Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

OUGHHH! Kaos Untuk Blogger Edan

Posted on Minggu, 29 Desember 2013 Tidak ada komentar

Minggu, 29 Desember 2013

“Sumpah, ini bukan Hazmi Srondol. Ini fansnya Cherybelle Indonesia. Cibi-cibi, Hahaha…”

Jujur saja, aku sempat tidak paham saat sekilas kubaca status facebook yang di-tag oleh sahabatku Fyesta Afrilian. Apalagi gayanya sangat aneh. Kufikir ia sedang mencoba melontarkan joke-joke yang sering dilakukan oleh rekan-rekanku yang lain di facebook.

Namun setelah beberapa detik memperhatikan, baru tersadar!

Gaya tangannya di foto ternyata sedang meniru gaya foto profilku yang kupakai di akun social mediaku. Termasuk di Kompasiana ini. Lebih mengagetkannya, kaos yang dipakainya ternyata… Karikatur diriku, lengkap dengan tagline “Hazmi Srondol, Blogger Edan!”

Wah, antara tertawa ngakak dan terkagum melihatnya. Aku masih tidak menyangka, sahabat yang dulu sewaktu masih sama-sama SMP adalah duet ektrakulikuler PKS. PKS yang bukan partai, namun singkatan Patroli Keamanan Sekolah. Sebuah eskul yang paling menyenangkan saat upacara bendera setiap hari senin. Dimana siswa yang lain berdiri pegal, kami berdua enak-enakan di depan sekolah sambil sok mengatur lalu lintas.

Padahal seingatku, mikrolet yang lewat belum tentu peduli dengan gaya kami yang ala polantas ini. Tapi kami tidak perduli, dicuekin mikrolet jauh lebih nyaman karena badan bergerak bebas daripada rekan yang lain. Bahkan sesekali sambil jajan es di warung. Hal ajaib saat yang lain sedang upacara.

Usai lulus sekolah, kami berpisah jauh. Ia masuk salah satu sekolah SMU favorit di kota Semarang dan aku lebih memilih sekolah di luar kota. Setelah itu, entah kemana ia kuliah—aku tidak tahu. Hingga suatu waktu muncul aplikasi facebook yang membuat kami bertemu kembali.

Dan kaos yang dipakainya membuatku tertarik untuk membelinya, apalagi kemunculan kaos tersebut di bulan Mei 2013 ini bertepatan dengan request me-review dalam video sebuah program internet cepat dari salah satu provider telekomunikasi di Indonesia. Rasanya, ini saat yang tepat untuk memakai kaos tersebut.

Lalu dari seberang pulau di Kalimantan, tepatnya Samarinda—suara serak khasnya yang sudah belesan tahun tak kudengar kini terdengar lagi. Sambil tertawa ia berkata “Gratis! Minta alamatmu buat kukirim…”

Ahaaay! Alangkah senangnya.

Kebahagian sekaligus rasa penasaran campur aduk menjadi satu. Penasaran perihal kaos ini. Bayangkan saja, karikatur diriku tampak pas dengan kepribadianku. Lengkap dengan blangkonnya. Belum lagi setelah kaosnya sampai, kualitasnya cetak gambar dan bahan kaosnya sangat bagus dan halus. Bukan kelas ecek-ecek yang dipakai sedikit membuat gatal. Mesti direndam cairan pelembut agar nyaman dipakai. Kaos ini tidak.

1388170255161868387

Fyesta dalam berita Harian Kaltim Post


Usut demi usut, kekagumanku semakin membesar setelah tahu—semenjak lulus kuliah jurusan kesehatan, walau agak melenceng dari latar belakang pendidikan--ia begitu berani berdikari membuat usaha sendiri. Dikutip dari harian Kaltim Post yang memuat berita usahanya, ternyata awalnya ia bermodalkan hobi utak-atik gambar melalui potoshop dan corel serta rajin browsing di internet. Modal intelektual yang membawanya berani hijrah ke Kalimantan dan memulai usahanya. Keberanian yang harus kuakui—aku sangat jauh dibawahnya.

Semakin mengejutkan, brand OUGHHH! yang dibuatnya ternyata bisa di custom atau dimodifikasi sesuai permintaan pelanggannya. Hal unik yang membuatnya mampu meraup omzet 70 juta/bulan di tahun 2012. Untuk akhir tahun 2013 ini, tentu sudah berkali-lipat mengingat konsep pendapatan dari usaha sendiri selalu bergerak exponensial atau kuadratis. Berbeda dengan karyawan yang hanya linear saja.

Buktinya tentu berkembangnya usahanya dengan munculnya merk baru bernama Djoeragan Kaos yang dari akun pages facebook-nya, pelanggannya sudah mencapai ribuan. Bukti lain tentu saja foto jalan-jalannya ia dan keluarga di luar negeri. Hasil yang wajar untuk usahawan seperti dirinya. Jelas ini membuatku jadi ngiri dan nganan. Hehehe…

Jadi, kufikir ia kini juga kini perlu kusebut usahawan edan. Edan yang dalam bahasa gaul Semarangan sering dilafalkan ‘eidyan’ yang berarti luar biasa hebat hingga kata ‘hebat’ saja tidak cukup mewakili penghargaan prestasi yang di capainya.

Bahkan, jika jika dihubungkan dengan eskul jaman SMP dulu. Kini ia pantas kembali menyandang gelas “PKS” betulan. Kali ini, singkatan dari Pengusaha Kaos Sukses. Kesuksesan yang sayangnya, tidak kuimbangi dengan suksesnya menyampaikan pesanan kaos edisi “Blogger Edan” ini dengan alasan klasik “sok sibuk”. Hahaha…

Padahal sudah berjibun kawan-kawanku memesan untuk membelinya. Bahkan yang mengagetkan, salah satu direktur di kantorku juga memesan satu buah dengan ukuran M. Jadi mau tidak mau, sekarang mesti menyampaikannya lagi sambil membuka situs kaosnya di http://www.oughhh.com dan http://www.djoeragankaos.com/.

------

@hazmiSRONDOL

Blogger Eidyaaan!

Filosofi dari Dapur

Posted on Selasa, 24 Desember 2013 Tidak ada komentar

Selasa, 24 Desember 2013

Gegara sakit perut dan mesti beristrahat di rumah, malah dapat info baru dari bini bahwa masakan daging di Minang itu ada 3 tingkatan, yaitu Gulai, Kalio dan Rendang.

Nah, berhubung Thole suka kalap makan kalio--tak seperti gulai dan rendang yang gampang diteukan di warung, mau tidak mau-- ibunya mesti berjibaku di dapur.

Dari obralan dapur--jadi mikir, memang sepantasnya rendang kita klaim balik jd milik Indonesia. Ada tingkatan filosofinya disana. Harus tahu bedanya. Belum lagi barusan ada penjelasan tambahan, ada lagi sodara rendang--namanya malbi. Mirip rendang tapi masih cair dan isinya jeroan sapi.

Hanya pembeda utamanya, malbi hanya khusus dihidangkan pas lebaran dan populer di Palembang dan sekitarnya. Gak seperti rendang yg bisa kapan saja. Cuman aku belum paham filosofinya apa.

Sumpah, urusan masak gini--mesti nyembah ama bini. Chef yang ada di tv mah lewat. mereka berbasis percampuran bumbu dan takaran panas apinya saja. Teknis.

Sedangkan bini, filosofis. Jadi paham kenapa Indonesia disebut bangsa yang "berbudaya". Apa pun yang dilakukan/dibuat oleh warisan nenek moyang semua ada filosofi dasarnya. Gak asal-asalan. Karena teknis bisa ditiru. Bahkan diperbanyak melalui mesin. Filosofi tidak.

Filosofi muncul dari kearifan lokal, tanda penyatuan manusia dengan alam. Cuman ujung-ujungnya jadi gak enak ati saat anak bertanya, "kenapa bapak sakit perut?".

Pertanyaan yang disamber jawaban "Soalnya bapakmu keseringan jajan di luar".

Yang jelas, ini harfiah--bukan filosofis.

------
Follow: @hazmiSRONDOL

Film Soekarno, Sebuah Review dan Pertanyaan

Posted on Sabtu, 14 Desember 2013 Tidak ada komentar

Sabtu, 14 Desember 2013

"Film Soekarno-nya bagus, pak? Banyak kontroversi katanya? Ceritain, pak!" pesan istriku lewat ponsel penuh penasaran. Aku hanya sekedar menjawab "iya" lalu menutup kembali ponsel sambil menunggu taxi yang mendadak susah dicari ketika hujan deras begini.

Entahlah, semenjak datang ke Blitz Megaplex Grand Indonesia (13/12/1013) bersama rekan Blogger Reporter Indonesia untuk nobar (nonton bareng) Film Soekarno : Indonesia Merdeka ini, hujan tak henti-hentinya mengguyur kota Jakarta.

Bisa jadi, ini pertanda rejeki besar segera turun membasahi bumi pertiwi atau pertanda akan ada tangisan usai pemutaran film ini?

Ya sudah, saya tak mau berandai-andai. Kita kembali bahas film ini saja dari beberapa sudut pandang saya, yaitu:

1. Sinematography

Langsung saja, secara teknis film ini layak mendapatkan bintang lima. Rating tertinggi dalam hal sinematograhy. Banyak hal yang membuatku mengacungkan jempol laik diz berulang-ulang. Pertama tentunya adalah bahwa film ini 100% digarap para sineas Indonesia. Selain Hanung Bramantyo sebagai sutradara, kameramen, wardrop hingga katering konsumsinya. Kecuali figuran bule, tentunya. Hehehe...

13870269311018194852



Lalu coba perhatikan baik-baik bayangan yang timbul di setiap adegan. Jika sebagian besar film terkadang muncul bayangan ganda seperti bayangan pemain sepakbola di stadion atau malah tidak ada. Semua tampak natural atau alamiah.

Bahkan saat suasana malam, beberapa kali kuperhatikan bayangan ikut bergoyang-goyang mengikuti cahaya obor. Ini artinya, film ini tidak memakai cahaya dan tata lampu buatan. Gila!

Sudah begitu, gambarnya begitu tajam dan halus dengan tone warna yang sangat cinematic look dan klasik. Perpindahan scene juga sangat halus. Tidak njomplang dari satu adegan ke adegan yang lainnya. Hal yang menunjukan bahwa penulis script sangat detail dalam membuat skenario dan story board serta editornya sangat teliti dalam penyelesaian editing filmnya.

Sedangkan misteri kamera yang digunakan dalam film ini, film dengan pencahayaan yang sangat minim--yang membuatku dahiku berkerut tajam menebak-nebak, akhirnya terjawab saat mencoba menyelidik dari akun tweet @faozanrizal.

Ternyata, film ini memakai kamera Arri Alexa. Pantes! Sekedar informasi, kamera ini adalah "ferarri" nya kamera film yang mampu berkerja pada asa ISO 1600 dengan ketajaman maksimum, bahkan dimalam hari.

Kamera yang hanya bisa "ditempel" kemampuannya oleh kamera sekelas Red Epic atau Canon C500. Kalau dibandingkan kamera Sony Nex-VG30 ku yang biasa kupakai untuk ber-video blogging. Ya jauhlah, kawan! Hahaha...

2. Pemeran

Nah, kembali nilai bintang lima kuberikan kepada semua pemerannya. Walau sempat mendengar kabar ngambek-nya salah satu putri Bung Karno karena Anjasmara batal memerankan Bung Karno dan digantikan oleh Ario Bayu.

Belum lagi banyaknya keraguan terhadap Ario yang dirasa kurang pas memerankan tokoh sebesar Bung Karno. Namun, IMHO, Ario Bayu membuktikan diri sebagai pemeran yang pas untuk sosok Bung Karno.

Gestur, ketegasan gerak badan, logat, cengkok Bung Karno mampu di adaptasikan oleh Ario. Bahkan sisi "flamboyan" yang lebih dikarenakan oleh kemampuan how to treat a woman - bukan jual tampang ala Bung Karno sukses dilakoninya. Mohon maaf kepada Anjasmara, wajahnya terlalu 'manis' untuk menjadi Bung Karno

1387027040846721371

Ario Bayu, Soekarno Wannabe (Sumber: Youtube)


Maudy Koesnady, pemeran Inggit Garnarsih pun tak kalah memikat. Sosok kembang desa Kamasan, Bandung yang memikat hati Soekarno dan sempat membuat munculnya isyu bahwa Bung Karno terlalu diatur Inggit mampu di perankan dengan sangat luar biasa. Belum lagi caranya marah saat hendak dimadu ala Inggit membuatku seakan sedang menjadi pak RT yang sedang melihat cek-cok pasangan suami istri ini secara langsung dan nyata.

13870271061915932364

Maudy Koesnady as Inggit Garnasih


Kemudian sosok Bung Hatta yang di perankan oleh, hadeh, Lukman Sardi ini kembali membuatku angkat topi. Padahal sudah entah berapa kali aku melihatnya berperan di layar lebar. Namun Lukman Sardi seperti bungklon yang mampu menjadi apa saja, mencitrakan apa saja.

 

13870277281940608694

Lukman Sardi sebagai Bung Hatta


Nah, yang sempat under estimate tentu Tanta Ginting. Maklum, saat sebelum acara nobar dimulai-Daniel Mananta sang pemilik brand Damn, I Love Indonesia sekaligus sponsor nobar kali ini terlalu bayak bercanda saat wawancara. Apalagi jawaban Tanta yang terbawa cengengesan sempat membuatku apriori dengan kemampuannya. Namun, mulut langsung ternganga saat film diputar. Sosok Syahrir yang kecil, cerdas. berapi-api dan lawan sengit diskusi Bung Karno seakan terlahir kembali. Dua jempol, bro!

1387027167283027591

Tanta Ginting, pas jadi Bung Kecil (Syahrir)


Dan terakhir, ehem, Ratu Tika Bravani membuatku terbelalak kaget. Kok bisa-bisanya gadis manis kelahiran Denpasar mampu menjadi perempuan Bengkulu yang gaya bahasanya begitu wong kito galo banget.

Jujur saja, istriku yang berdarah Melayu Jambi yang gaya bahasanya ala ibu Fatmawati ini kujadikan rujukan. Jika logatnya tak mirip, tentu sudah aku caci maki dan bully di socmed. Namun berhubung perannya sangat-sangat memuaskan sebagai bu Fatma, maka aku hanya mengajaknya berfoto saja di usai acara. Hehehe...

13870272471451863031

Ibu Fatma dan Bung Karno -- Eh, Bung Kusan :p


3.     Sejarah

Nah, memang harus diakui-bakal banyak kontroversi untuk latar belakang penggambaran sejarahnya.  Ada beberapa point yang memang mesti mempertanyakan lagi keabsahannya. Seperti saat adegan Bung Karno diam saja melihat perwira Jepang di pijat perempuan Indonesia yang hanya memakai kutang hingga kesan Bung Karno yang tampak 'galau' dalam menghadapi para perempuan.

Bahkan jika tidak hati-hati menonton dan menterjemahkan, bisa jadi pemberontakan dan latihan pidato Bung Karno untuk melawan Belanda selama ini, hanya dikarenakan oleh penolakan orang tua Mien, noni Belanda kekasihnya.

Namun, secara umum-latar belakang sejarah yang difilmkan ini sepertinya lebih merujuk ke wikipedia. Saya pun yakin Hanung sebagai sutradara sudah melakukan beragam survey dan masukan dari narasumber. Tak terkecuali mampir ke Museum Proklamasi untuk mendapat bayangan pembuatan fimnya.

Soal kesan lanjutan perihal sikap koorperatif Soekarno-Hatta, hal ini memang akan membuat pandangan terbelah. Antara kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan atau hadiah dari Kaisar Jepang?

 

13870277942095654017

Nippon


Hal yang sangat bisa dimaklumi. Jangankan pandangan sekarang, padangan rakyat Indonesia zaman dahulu pun begitu. Bahkan di Jepang sendiri juga sempat muncul pemberontakan dari Mayor Kenji Hatanaka yang mengerahkan 1000 pasukan untuk mengepung istana Kaisar agar membatalkan pengumuman kekalahan Jepang terhadap Sekutu yang akhirnya bisa dicegah oleh pasukan yang setia terhadap kaisar.

Hal yang tentu berimbas terhadap pasukan Nippon lain, termasuk di Indonesia. Masih banyak pasukan Jepang yang menolak mengakui kekalahan dan akhirnya bertempur dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar yang dipimpin Soepriadi dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Sedangkan soal polemik dengan keluarga mendiang Soekarno, saya fikir wajar. Tak mudah menyenangkan semua pihak dalam pembuatan biopic seperti ini. Apalagi sosok yang difilmkan sudah meninggal dunia. Kalau tidak mau ada polemik pembuatan biopic, memang para sineas paling aman membuat film branding sosok yang masih hidup saja.

Contohnya film tentang sosok salah satu capres 2014 yang sedang digarap dan akan ditayangkan sebentar lagi. Soal isi filmnya, pasti sudah banyak menebak, lha wong jangankan fimnya-acara kuis yang dibuatnya di stasiun televisi sebelumnya juga sudah ketebak jawabannya padahal soalnya belum dibacakan. "A. Istana Maimun!" hihihi...

4. Suasana Nobar

13870273611100147086

bersama rekan-rekan Blogger Reporter Indonesia dan pemeran Bung Sahrir


Senang rasanya saat saya bisa bertemu rekan-rekan blogger reporter lain dari BRID. Soalnya, jarang sekali bisa bertatap muka dengan para sahabat ini mengingat selama ini hanya bisa berjumpa di dunia maya. Acara yang rencananya dimulai jam 19.00 WIB sedikit mundur karena ada sesi wawancara dengan beberapa pemeran utamanya minus mbak Maudy Koesnady.

Sempat bulu kuduk ini merinding saat sebelum acara dimulai. Setelah lama sekali, terakhir sebelumnya film Merah Putih 3-akhirnya ada lagi film yang mensyaratkan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pemutaran filmnya.

Walau pun, usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, sesaat acara film dimulai, terbahak dengan intro lagu keroncong 'Terang Bulan'. Entah apa maksudnya ini. Antara memang sebagai ketidaksengajaan  atau memang sindiran ke Malaysia yang sering disebut "Indonesia KW2". Hahaha...

Nah, kurang lebih beberapa laporan pandangan mata mengenai film Soekarno ini. Film yang membuat istriku mendadak hari ini ingin sekali menontonnya juga.

Entah karena memang penasaran dengan cerita yang kubawa pulang atau gara-gara usai membaca berita perihal putusan Pengadian Niaga untuk penurunan film ini di bioskop oleh laporan Rachmawati ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 93/Pdt.SUS-HakCipta/2013/PN.Niaga.Jkt.Pus pagi ini (14/12/2013). Byuh!

***

[Hazmi Srondol]

Tentang Korupsi Kata

Posted on Tidak ada komentar
 

Pagi ini saya dibuat terbahak oleh status sahabat yang mengkritisi penyunatan bahasa pada kata "gegara" dan "tetiba". Dua kata penyunatan dari kata baku EYD gara-gara dan tiba-tiba.

Ya, kembali saya mengamini bahwa memang bahasa berikut turunannya seperti kalimat dan kata adalah sejenis organisme yang hidup. Bisa memanjang atau memperpendek dari kata awalnya.


Konsep yang sering diistilahkan sebagai korupsi kata. Tentu ini dalam konteks bercanda. Toh pengurangan huruf atau mark up kata sah-sah saja, karena inti bahasa kan kesepakatan atas pemahaman tertentu.

Nah, ada yang lebih unik lagi. Jika korupsi kata ini biasanya bermain di abjad, beberapa bulan yang lalu istriku dikejutkan oleh pesan BBM dari pelanggan online shopnya.

Bayangkan, setiap pesannya selalu diakhiri tanda "seru" atau "pentung. Tanda (!). Hal yang kufikir merupakan cara kasar dalam memesan barang. Antara marah-marah atau memaksa.

Namun setelah ditelefon dan terdengar suara lembut keibuan, barulah ia mengerti--gaya tersebut biasa dipakai oleh ibu-ibu di kalangan mereka di daerah Banjar, Kalimantan.

Aku sempat bersyukur, walau sedikit nyleneh dalam penggunaan tanda tersebut untuk menggantikan tanda titik--setidaknya tidak terjadi korupsi kata.

Hal yang tak lama mesti saya tarik ulang kesimpulan ini, karena sesaat diminta alamat untuk pengiriman kata. Korupsi kata besar-besaran terjadi.

Bukan sekedar mengurangi hurup, namun total dihilangkan ketikannya. Pelanggan baru itu mengirimkan alamatnya berupa foto KTP. Lengkap dengan foto wajahnya yang berkerudung biru. Ini korupsi kata atau malas ngetik?

Hadeh! Tepuk jidat


[Hazmi Srondol]

Bahaya Buku "The Best Monday FlashFiction" Untuk Penderita Sakit Jantung

Posted on Senin, 09 Desember 2013 Tidak ada komentar

Senin, 09 Desember 2013

“Tapi, mas. Cerita ‘fiksi’ kadangkala lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri” kata Si Bengal Liar—nama pena pemilik suara manja ini mengagetkan. Tepat saat seperti biasa kami berdiskusi soal tulis menulis ini. Sedangkan malam itu, kami membahas soal ‘fiksi’ ini.

“Maksudnya?” kataku penasaran

“Coba deh beri seseorang topeng atau tameng berupa kata ‘fiksi’ dalam tulisannya maka ia akan menjadi dirinya sendiri” jelasnya lagi berfilsafat.

Kalimat yang jelas memaksaku untuk segera bertanya darimana ia mendapatkan kalimat ajaib ini.

“Uknown, mas” jawabnya sambil terkekeh.

Ya, kadangkala dalam hidup kita masuk dalam perangkap standar sosial. Standar perilaku yang dibatasi oleh nilai-nilai yang sudah terbentuk oleh sikap kita sendiri atau masyarakat sekitar. Nilai yang menjadi patokan eksistensi kita pada lingkungan terdekat, jika tidak mampu menjaganya—bisa-bisa kita terdepak dalam lingkarannya.

Dan ternyata, ada sebuah lorong kecil untuk bisa menjadi diri sendiri yaitu memanfaatkan kata ‘fiksi’ untuk bercerita tentang kepribadian atau perasaannya yang asli. Tempat melepaskan energi yang terpenjara oleh kungkungan yang kusebut sebelumnya sebagai kotak “sosial”.

Walau sebenarnya, ini sebuah penyalah gunaan kata fiksi itu sendiri. Tapi tak mengapa, toh tak ada larangannya. Apalagi memang tak ada undang-undangnya yang membahas soal ini.

Nah, bagaimana dengan menulis kisah fiksi yang asli?

Menurut Kang Pepih Nugraha—seorang senior jurnalis sekaligus pendiri blog keroyokan Kompasiana pernah mengatakan bahwa menulis fiksi adalah salah satu teknik menulis yang tersulit. Apalagi jika harus melepaskan kepribadian kita dalam penokohan cerita fiksi yang kita buat. Hal yang harus kuakui, bagiku sendiri adalah hal yang terberat dalam menulis.

Karena kalau itu yang menjadi tolak ukurnya, bisa jadi para penulis fiksi asli ini tak ubahnya sebuah antena penangkap frekuensi ala televisi. Yang boleh jadi, dirinya adalah sekedar alat pencatat cerita “nyata” pada dimensi, waktu atau kejadian nyata yang berada entah dimana.

Tak heran dahulu salah satu atasanku di kantor pernah mengatakan bahwa “kemampuan menulis adalah sebuah kutukan”. Sebab ketika energi dan kisah dari alam semesta yang sering kita sebut “ide” itu muncul, mendadak kita seperti orang gila, sakau atau salah tingkah tidak karuan.

Keadaan yang hanya bisa dihentikan ketika kita sudah memegang pena atau keyboard komputer. Saat-saat dimana para penulis ini menjadi sejenis alat untuk menyampaikan pesan dari alam semesta.

Hal yang akhirnya membuatku sering dikritik oleh sebagian kawan karena selalu memberi nilai bintang lima untuk semua buku atau cerita fiksi ini.

Bukan perkara tega atau tidak tega, namun bagaimana pun cara menulisnya—apa pun hasil karya fiksi tersebut. Para penulisnya jelas berada satu tingkat diatasku. Mereka melakukan hal tersulit yang belum tentu bisa kulakukan.

Begitu pula pada suatu malam, sepulang berkerja—tergeletak sebuah buku yang kupesan dari nulisbuku.com. Sebuah buku berjudul : Kumpulan Flash Fiction dan Fiksimini “The Best of Monday FlashFiction” dari komunitas MFF (Monday Flash Fiction) yang digagas oleh Carolina Ratri atau lebih akrab dipanggil mbak Redcarra.

Ya, semenjak membaca bab pertama berjudul 25 Menit karya Latree Manohara yang bisa dibaca secara gratis dari situs buku penerbitnya, aku langsung begitu tertarik dan penasaran dengan bab lain yang hanya bisa dibaca jika kita sudah membelinya.

Bagaimana tidak penasaran, dari bab pertamanaya saja sudah jelas terbukti kata dari Kang Pepih. Dalam cerita tersebut, setting kisahnya adalah sebuah acara pernikahan di sebuah gereja. Sedangkan penulisnya sendiri, jelas jelas beragama yang ibadahnya tidak di gereja. Jilbaban pula.

Belum lagi kisahnya yang mempunyai plotting unik, yaitu set-up dan twist yang mengejutkan. Baru satu cerita dari 34 cerita saja sudah shock dan terkaget-kaget. Bagaimana jika membaca semuanya, sepertinya dibutuhkan obat anti serangan jantung agar tidak ngap-ngapan dan sesak nafas dadakan.

Efek psikologis membaca kumpulan cerita ini ternyata memang menjadi ciri khas dari konsep menulis flash ficton atau fiksimini ini. Dikutip dari kata pengantar bukunya, untuk flash fiction mempunyai aturan tidak boleh lebih dari 1000 kata. Sedangkan fiksimini tidak boleh melampaui 500 kata. Namun efek kejutnya sama. Kayak petir (flash). Hehehe…

Nah, beberapa kejutan lain juga kutemukan selain dari cerita dalam buku ini. Contohnya adalah adanya beberapa nama yangpernah kutemui secara langsung seperti Ajen Angelina, bunda Yati Rachmad, Sri Sugiarti dan lain sebagainya.

Baru ngeh mereka ternyata sangat lihai dalam merangkai kata untuk membungkus ide cerita fiksi dan tergabung dalam komunitas MFF ini.

Sedangkan penulis lainnya, hampir 80 persen pernah kubaca tulisannya saat blogwalking atau ada beberapa yang pernah berkirim pesan lewat pesan elektronik seperti Miss Rochma.

Cerita dalam buku setebal 166 halaman ini juga sangat kompleks sudut pandang ceritanya, ada yang membahas soal jebakan sekretaris sexy, MLM, jin dalam kendi, hutang jaman sekolah hingga yang membuatku ikutan ngilu hati dan mewek dadakan karena kisah penemuan cinta sejati tepat saat salah satu dari mereka akan fitting baju menikah dengan orang lain. Hehehe…

Cerita-cerita tersebut disusun dalam tiga bagian utama cerita, yaitu Pernikahan, Stasiun Gambir dan Salju. Pembagian yang baru kutahu dari salah satu adminnya memang hal itu merupakan bagian dari konsep menulis keroyokan mereka. Konsep ini disebut prompt. Untuk prompt Stasiun Gambir inilah yang sempat membuatku terasa tercerahkan dari beberapa persoalan lain yang berkaitan dengan dunia kreatif.

Pasalnya, tak seberapa lama dari kedatangan buku ini—sekitar bulan November 2013 dalam sebuah peluncuran program televisi internet, para personal production house dan indie film maker pernah dikumpulkan dan ditantang untuk membuat film pendek untuk mengisi program di aplikasi video milik perusahaan telko plat merah terbesar di Indonesia ini.

Lalu disana muncul berbagai macam masalah klasik, yaitu anggapan soal minimnya stok cerita fiksi—khususnya dengan setting lokasi yang sama agar menghemat biaya ijin lokasi dan bisa saling mambantu untuk memperbanyak konten film pendek berkualitas. Sedangkan prompt Stasiun Gambir ini seperti hadir menjawab persoalan klasik ini.

Sebuah simbiosis mutualisme antara pembuat cerita dan penerjemah cerita ke bentuk audio visual. Yang semoga kode-kodean rahasia lewat twitter sesama filmmaker untuk saling berkolaborasi bisa direalisasikan. Kalau pun tidak, para filmmaker ini sudah tahu kemana mereka mengejar bahan cerita untuk karyanya, tentu para penulis cerita fiksi mini ini. Iya tho?

Nah, kemabali ke soal buku dan prompt. Ada beberapa hal kecil yang kutemukan dan sedikit menganggu ke asyikan membaca buku ini yaitu penempatan dua buah cerita dengan prompt yang sama dan ternyata dua cerita itu (Boneka Untuk Risa – Hairi Yanti & Mama Tidak Gila - Istiadzah) kebetulan mempunyai nama tokoh yang sama pula (Bayu & Risa).

Padahal dua cerita tersebut bercerita kisah dan setting yang berbeda. Agar tidak menganggu imajinasi dengan lompatan backround yang berbeda ini, sepertinya menyisipkan sebuah cerita lain dengan nama tokoh yang berbeda menjadi solusi sederhana pada penataan bab dan cetakan selanjutnya.

Solusi yang tentu tidak begitu sulit untuk layouter komunitas MFF ini. Tinggal mengedip secepat flash lampu blitz. Bukan begitu sodara-sodara?

Hehehe…

----

follow : @hazmiSRONDOL

Kuliner: Tape Ketan Kuningan di Jalan Tol

Posted on Minggu, 08 Desember 2013 Tidak ada komentar

Minggu, 08 Desember 2013

Gegara sering menemani anak nonton film animasi CARS, saya sempat khawatir dengan rencana pembangunan jalan tol besar-besaran di Indonesia ini.

Ya, saya tahu--jalan tol sudah sangat mendesak mempercepat dan mempermudah distribusi apa pun di negeri ini.


Hanya saja, ada kegalauan muncul saat melihat ilustrasi tentang kota yang hampir mati karena hadirnya jalan tol ini. Kalau dalam film tersebut, digambarkan kota Radiator Spring terancam hilang dalam peta Amerika karena pembangunan jalan highway yang disana disebut Route 66.

Harap maklum, saat sebelum Amerika terinspirasi pembangunan u-bahn nya Jerman saat perang dunia kedua, jalan tol yang menjadi kunci sukses strategi "Blitzkrieg" atau serangan kilat melalui panser-panser Jerman--kota-kota kecil di Amerika hidup dari pengendara mobil yang melintas di kota mereka.

Kekhawatiran itu semakin menguat saat kuperhatikan, sejak hadirnya jalan tol Cipularang yang terbukti menenggelamkan kebiasaan makan sate Maranggi di Purwakarta. Hal yang setengah wajib kulakukan saat dalam perjalanan ke Bandung via Jatiluhur. Terbayang kengerian bakal makin banyaknya produk kuliner lokal tumbang gegara jalan tol ini.

Namun, pada suatu hari--kami sekeluarga sepulang dari jalan jalan di Bandung terpaksa mampir di rest area Km 95-an. Maklum, ada yg mendadak mendapat panggilan alam ke toilet.

Nah, iseng-iseng saya mampir ke salah satu kios di SPBU tersebut. Ada yang menarik perhatian, yaitu tape ketan dalam bungkus daun jambu.Tape ini berasal dari Kuningan, Cirebon. Dimana satu embernya berisi 80 bungkus ini kubeli sebagai oleh-oleh.

Menakjubkan, selama 34 tahun pernah mencicipi tape ketan--baru kali ini terbelalak kenikmatan mencicipinya. Rasanya manis dan hangat di tenggorokan. Bahkan dari kumpulan tape itu, terdapat sekitar sebotol akua air yang menetes dari sela-sela ketannya.

Dari tape ini, mendadak ketakutanku akan punahnya kota-kota kecil akibat pembangunan jalan tol pun punah. Berganti rasa penasaran ingin berkunjung ke Kuningan untuk berwisata kuliner mencari sentra penjual aslinya. Sebuah simbiosis.mutualisme pariwisata, dimana rest.area menjadi pilar promosinya.

Hal yang sayangnya mengundang kecurigaan istriku karena semenjak air tapenya malah ikutan kuminum, saya tidurnya pules susah dibangunkan. Katanya, saya hanya berniat mencari air ketannya.buat mabuk-mabukan.

Nuduh!

[Hazmi Srondol]

CB150R Streetfire, Legenda CB100 “Gelatik” yang Berlanjut

Posted on Tidak ada komentar
Sekitar lima tahun yang lalu, saya sempat terkejut dengan salah satu mahasiswa magang di tempatku berkerja saat datang ke acara makan siang bersama. Pasalnya, mahasiswa kampus tekno negeri di Bandung ini datang mengendarai motor CB100 berwarna putih dengan striping biru. Hal yang sedikit aneh untuk anak muda seusianya yang biasanya lebih memilih motor generasi terbaru untuk aktivitasnya.

Waktu itu, sempat kutanyakan alasan kenapa memakai motor tua itu—jawabnya sungguh mengagetkan. “Motor ini legendaris, pak. Lagian sekarang motor ini lagi diburu para kolektor motor antik” jelasnya sambil terkekeh.

Ya, sempat merasa aneh dengan alasannya. Harap maklum, dalam otakku—yang disebut motor antik dan legendaris itu hanya motor Inggris seperti BSA, Matchless atau AJS.

 

Mas Iwan Trobas, sahabat jurnalis yang bangga dengan CB100 "gelatik" nya

Namun beberapa bulan terakhir, seperti mendapat tamparan saat tanpa sengaja kumelihat display picture BBM sahabat yang berkerja sebagai jurnalis pada salah satu media nasional. Ada foto dirinya yang begitu bangga mengendarai motor CB100 tahun 1973 yang populer disebut CB “gelatik”.

Saya segera mengirimkan pesan pertanyaan soal motor ini. Sungguh mengagetkan. Jawabannya hampir serupa dengan jawaban mahasiswa magang, yaitu “Legendaris dan Antik”. Bahkan ia pun menjelaskan lebih detail jika motor miliknya adalah hasil restorasi dengan spare part yang hampir 100% orisinil. Ckckck!

Fanatisme beberapa sahabat terhadap CB100 ini akhirnya membuatku segera menjelajah ke dunia maya. Penjelajahan yang mengakibatkan muncul keterkejutkan lainnya. Ternyata, motor ini memang seperti terlahir sebagai legenda di masa depan (sekarang). Motor yang seri awalnya di tahun 1970 dikenal dengan kode mesin K0 dan K2 seri “gelatik” tahun 1973 ini ternyata ada embel-embel “Super Sport” di masanya.

Sempat bertanya-tanya, sisi mana yang membuat motor ini dengan begitu percaya dirinya menyebut super sport? Ternyata, memang dijaman tersebut, pabrikan Honda sedang membuat sejarah dan terobosan teknologi untuk dunia kendaraan motor beroda dua.

Dobrakan yang bisa dilihat dari bentuk tangki mungil yang seakan mirip dengan jenis motor enduro namun dengan roda khas kendaraan jalan raya. Design yang seperti sengaja dibuat untuk membuat posisi mengendara yang tegak, nyaman dan sangat lincah. Belum lagi mesin yang saat itu adalah paling irit serta canggih di jamannya.

Sampai-sampai, untuk generasi CB dengan kapasitas mesin lebih besar yaitu 750cc—dengan nama CB750 dinobatkan sebagai peringkat ketiga “Greatest Motor Ever” oleh majalah TOP GEAR dibawah peringkat dua Ducati 916 dan sang juara Honda Cub 50. What! Honda Cub (bebek) 50 cc? Nanti kapan-kapan kita jelaskan lebih lanjut.

 

CB150R Streetfire (sumber: www.welovehonda.com)

 

Nah, sekarang kembali ke motor Honda generasi CB terbaru ini. Setelah empat puluh tahun berlalu, tahun 2013 ini kembali Honda kembali meluncurkan generasi CB terbarunya. Kali ini bernama CB150R Streetfire. Banyak sebagian yang belum paham sejarah motor CB ini berangapan bahwa motor seri ini seperti mendompleng nama besar seri CBR. Padahal menurut saya pribadi, CB dan CBR dua hal yang berbeda. CB adalah legenda jalanan tersendiri.

Sempat beberapa kali mencoba mencoba membandingkan generasi awal CB tahun 70an dengan CB150R era sekarang. Apakah filosofinya masih sama atau malah semakin menjauh?

Syukurlah, ternyata spiritnya masih sama. Bahkan ada beberapa tambahan fitur yang semakin membuat motor ini menjadi motor canggih. Boleh dilihat dari design ergonomis dan riding position yang sama dengan leluhurnya. Tegak, nyaman dan semakin kuat dengan adanya tambahan rangka tubular yang disebut Honda dengan istilah Diamond Steel (Truss Frame / Trellis Type) di bagian depan motor.

Design juga sama cantik dan menariknya, tentu dalam format era masa kini. Seperti burung “gelatik” yang bentuk dan suara ciut-ciutnya menggoda siapapun yang melihat dan mendengarnya.

Belum lagi dengan teknologi mesin DOHC (Double Overhead Camshaft) dimana satu silinder mesinnya terdiri 4 klep, dua klep masukan bahan bakar dan dua klep buangan gas hasil pembakaran. Kecanggihan yang mendahului kompetitornya yang berkapasitas mesin yang sama. Semakin lengkap dengan hadirnya pasokan bahan bakar berjenis injeksi (PGM-FI / Programmed Fuel Injection) yang lazim digunakan pada mobil-mobil era modern.

Hal yang jelas ujung-ujungnya membuat konsumsi bahan bakar motor ini menjadi irit. Bahkan dari hasil tesnya, satu liter bensin bisa menempuh jarak 36 Km untuk pemakaian ‘beringas’ dan 50,25 Km untuk pemakaian ekonomis. Jika digunakan dengan pemakaian ekonomis atau bahasa bikers-nya “ngurut gas”, dengan kapasitas tangki 12 liter ini, dari rumahku di Bekasi hingga ke kampung halaman di Semarang, cukup sekali isi bahan bakar penuh tanpa perlu mampir lagi ke SPBU ditengah perjalanan saat mudik.

Cuman memang, dengan segala kecanggihan ini—pengendara motor CB150R mesti merupakan pengedara motor yang kelasnya sudah advance atau lihai. Walau pun sudah dilengkapi suspensi belakang Pro-link Rear Suspension yang lazim digunakan pada tipe motor sport atau balap, namun dengan tenaga 12,5 kW atau setara 17 tenaga kuda pada 10.000 rpm dan torsi yang mencapai  13,1 Nm (1,34 kgf.m) pada 8.000 rpm serta 6 tingkat kecepatan akan menjadikan motor ini bukan hanya cepat namun juga ringan tarikannya.

Ringan tarikan untuk penghalusan kata ‘beringas’. Hal yang bisa membuat  ‘kebanting’ buat pengendara yang baru terbisa mengendarai motor sekelas bebek atau skuter matic. Butuh pemahaman dan pengenalan lebih lanjut tentang karakter motor dan mesinnya ini.

Nah, dari lahir kembalinya generasi CB150R Streetfire ini—saya memprediksi motor ini akan kembali menjadi legenda pada 40 tahun kedepan seperti saudara tuanya. Motor yang memang design nya sudah dirancang sesuai dengan karakter jalan Indonesia yang berkelok-kelok serta tinggi dan berat badan yang sangat “Asia” banget.

Berani taruhan? Hehehe…

[Hazmi Srondol]

Para Habib di Belakang Prabowo Subianto

Posted on Jumat, 22 November 2013 Tidak ada komentar

Jumat, 22 November 2013

"Ini kok piguranya pasangnya aneh, mas? Kok pada di lantai?” kataku bertanya kepada para asisten Prabowo di Bukit Hambalang.

“Oh, ini bukan dipasang dilantai mas. Tembok musholanya baru habis di pernis ulang kayunya. Nanti dipasang lagi keatas” jelasnya.

Hooo… pantesan kok aneh, semua pigura yang bergambar kaligrafi Al Quran, gambar ka’bah dipasang berdiri di karpet. Bersandar rapi. Satu persatu aku perhatikan dengan seksama. Indah.

Dari sekian banyak pigura tersebut, terdapat satu yang sedikit berbeda. Pigura itu berisi foto Prabowo Subianto bersama seseorang yang pernah aku lihat di televisi. Pria berwajah Arab dengan sorban putih, kain sorban di pundak serta tasbih hitam di telapak tangannya. Masalahnya, aku lupa siapa gerangan. Sepertinya dia seorang Habib—julukan para keturunan darah langsung dengan Nabi Muhammad.

Hingga usai sholat magrib di mushola tersebut, aku kembali melihat gambar itu. Yang jelas, bukan alm. Habib Munzir—pimpinan Majelis Rasulullah, walau pun sama-sama berwajah khas Arabnya. Bukan pula Aa Gym apalagi Habib Razieq pemimpin FPI yang ‘kondang’ itu.



Ya, harap maklum. Banyaknya aliran Islam yang masuk ke Indonesia membuatku bertanya-tanya. Aliran Islam model manakah yang lebih condong dianut oleh Prabowo ini. Apalagi semenjak kepergiannya ke Yordania dahulu, tentu banyak referensi aliran yang ditemuinya. Sedangkan persoalan ini menjadi sangat penting bagiku, karena apa pun alirannya—tetap akan berimbas pada cara beliau dalam mengambil kebijakan.

Apakah Syiah, Sunni, Ikhawanul Muslimin, Wahabi, Tasawuf atau Ahlus Sunah Wal Jamaah ala warga Nadliyin Nahdatul Ulama?

Rasa penasaran ini juga semakin kuat saat pada suatu hari, usai acara penandatangan kontrak politik dengan para kepala desa, muncul pertanyaan soal posisi FPI terkait statement Mendagri, Gamawan yang mengingatkan agar pemerintah daerah menggandeng organisasi kemasyarakatan (ormas) termasuk FPI.

Pemda perlu membina ormas sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

"FPI bukan organisasi terlarang, karena itu mereka harus diberdayakan dan jika melakukan pelanggaran dapat diberi sanksi sesuai dengan kesalahan yang dilakukan, kata Gamawan usai rapat koordinasi pendahuluan tentang pangan di Bukittinggi, Sumbar, Senin (28/10).

Nah, saat itu statement menarik saat Prabowo diwawancara perihal keberadaan FPI. Saya yakin banyak yang berharap Prabowo langsung bersikap keras menolak FPI. Apalagi beberapa saat sebelumnya—Prabowo sangat keras akan “memasang badan” menghadapi preman Tanah Abang yang menghalagi niat Jokowi-Ahok dalam program merapikan pedagang PKL disana.

Namun, jawaban yang diharapkan serupa ternyata berbeda.

“Maksud anda, terkait dengan statement Mendagri sebelumnya yah?” tanya balik Prabowo sebelum menjawab.

“Iya, pak” jawab wartawan yang bertanya.

"Saya kira kalau kita pelajari statement Mendagri dengan jeli, semua ormas harus dirangkul termasuk FPI. FPI bisa diyakinkan hidup damai.  FPI bisa diyakinkan hidup damai menerima Pancasila, NKRI, hidup rukun sebagai komponen bangsa ya harus diakomodasi," " ujar Prabowo.

Dari statement itu, bisa dilihat bahwa Prabowo masih konsisten dengan pandangan politiknya bahwa segala  kebijakan kenegaraan harus mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila.

Tidak jauh berbeda dengan gaya Mahapatih Gajahmada yang segala sesuatu harus dikembalikan pada undang-undang Negarakertagama.

Ya, bahasa tidak langsungnya, “selama masih bisa dibina—ya dibina. Kalau tidak bisa dibina, ya dibinasakan”.

Kurang lebih itulah yang kusimpulkan esensi statemennya. Namun sayangnya, sudah bisa diduga. Statement panjang seperti itu mudah dipelintir oleh oknum media yang kurang suka dengan sepak terjangnya. Kesan bahwa Prabowo mendukung keberadaan FPI yang suka ‘main kekerasan’ lebih ditonjolkan. Ya sudahlah, namanya juga resiko jadi public figure. Saya fikir Prabowo sudah kebal dan terbiasa dengan kondisi seperti ini.

Nah, kembali soal foto Habib di mushola Bukit Hambalang—sepertinya sudah rezekiku untuk mendapatkan jawabannya.

Prabowo dengan warna NU dan Tokoh masyarakat Banyuwagi


***

“Oh, itu Habibana Umar bin Hafidz dari Hadramaut, Yaman” jelas salah satu timku di kantor.
“Oalah, beliau siapa, bang?” kataku penasaran.
“Wah, mas. Beliau guru mulia para jamaah ahlus sunnah wal jamaah. Sering membagikan ilmunya disini (Indonesia). Fatwanya sering dijadikan rujukan ulama NU juga kok, mas” jelasnya.
“Oalaaah….”
“Lha emang kenapa? Kok tumben-tumbenan bahas Habib?”
“Nggak, takut aja kalau Prabowo jadi presiden lalu kita nggak boleh merayakan maulid ama tahlilan, bang. Kasihan keluarga kami kalau meninggal gak di tahlilin” jawabku.
“Ya, enggaklah. Aman itu, mas. Guru agamanya Prabowo yang itu nggak model begituan”

Hehehe… Asyik!

[Hazmi Srondol, Bekasi, 22 November 2013]

Note: Pernah di posting serupa di Kompasiana

Dari Sciene Menuju Tuhan

Posted on Senin, 30 September 2013 Tidak ada komentar

Senin, 30 September 2013

Teringat penelitian Neils Bohr tentang perpindahan elektron dalam orbit atom, seperti menggambarkan konsep perjalanan kehidupan ini. Seperti halnya elektron, untuk bisa berpindah ke orbit yang lebih tinggi dibutuhkan penyerapan energi.

Saya rasa, kehidupan manusia juga begitu. Untuk naik tingkat agar bisa melihat lebih luas, butuh energi, butuh ilmu dan butuh mau. Setelah energi terserap terkumpul, bakal terjadi ledakan energi untuk berpindah orbit.

Ledakan ini, bisa sukses. Bisa tidak. Kalau sukses. Kemuliaan didapat. Bukan hanya utk diri sendiri. Tapi juga generasi anak cucu.

Kalau gagal. Ledakan energi akan membuat diri moksa. Hilang dari peredaran. Tapi kurasa jauh lebih baik daripada bertahan pada orbit yang itu-itu saja. Toh moksanya kita, ketiadaan kita tetap meninggalkan jejak sekaligus pembuka jalan turunan yg lain untuk mencoba ulang perjuangan.

Apalagi. Sukses atau moksa tetap jauh lebih baik daripada diam tak bergerak. Karena kita adalah manusia yg hidup. Bukan mayat atau batu.

Nah, kurang lebih begitu. Salam takzim buat Neils Bohr atas penemuannya. Semakin paham bahwa sciene dan ketuhanan tidak berseberangan. bahkan jika makin didalami, science adalah salah satu jalan untuk menuju Tuhan. jembatan kehidupan.

Wes, segitu dulu.  Selamat beristirahat kembali. Sampai jumpa di orbit selanjutnya yang lebih tinggi. Cheers!

[Hazmi Srondol]

Kesasar Gara-gara Narsis di Chevrolet SPIN

Posted on Jumat, 27 September 2013 Tidak ada komentar

Jumat, 27 September 2013

Subuh itu aku terpaksa mengendap-endap dan mendorong keluar mobil dari garasi. Istriku tampak mengawasi pergerakan sambil sesekali menengok ke arah kamar tidur tempat anak-anak sedang asyik bercengkrama dengan mimpi-mimpinya.

Ya, hari sabtu pagi (14/9/2013) itu—aku masuk dalam 30-an blogger Kompasian yang mendapatkan kesempatan menguji langsung salah satu mini MPV keluaran pabrikan Amerika bernama : Chevrolet SPIN.

Teringat dua kali test drive yang dilakukan oleh Kompasiana juga, selalu muncul problem kericuhan saat berangkatnya. Maklum, anak-anak suka merasa bapaknya mau menang sendiri, ada acara jalan-jalan mereka tidak diikut sertakan. Jadilan sesi mengendap-endap ini strategi saya dan istri untuk mengurangi keributan ini.

Hmm, betul. Memang enak sesekali klayaban sendiri tanpa anak-anak. Bisa lepas jaim nya saat bertemu kawan-kawan kompasianer lain. Tak perlu menonjolkan sifat kebapakan. Bergaya anak muda pun boleh. Sesuai lah dengan konsep mobil yang akan di uji nanti.

Nah, sesampainya di Kompas Palmerah Selatan, saya sempat berpapasan dengan Kang Pepih saat hendak menumpang parkir kendaraan sendiri. Sebenarnya ada sedikit nggak enak melihat kang Pepih jadi mirip satpam dadakan karena memindahkan safety cone yang ada tepat di pintu masuk Kompas Gramedia. Hihihi… maaf Kang.

Nah, usai parkir saya pun segera berkumpul di halaman Bentara Budaya Jakarta. Senang rasanya bertemu wajah-wajah yang selama ini hanya menyapa lewat dunia maya. Asli ganteng dan cantik-cantik. Walau mungkin levelnya masih sedikit dibawah saya. Nggak usah protes! Hihihi…

Usai absen dan briefing, sempat ada rekan wartawan Kompas Otomotif menyapa dan sedikit melakukan wawancara. Pertanyaannya sangat mengelitik, “Mas Srondol kan sudah yang ketiga kali mengikuti test drive, nggak bosan apa mas?”

Walah, ya nggak bosan dong, masbro. Acara seperti ini kan mengasyikkan. Bisa kopdar ama temen-temen sekalian mencoba jenis kendaraan baru. Apalagi kendaraan yang diuji kali ini produksi Amerika yang konon, biasanya ada beberapa pandangan skeptis seperti: berat, modelnya konservatif (kuno), boros, performa yang lelet hingga penata letakan fitur-fitur elektrnik, trasmisi dan lainnya yang berbeda dengan buatan non Jepang. Tentu menundang rasa penasaran yang tinggi.

Nah, berhubung tidak ada anak-anak. Sesi dokumentasi video berjalan lebih ringan. Terbayang asyiknya merekam dan merasakan pengujian kali ini.

Namun sayangnya, walau skeptis terhadap kendaraaan Amerika hilang. Perjalanan kacau balau. Saya ndak ngerti. Kenapa acara seasyik ini kok sampai kesasar dua kali.

Pertama saat berangkat, kami yang satu mobil dengan bang Iskandar Zulkarnaen, mbak Aulia Gurdi dan mas Dizzman ntah kenapa malah lewat simpang Slipi. Padahal arahnya mesti ke Bogor via simpang Cawang. Kufikir, ini hanya sekedar efek dari kenyamanan dari kendaraan MPV mini ini.

Nah, lolos dari kesasar edisi pertama. Kami pun bisa masuk ke tol menuju arah Cawang lalu ke Bogor. Nah, berhubung jalanan agak santai, kamare video Sony Nex VG30 yang kupersiapkan dari rumah ini pun segera menjalankan tugasnya untuk men-capture suasana dalam perjalanannya.

Untung saja, driver pertama test drive adalah bang Isjet—seorang admin Kompasinaa yang konon (konon lo ya) bekas penyiar radio. Belum jelas radio mana yang pernah mengudarakan suaranya, entah radio FM atau radio HT. Pokoknya mesti percaya saja.

Betul sekali, Bang Isjet sangat lancaaaaar sekali berbicara di depan kamera. Cas cis cus seperti klaimnya sebagai penyiar Radio. Namun sayang, rekaman tersebut di CUT dan dibatalkan tayang karena …. Karena bang Isjet lupa memakai kacamata hitam andalannya. Andalan sebagai obat ganteng di depan kamera.

Baiklah, demi penampilan terbaiknya. Video di take ulang. Kali ini sudah terlihat ganteng beneran. Bang Isjet langsung kembali cas-cis-cus di depan kamera. Nah, dengan kacamata ini, seharusnya acara test drive berjalan mulus. Cuman sayangnya, mendadak dalam bang Isjet terkaget. Saya pun terkaget.

Kami kebablasan!

Mbak Aulia Gurdi ngakak saat mobil Chevrolet Spin automatic yang kami uji ini malah meluncur lurus ke arah Cikampek, semestinya kan berbelok kanan kearah Bogor. Mbak Aulia menebak, kebablasnya mobil ini karena bang Isjet terkena virus narsis. Walau pun saat di konfirmasi dengan bang Isjet, penyebabnya adalah gara-gara kamera yang di letakkan di atas dashboard.

Mana yang benar, kita undi saja. Hehehe…

Nah, setelah beberapa kali berhenti di check point yang sudah ditentukan. Kami sampai di kaki Gunung Salak. Chevrolet SPIN yang kami uji telah membantah skeptisme terhadap kendaraan buatan Amerika ini. Walau memang agak berbeda dalam suara sein, penempatan tombol lampu besar hingga lock pintu mobilnya, namun performa, keiritan bahan bakar serta modelnya sangat agresif.

Saking agresifnya, sepertinya dalam diam pun sudah tampak ngebut.

Nah, usai acara. Kami pun pulang kembali ke Jakarta. Hujan lebat mengguyur Bogor dan sekitarnya. Deras. Sederas rengekan anak-anak yang mendadak telefon dan curiga kalau bapaknya bukan sedang test drive, tapi malah asyi mojok enak-enakkan di café. Seperti biasanya. Hehehe…

VIDEO :

[embed]https://www.youtube.com/watch?v=4OuXroJ-vtQ[/embed]

[Hazmi Srondol]

Smartphone Membuat Sejarah Dunia Mundur

Posted on Sabtu, 03 Agustus 2013 Tidak ada komentar

Sabtu, 03 Agustus 2013



Sewaktu SD atau SMP, aku ingat guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)  ku pernah berkata bahwa, “sejarah suatu bangsa itu terhitung sejak ditemukannya tulisan dari peradaban bangsa itu”.

Menyedihkannya, Indonesia baru dianggap bangsa ber’sejarah’ atau lebih tepatnya beradab hanya pada abad 5 Masehi. Itu saja setelah  ditemukannya prasasti di Kutai. Waktu sebelumnya, bangsa ini masih dianggap primitif. Hadeh!

Rasanya kok paradox sekali dengan penemuan manusia Homo eructus (jika dianggap manusia) di Sangiran dan Ngandong sebagai manusia purba yang menurut tesis pakdhe Swisher (1996) hidup pada zaman Homo sapiens yang dianggap manusia modern. Sedangkan untuk hubungan Homo eructus dengan Maho (manusia homo) di jaman sekarang saya belum mendapatkan data yang valid dan detil. Mungkin rekan-rekan bisa membantu melakukan penelitiannya lebih lanjut.

Belum lagi, jauh sebelum era masehi—banyak ditemukan tanda-tanda peradaban di bumi pertiwi ini. Paling gampang di cari di google adalah lukisan di gua Sulawesi  tenggara, Papua dan Maluku.  Walau pun penemuan ini masih dibantah sebagai tanda peradaban di Nusantara.

Jujur saja, kalau gambar dan simbol gambar tidak dianggap sebuah ‘sejarah’, saya akan segera menuntut pada penemu sistem pesan elektronik seperti YM, Blackberry Messenger serta aplikasi chat lain seperti Line, Kakao talk hingga facebook yang banyak simbol-simbol gambar di dalamnya. Baik emotikon,  simbol laik diz facebook yang multi arti hingga auto text nya Blackberry sebagai pelopor mundurnya peradaban dan sejarah dunia.

Dan saya akan segera mengklaim Amerika sebagai negara yang paling duluan mundur sejarahnya karena dari sanalah kode gambar emotikan dan jempol laik diz itu muncul. Setuju?

│▒│ /▒/……………….

│▒│/▒/…………………..

│▒ /▒/─┬─ ……………………….

│▒│▒|▒│▒│……………………

│▒┌──┘▒▒▒│…………………..

└┐▒▒▒▒▒▒┌┘…………………..

└┐▒▒▒▒┌…………………..

……

[Hazmi Srondol]

McD Rasa Rendang, McD makin "Indonesia"?

Posted on Jumat, 26 Juli 2013 Tidak ada komentar

Jumat, 26 Juli 2013

“Ada apa, Pak?”  tanya istrikuagak keheranan melihatku memotret pagar rumah.

“Nggak ada apa-apa, buk. Cuman motret brosur aja” jawabku.

“Emang kenapa brosure nya? Agak yang aneh?”

“Bukan aneh, kaget aja, buk?”

Ya memang aku  agak terkaget melihat brosur iklan McD yang di cantolin di pagar rumah oleh entah siapa. Yang pasti sih biasanya dari team marketing McD yang kebetulan tak jauh dari rumahku sudah berdiri salah satu counter yang buka 24 jam. Dan menariknya. Dalam brosur  iklan tersebut terdapat bonus teh botol Sosro di menu makanannya.

Hmm, Bisa jadi ini pertama kali di dunia, ayam fried chiken menggeser minuman coke sbg pendampingnya. Sedangkan biasanya, yang disebut American fast food sejati biasanya tidak jauh-jauh dari ayam goring, kentang dan minuman coke itu. Sempat terfikir McD emang semakin Indonesia, apalagi semenjak konon Sosro sudah memgambil alih kepemilikannya. Entah kepemilikannya secara local atau internasional, belum ku cek ulang.

singapura_banner_v2

Namun dari beberpa komen rekan di facebook dan instagram, ternyata bukan hanya di Indonesia—di Singapore juga sudah muncul burger rasa rendang ala McD. Konsep ini memang agak mengherankan, soalnya McD membawa tagline besar yang disebut ‘Deliciusly Local’.

Maklum, rasa nasionalisme muncul setiap budaya baik masakan maupun seni Indonesia diikut sertakan dalam konsep bisnis mau pun pariwisata Negara non Indonesia. Sempat terfikir, apakah McD Singapore sudah meminta ijin pemakaian kata ‘rendang’ ke masyarakat Minanag atau belum. Secara seluruh jagad tahu jika itu berasal dari ranah Minang. Indonesia.

“Tenang, pak. Pasti rasanya hancur-hancuran rendangnya” kata istriku sedikit nyinyir kesal.

Dan betul, dari komen dalah satu pelanggan McD Singapore di fans page FB nya, memang terbukti, rendang jika bukan dibuat oleh ‘tangan-tangan’ urang Minang pasti rada berantakan. Boleh di cek salah satu komen berikut :

Jeff*ry Toh IMHO... The rendang taste really bad. I tried in the McD at serangoon gardens. Yuck.

Nah, mungkin sedikit saran saya. Daripada memakai slogan deliciously local yang kurang jelas ke local-an nya. Kenapa nggak sekalian memakai tagline “Indonesian Secret” kan lebih nyengat tuh. Heheheh…

Lalu saya jadi mengira-ngira, bisa jadi kedepan McD akan mengeluarkan produk baru yg paling dan makin Indonesia. Contohnya :  McD Ayam Kremes atau Ayam Penyet dengan saos diganti sambel trasi. Setuju?

Penulis,

[Hazmi Srondol]

Adakah Masakan Padang yang Memakai Kecap Bango?

Posted on Selasa, 30 April 2013 Tidak ada komentar

Selasa, 30 April 2013

Entah beberapa kali jari-jari ini mengetuk-ngetuk meja makan. Ketukan pelan yang tetap membuat anakku menatapku dengan wajah keheranan.

“Sebentar lagi nasi gorengnya matang kok, pak” katanya.

Aku menatap anak tertua yang sepertinya sedang mencoba menebak isi otakku. Aku tersenyum tipis saja sambil menatap matanya yang masih dikelilingi kerutan di alisnya, kerutan tanda tanya.

“Tolong masukin kecapnya, mbok. Nasi, rolade dan sosis sudah kupotong. Sekalian saja” kata istriku sedikit berteriak.

Teriakan kecil yang mau tidak mau membuatku menoleh ke sumber suara. Tampaknya istriku sudah memberikan estafet urusan dapur ke simbok. Tampak tangannya mampir sebentar ke kain serbet yang tergantung di salah satu sisi dinding dapur.

“Menyerah kan, pak? Memang tidak ada kecap di masakan Padang” katanya sambil tersenyum mendekat.

Aku memalingkan muka. Menatap kosong meja makan sambil menghirup nafas dalam-dalam.

Ya, sudah lebih dari tiga minggu ini aku didera rasa penasaran tingkat tinggi. Penasaran karena ada sebuah komentar di salah satu tulisanku tentang hadirnya kecap. Dalam komentarnya, memang hampir semua rumah keluarga di Indonesia terdapat kecap manis—kecuali di Padang.

Aku sempat ragu-ragu, harap maklum—perasaan aku pernah melihat beberapa stand masakan Padang di Festival Jajanan Bango 2013 di Malang sekitar satu bulan yang lalu. Cuma ya begitu deh, perasaan saja. Karena waktu itu kami datang terlambat. Hari sudah malam dan hujan deras mengguyur kota Malang yang membuat kami sekeluarga tidak bebas bergerak berpindah stand.

Ditambah nafsu makan yang mendadak terbang tinggi hingga waktu berkeliling terkuras habis untuk mencicipi makanan di acara tersebut.

Rasa penasaran itu pun berlanjut. Entah aku yang kurang teliti atau memang benar-benar tidak ada, acara serupa di Semarang pun aku tidak menemukan stand masakan Padang. Dengan langkah gontai aku kembali ke Jakarta dengan kesimpulan sementara. Perasaan melihat stand masakan Padang tersebut hanyalah sekedar dejavu. Arrhg!

......

“Tidak, Ndol…! Tidak ada masakan Padang yang memakai kecap” kata Atuk tegas di telefon.

“Tapi kata uda teman kantor saya ini, ada mie tahu dan pical yang memakai kecap” jelasku.

“Kalau itu bukan masakan Padang, Ndol. Itu masakan luar Padang yang masuk ke Minang. Bukan masakan utama” jelasnya lagi

“Tapi, …” kataku terputus.

Kawan di kantorku yang asli Payakumbuh--Padang itu tampak tertawa saja melihatku menelefon. Aku yang sempat kegirangan setelah di Jakarta, aku medapatkan bukti bahwa ada masakan Padang di hajatan FJB2013 seri terakhir di Plaza Barat Senayan tersebut mendadak lemas kembali.

Padahal, video penemuan soto dan sate Padang yang memakai kecap itu sudah terlanjur terunggah ke youtube seperti kebiasaanku sebelumnya. Namun bagi orang Padang asli, video itu belum bisa dijadikan pembuktian bahwa masakan Padang memakai kecap.

Ya sudahlah, aku menyerah kalah. Aku harus menerima kenyataan bahwa ungkapan dari (sebagian) orang Minang bahwa memakai kecap adalah ‘pengkhianatan’ terhadap masakan Padang.

“Ada kok, Om. Ayam manis Padang juga pakai kecap. Cuma kecapnya dikit dan tidak sekental semur Jawa” kata mbak Winda menghiburku di waktu yang lain.

Hiburan yang sedikit mengusir rasa galau di hati. Sedikiiit…

…….

“Lalu, kenapa ibuk membuat mau makan yang ada kecapnya, buk?” tanyaku serius.

Istriku tampak terkekeh kecil. Wajahnya sedikit memerah dan menatap mataku sambil berkata, “karena cinta, pak”

Eaaa! Kalau bukan istri sendiri yang mengucapkan—sudah kuanggap rayuan gombal kalimat itu. Hehehe…

“Sudah matang nasi gorengnya, bu” kata Simbok yang mendadak hadir didekat kami yang lagi mendadak romantis ini.

Kedua anakku tampak berebut nasi goeng yang masih terlihat kepulan uap panasnya itu. Istriku tampak sedikit mendelik agar anak-anak bersabar menunggu nasi gorengnya menjadi dingin. Namun seperti biasa, sepertinya anak-anak tidak terlalu memperdulikan pelototan ibuknya dan memilih mengambil sesendok nasi lalu ditiup-tiupkannya sendiri agar cepat dingin.

Tak beberapa lama nasi itu masuk ke dalam mulut anak-anak, mendadak mereka meminta air sejuk. Ya, entah dari mana awalnya, anak-anak kami ini menyebut air dingin dari kulkas itu ‘air sejuk’. Sebutan yang mendadak malah menjadi bahasa kalbu kami sekeluarga sendiri ini.

“Ah masa pedas sih, mas. Panas kali…” kata istriku.

“Tidak kok, buk. Memang pedas nasi gorengnya” jelas anakku sambil terengah-engah kepedasan.

“Emang simbok kasih sambal nasi gorengnya?” tanya istriku menyelidik kearah simbok.

“Mboten, bu. Serius” jawab Simbok—sang assisten istri itu sungguh-sungguh.

Istriku mendadak segera mengambil sesendok nasi goreng di piring anakku. Tampak wajah penuh curiga dan penasaran tingkat akut terlihat. Mungkin dibenaknya terbayang simbok salah memasukan bumbu atau jangan-jangan wajan penggorengan terdapat bumbu pedas yang menempel di pori-pori wajan. Mungkiiin loh yaaa….

Hap. Nasi goreng itu tampak lambat-lambat dikunyahnya. Mendadak, wajahnya berubah bersinar. Matanya sedikit membesar, hampir terbelalak.

“Wah, enak sekali nasi gorengnya, pak. Mantab pedasnya!”

Hah! Pedas?

13672722631310687949

Kecap Manis Pedas Gurih - Bango


Entah komando dari mana, kami berdua langsung beranjak dari kursi dan setengah berlari menuju dapur. Istriku langsung mengambil bungkus kecap yang tidak sengaja dipakai Simbok. Kecap yang hampir kami lupakan. Kecap sachet ukuran 60 ml hasil oleh-oleh souvenir acara festival jajanan tersebut ternyata…

KECAP PEDAS!

“Pak, kayaknya kecap (pedas) bakal masuk ke setiap rumah orang Padang deh” katanya menyeletuk sambil tersenyum lebar.

AHA!

[Hazmi Srondol]

VIDEO:

[embed]https://www.youtube.com/watch?v=Qy0tvPn-BC8[/embed]

Tips Menjaga Cinta Dengan Resep "Warisan Kuliner Nusantara"

Posted on Selasa, 16 April 2013 Tidak ada komentar

Selasa, 16 April 2013

“Why did you leave me?”

Aku membaca pesan yang masuk ke ponsel itu dengan helaan nafas panjang. Sedikit berat. Sempat beberapa detik mata ini terpejam secara otomatis. Sebuah reflek dimana otak membutuhkan sebuah ruang gelap untuk memancarkan kembali nostalgia awal-awal perjumpaan. Semua mendadak menjadi sangat jelas, seperti proyektor yang disorot di dalam gedung bioskop.

“Kereta ke Semarang jam berapa ya, mbak?” tanyaku dengan memasang tampang pura-pura kebingungan waktu itu. Padahal sih memang itu bagian dari trik atau istilah anak muda jaman sekarang adalah ‘modus’ untuk mencoba berkenalan saja.

Sudah kuduga, gadis yang masih memakai rok berwarna abu-abu itu jadi gelagapan. Entah karena mendadak terpesona melihat ketampananku atau malah ketakutan dikira bakal dipalak preman. Aku menyadari situasi sulitnya itu. Kembali jurus pura-pura melihat-lihat jadwal kereta aku luncurkan.

Berhasil, ketakutannya mereda dan obrolan ringan yang kuharapkan pun terjadi. Lengkap dengan nomer telepon nya sebelum ia pergi dan aku kembali ke teman kerjaku yang sudah menunggu, menunggu sambil menghembuskan nafas lega dan menyeka keringat didahinya.

“Tumben nggak digampar, Ndol” katanya sambil terkekeh.

Aih sudahlah, aku sudah terbiasa mendapat reaksi iri khas para pria yang kalah nyali lalu mengintimidasi dengan kata-kata model seperti ini. Hihihi…

Lalu kembali senyum cengengesan adalah jurus terbaik untuk menjawab pertanyaannya. Tak perlu berbalas kata, toh sebentar lagi juga bakalan ia yang melamun sendiri. Mungkin memaki-maki dirinya sendiri yang melewatkan kesempatan langka ini. Kalau sudah begitu, aku yang kemudian gantian tertawa terkekeh melirik wajahnya yang seakan kosong menatap lantai stasiun kereta api. Wakakaka. UPS!

Ya, setelah lewat sekitar tiga hari aku baru menelepon nomer pemberiannya. Bukan lupa, cuman kurang lebih itulah teknik pdkt ideal yang kutahu dari hasil  diam-diam membaca majalah cewek di toko buku. Ajaib, telepon pertama itu sukses dan membuatku bisa melakukan pertemuan lanjutan walau sempat terseok-seok mencari alamat tempat tinggalnya.

Aku mengerti, banyak kenangan yang terjadi dan akhirnya membuatnya bertanya seperti bait pertama di tulisan ini.

Bukan maksud membela diri. Sepertinya aku sudah beberapa kali menanyakan kesiapan untuk melamarnya. Bukan! Bukan karena aku yang sudah kenafsuan dan tegangan tinggi. Tapi memang faktor tubuh ini yang tidak bisa menunggu untuk segera menikah.

Ya, perutlah yang utama. Bukan faktor dibawah perut. Walau iya sih, ada nyrempet-nyrempetnya kearah sana. Dan jawaban yang kuterima selalu sama. “Kita nikmati saja dulu kondisi seperti ini, mas”, kondisi tidak memikirkan menikah dulu maksudnya.

Tapi…. Bagaimana yah?

Sejak lulus SMP aku sudah sekolah di luar kota. Usai sekolah juga mesti kerja dan kuliah di Jakarta. Hidup di kos-kosan hingga bertahun-tahun. Masih mending jika ada orangtua yang perhatian. Lha ibu ku sendiri sudah meninggal dunia disaat pertengahan tahun kedua aku hidup diperantauan. Terbayang kan begaimana sulitnya?

Kesulitan bukan hanya masalah psikologis kehilangan sosok utama pencurah perhatian, namun juga kesulitan soal kebutuhan dan jadwal makan tentunya. Dari menu yang selalu begitu-begitu saja, bahkan boleh dibilang jauh dari standar empat sehat lima sempurna.

Satu sehat saja sudah syukur, pokoknya filosofinya asal kenyang dan glegekan—beres! Hingga jadwal makan yang kacau balau. Istilah break fast, lunch dan dinner jauh dari kehidupan sehari-hari.

Yang ada adalah jadwal makan yang berbarengan dengan jadwal sholat. Sholat dhuha jam 10, sholat asar jam 3 dan sholat tahajud tengah malam kalau pas lagi ingat dan muncul alarm keroncongan di dalam perut. Kalau sudah terlanjur ketiduran karena kecapekan, jadwal makan akan di jamak (digabung) esok harinya.

Alhasil, dengan ritme hidup seperti itu—penyakit typus dan maag menjadi langganan sehari-hari. Pernah gara-gara sakit maag akut, aku sampai harus dijejali sesendok minyak tanah oleh teman kos karena muntah-muntah padahal sudah dikerok sampai merah berulang kali. Sumpah, aku kapok dengan pengobatan cara seperti ini. Disamping rasanya sangat tidak enak dan getir, rasanya kok aku seperti dianggap lampu teplok saja. Hiks.

Dan dari kejadian itulah akhirnya aku memutuskan bahwa masa penderitaan menjadi anak kos itu, harus segera diakhiri.

…….

“Kerupuk apa ini? Kok enak sekali” tanyaku keheranan bercampur kagum.

Dia hanya tersenyum tertahan.

“Kok rasanya kayak jengkol yah?” kataku lagi untuk memastikan.

Dan meledaklah tawanya di warung makan yang tak jauh dari kampus tempatnya kuliah di ranah Minang ini. Sambil menahan tawa ia pun membenarkan memang yang aku makan adalah krupuk jengkol. Salah satu spesies krupuk langka yang jarang ditemukan di daerah lain. Walau pun memang rasanya enak, sebenarnya banyak yang gengsi memakan krupuk itu. Apalagi kaum muda dan pada kencan pertama.

Yayaya,

Krupuk jengkol itulah moment pertama aku kami berkencan. Rada tidak lazim memang, tapi itulah yang terjadi. Perasaan cinta yang tumbuh dan kesat rasa krupuk jengkol menjadi sebuah adonan perasaan yang saling terkait dan tak bisa aku lupakan.

Perasaan yang akhirnya membuatku untuk memutuskan, bahwa ialah yang memang terpilih dan pantas kupilih untuk menjadi istriku. Sebagai pendamping hidup sekaligus pengobat sakit hati, eh, sakit maag di perut.

Keputusan yang besar dan tentu saja sulit. Apalagi almarhum ibuku duhulu selalu mewanti-wanti untuk tetap ‘nalar’ dalam mencari pendamping hidup. Hal yang kurang lebih berarti aku harus bisa meletakkan akal sehat dan perasaan secara seimbang dalam berurusan dengan gabungan lima hurup paling universal di dunia, yaitu C-I-N-T-A.

Waktu itu aku hanya tertawa-tawa saja  saat mendengar salah satu petuahnya itu. Maklum, umur juga masih beberapa bulan melewati usia akhil baliq. Saat itu aku hanya menganggap kata ‘cinta’ hanyalah istilah situasi dimana mata pria dipaksa mampu bertahan lebih dari 10 detik menatap lawan jenisnya. Bila perlu sampai leher melintir mengikuti posisi pergerakan perempuan yang berjalan kaki berpindah tempat.

Namun bertambahnya usia dan perubahan hormon menuju taraf dewasa. Apa yang dikatakan beliau sungguh sangat benar sekali. Aku juga teringat saat beliau suatu hari bercerita bahwa lelaki dan perempuan itu bukan hanya berbeda bentuk fisik dan model bajunya tetapi juga isi didalam otak dan perasaannya. Kalau yang berbeda di dalam baju, maaf nggak usah dijelaskan saja yah, toh pasti sudah pada mengerti. Hehehe.

Dan perbedaan itu tidak mudah untuk disatukan, bahkan oleh almarhum bapak ibuku sendiri diusia senjanya. Sampai sampai, istilah ‘nerimo’ pun muncul. Kata sederhana yang sering aku dengar semenjak kecil. Kata yang kali itu dijelaskan dengan pandangan yang berbeda. Nerimo sebagai kunci awal untuk bisa belajar mengerti perbedaan dengan pasangannya.

Nah, kembali ke menyeimbangkan akal sehat dan perasaan ini. Ternyata urusan mencari lokasi tempat makan menjadi salah satu tahapnya. Dan anehnya, dengan sewaktu belum menikah dulu—istriku selalu pintar memilih makanan yang kemungkinan cocok dengan lidahku.

Harap maklum, kami dulu termasuk penganut hubungan jenis LDR (long distance relationship). Saya di Jakarta dan dia di Padang. Sedangkan kota itu, kurang bersahabat untuk lidahku yang sangat Jawa dan doyan makanan manis-manis.

Ketepatan memilih makanan itulah yang membuatku menerka-nerka, jika calon istriku ini sepertinya pandai memasak. Kepandaian dibalik dirinya yang manis, kuning dan memabukkan laksana durian dari Sumatera.

Dugaanku benar, ia sangat terampil membuat masakan—khususnya masakan Padang. Masakan fast food tercepat didunia. Dimana fried chiken baru berani menawarkan layanan 60 detik—di rumah makan Padang, anda belum pesan masakan, sudah terhidang. Sudah begitu, kecuali di bulan—rumah makan Padang selalu ada di belahan bumi yang lain, khususnya dipertigaan atau perempatan jalan.

Walau tetap saja pada sempat saat awal-awal menikah, aku ditakut-takui kawan-kawanku jika akan selalu dibuatkan masakan yang pedas-pedas. Tapi nyatanya ternyata tidak. Ia malah lebih banyak masakan dengan olahan kecap. Hal ini sempat membuat orangtuanya secara bercanda pernah berucap dengan kata ‘cabai mahal’ di rumah kami gara-gara susahnya mencari sambal dan banyaknya masakan manis dan berkecap ini.

Namun menjawab candaan ini, istriku menjelaskan bahwa memang menu ini disengaja untuk menetralisir asam berlebih di lambungku. Owalah, aku baru tahu ternyata kecap itu salah satu obat atau cara murah untuk penyakit bekas anak kos sepertiku ini.

Jujur saja, terbersit rasa kagum atas usahanya membuat masakan non Padang ini di rumah. Aku jadi ingat awal-awal menikah dulu juga, saat ia sering sekali berburu resep masakan Jawa di toko buku dan bereksperimen membuatnya.

Bahkan ketika kemunculan aplikasi Warisan Kuliner di ponsel Android, Iphone dan Blackberry sekitar akhir tahun 2012 yang lalu pun ternyata ia lebih dulu tahu daripada aku yang baru tahu beberapa minggu yang lalu. Aplikasi kumpulan resep Nusantara yang praktis dan mudah dibuka dimanapun berada selama ponsel masih ada baterainya dan menyala.

Entah mengapa, memang sudah bakat atau kerja kerasnya—hasilnya kebanyakan memuaskan. Bahkan lebih memuaskan daripada bayanganku sendiri.

Jadi harap maklum, aku sering tanpa sengaja memuji atau membanggakannya soal masakan olahan istriku ini. Kadang aku ingin mengatakan ke para pria agar mencari wanita yang pintar memasak sebagai salah satu point dalam memilih pasangan untuk dinikahi, namun urung aku lakukan karena takut di bully di era emansipasi wanita zaman ini.

Selain takut juga terjadi salah tafsir karena dianggap hanya ingin menikahi perempuan karena ingin menjadikannya koki gratisan dirumah saja. Sumpah, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin berbagi pengalaman bagaimana pujian lezatnya masakannya itu adalah pujian paling tulus dan bakal abadi kepada istri-istri kita.

Pujian yang tidak perlu berbohong saat ditanya “masihkah aku cantik, pak?” ketika mereka sudah mulai menua dan keriput nanti. Pujian yang juga merupakan kata tidak langsung kepada istriku bahwa aku sangat mencintainya.

………

“Kue tart buat ultah anakku..”

Demikian kata yang tertulis di salah satu foto yang di unggahnya di facebook. Sepertinya pujian memasak istriku dibacanya dan ia berusaha menunjukan kemampuan membuat kuenya. Terlambat, tapi tak masalah—itu kemajuan yang luar biasa. Mungkin memang sudah takdir aku bukan jodohnya.

Toh yang penting, jangan sampai tidak jodoh berarti peperangan dan permusuhan. Ini hanya masalah suratan takdir, rencana dan design Tuhan yang Maha Kuasa. Melupakan juga bukan sikap yang baik, lagian mana bisa aku menghapus kejadian masa lalu. Karena memang masa lalu juga bagian dari hidup dan pembelajaran kehidupanku.

Aku segera memencet keyboard laptop dan mencoba menulis,

“Luar biasa sayang,….”

Tapi kuurungkan, sepertinya aku salah menempatkan tanda koma dan kurang lengkap kalimatnya. Seharusnya jadi,

“Luar biasa, sayang bukan masakan nusantara berkecap”

Eh, kok malah sadis begini kalimatnya. Ya sudah, komentar di facebook kubatalkan dan kuganti dengan memencet tombol jempol saja, tanda aku ‘laik diz’ fotonya kali ini.

[Hazmi Srondol]
Don't Miss