sempat terlihat saat tak sengaja berpapasan.

Kesedihan semakin terasa ketika pak Prabowo Subianto, sahabat terdekat Prof. Suhardi memberikan pidato pelepasan jenazah menuju kota Yogyakarta, tempat Prof. Suhardi sehari-hari tinggal sekaligus dimakamkan.

Prabowo terlihat sembab di matanya dan terbata-bata memberikan pidato, kami yang mendengarnya tahu, beliau sedang menahan pecahnya tangisan di depan publik. Selain sifat nasionalisme, profesional, dan segudang prestasinya--Prabowo juga menyampaikan sikap utama almarhun Prof. Suhardi: berani dan jujur.

Keberanian dan kejujuran yang mungkin inilah penyebab Prabowo bersedia menerima proposal dan ajakan Prof Suhardi untuk terlibat ke politik dan membangun partai baru yang saat itu rencananya bernama Partai Tani & Nelayan, sebuah bidang yang sangat dikuasainya sekaligus bidang yang memang menjadi solusi utama untuk mengatasi masalah dan tantangan besar bangsa ini.

Walau akhirnya, Prabowo bersedia mendirikan partai yang berbasis konsep pertanian dan kelautan--namanya berubah menjadi Gerakan Indonesia Raya agar cakupan partai nya semakin meluas tanpa kehilangan ruh "kedaulatan pangan" yang dicita-citakan Prof Suhardi.

Akhirnya usai upacara pelepasan jenazah, saya pun akhirnya ikut dalam rombongan menuju Yogyakarta dengan menumpang pesawat Lion Air yang khusus disewa untuk mengantar jenazah ini.

Rasa sedih dan penasaran campur aduk menjadi satu. Khususnya rasa ingin tahu bagaimana Ketua Umum Partai terbesar ketiga di Indonesia ini hidup sehari-hari.

Sesampainya di Yogya, dalam bus yang kami tumpangi akhirnya sampai di sebuah gang yang membuat kami harus turun karena jalannya tidak muat untuk dimasuki oleh kendaraan sebesar bus ini.

Alangkah terkejutnya, gang Dahlia di Jalan kaliurang KM 7,5 Condong Catur, Sleman itu tidak menunjukan ciri-ciri kawasan kompleks atau perumahan mewah. Sekedar perkampungan ala Yogya yang biasa kutemui.

Semakin terkejut ketika disamping pendopo joglo tua tempat persemayaman jenazah terdapat rumah yang baru kusadari adalah rumah almarhum Prof Suhardi.

Sungguh mata ini terbelalak, sekelas Ketua Umum Partai serta berbagai jabatan tinggi di pemerintahan dan kampus universitas (maaf) rumahnya ya begitu-begitu saja. Standar. Khas rumah yang dibangun era 80-an.

1409631832178654335

Tampak belakang, depan dan tengah rumah mendiang Prof. Suhardi (Dok. Pribadi)


Tampak depan rumah terdapat beberapa pohon rindang. Kemudian ketika masuk, semakin terkaget. Dalam ruang tamu yang sempit, terdapat mebel yang sederhana dan beberapa piagam yang dipajang di dindingnya.

Dibatasi oleh lemari, dibelakang ruang tamu terdapat ruang tengah yang agak luas dan digelar tikar serta karpet untuk para tamu dan tetangga yang membantu mengurus pemakaman ini. Terlihat juga ada ruang kecil untuk menonton TV.

Tak jauh, berbatasan dengan ruang TV terdapat ruang makan. Ruang makan yang sangat bersahaja dengan empat kursi kayu tua dengan hidangan nasi, lauk tempe goreng, telur dadar goreng dan sayur krecek tempe serta ayam goreng yang dipotong kecil kecil. Saya sempat mencicipi masakan khas jawa tersebut, ternyata sangat nikmat. teringat masakan orang tua kami di kampung dulu.

Dan paling menyesakkan ketika masuk ke ruang belakang/dapur. Ruang dapurnya tidak ada pemisahan antara dapur basah atau kering. Pokoknya dicampur. Terdapat sumur timba yang sudah dipasang pompa air kecil tempat ibu-ibu "asah-asah" atau mencuci piring sambil duduk di "dingklik". Atapnya tidak ada plafonnya, bahkan sempat kulihat ada beberapa genteng nya sudah copot dibagian ujung.

Barang paling mewah yang kulihat dibelakang ini hanyalah mesin cuci front loading yang entah terpakai atau tidak sistem pemanasnya mengingat konsumsi watt-nya sangat besar sedangkan saya lupa cek, apakah kapasitas listrik rumah beliau mencukupi.

Nah, bagi yang sedang kebelet buang hajat--silahkan terkaget-kaget. model kakus (WC) nya masih model jongkok. Yang hobi berlama-lama di toilet duduk bakal tidak nyaman karena model ini bisa membuat orang kesemutan kakinya jika hobi nongkrong lama di kamar mandi.

Usai disemayamkan di pendopo warga, jenazah dipindahkan ke Balairung UGM untuk memberikan penghormatan terakhir kolega beliau di kampus UGM sebelum akhirnya jenazah beliau di makamkan di komplek pemakaman keluarga UGM.

1409632757513923969

Keluarga mendiang Prof. Suhardi (Dok. Pribadi)


Untung saja Gerindra mempunyai team Marching Band yang membuat pemakaman ini sedikit terlihat "mewah". Walau tetap saja, irama drum dan trompetnya malah semakin menbuncahkan rasa sedih dan mendalam. Fadli Zon, Waketum Partai Gerindra yang memimpin upacara pemakaman ini pun membacakan pidato perpisahan dan penghormatan atas jasa dan prestasi besar Prof Suhardi sebelum jenazahnya dikebumikan.

Seperti biasa, usai dikebumikan sang modin memberikan ceramah dan kesaksian atas amal-amal beliau semasa masih hidup. Terakhir, pak modin bercerita tentang sifat "ahli sedekah" nya almarhum Prof. Suhardi. Salah satu sedekah terakhirnya adalah me-wakaf-kan tanah seluas 500 meter persegi untuk pendirian pesantren khusus lansia, sebuah pesantren yang dikelola olah sang modin yang ternyata masih merupakan rekan prof. Suhardi ketika masih kuliah.

Duh, Gusti...
Don't Miss