Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Restoran 'Fast Food' Tercepat di Dunia Ada di Indonesia

Posted on Jumat, 20 Agustus 2010 Tidak ada komentar

Jumat, 20 Agustus 2010

Sebelum datang era wisata kulinarnya om Bondan Winarno, sempat negeri ini dirasuki oleh budaya makan ala Amerika. Budaya makan yang di istilahkan dengan makanan cepat saji atau 'fast food’.

Seingat aku, pertama kali yang aku kenal adalah produk Kentucky Fried Chiken (KFC) yang iklannya sering muncul diawal-awal siaran TV Swasta RCTI sekitar awal tahun 90-an. Kalau tidak salah di acara film kartun Doraemon.

Lalu muncul lagi produk dari California Fried Chiken yang sekarang juga disingkat CFC. Nah, setelah itu muncul banyak merk lainnya. Beberapa yang aku ingat kurang lebih Texas Chiken, Wendys, Popeyesdan yang sangat fenomenal menurutku ya Mc Donald yang sering di sebut McD.

Kesemua produk yang aku sebut diatas sebenarnya produk sederhana yaitu ayam yang di beri tepung lalu digoreng. Entah apa istimewanya, sampai iklannya begitu gencar sehingga sempat menjadi standar gaul anak muda waktu itu.

Padahal, model makanan seperti itu sudah sejak lama aku memakannya. Bahkan jauh lebih enak dari pada fried chiken-fried chiken tersebut yaitu tempe mendoan, pisang goreng dan tahu susur goreng yang sangat enak rasanya. Penjualnya pun tidak jauh dari rumahku di Semarang sana.

Bahkan kadang aku sempat berfikir untuk menanyakan kembali serifikat paten dari fried chiken tersebut karena bisa jadi mereka mencuri ide dari tempe mendoan dan pisang goreng yang sering aku makan, cuman mereka ubah tempenya menjadi ayam saja.

Sudah begitu, pengaruh iklan dan pembentukan budaya ala fast food ini sempat membuatku makin kesal. Bagaimana tidak. Sudah modelnya meniru tempe mendoan, mereka sepertinya menghina bangsaku ini. Seakan akan hanya konsep makan merekalah sajalah yang punya standar produksi yang sama di setiap cabangnya. Dan paling menjengkelkan, mereka menganggap makanan cara merekalah yang paling cepat pelayanannya.

“Mana ada makanan lokal yang pelayanannya secepat fast food ini, Ndol?” .

“Ada!” jawabku mantab.

“Ayo tunjukan”, katanya lagi.

“Boleh, taruhan juga boleh”, kataku mulai gerah, maklum jiwa nasionalismeku sedang diusik.

“Ok…!”

***
“Ayam paha 2, nasi 2, minum 2, mbak”, katanya ke mbak kasir.

“Baik pak, semuanya 60 ribu rupiah. Mohon ditunggu!”, kata mbak nya sambil menerima uang pembayaran.

“Hitung Ndol!”, perintahnya.

Akupun mengitung waktu dari stopwatch di henpon untuk mencatat waktu pelayanan sejak pemesanan. Tak beberapa lama pesananpun selesai disajikan dan diletakkan di nampan.

“Gimana Ndol? Cepat kan?”, tanyanya dengan senyum puas mengembang.

“Lumayan, 3 menit 12 detik”, jawabku.

“Kok kamu dingin begitu Ndol? Emang ada makanan lokal yang lebih cepat?".

“ADA!” kataku makin mantab.

***

“Ayo itung waktunya”, kataku sengit.

“E…. “, katanya sambil menunduk kalah sambil melirik tumpukan menu hidangan yang tergelar di meja.

Ya, inilah masakan fast food tercepat didunia. Dimana yang lain baru meng-klaim mampu melayani kurang dari 60 detik.

Tapi di restoran ini, belum sempat pesan makanan sudah terhidang. Restoran inilah yang di Nusantara ini dikenal dengan nama:

RUMAH MAKAN PADANG”

[Hazmi Srondol]

Thole, Awas Kejepit !!

Posted on Selasa, 13 Juli 2010 1 komentar

Selasa, 13 Juli 2010


“Bapak, obat nyamuknya habis! Tolong beliin dong pak!”, teriak istriku didalam kamar.
“Iya buk, beli dimana jam setengah sepuluh begini?”
“Indomaret ruko depan masih buka pak. Alfamart juga. Buruan pak, kasihan Dedek pak!”.
“Iya buk!”, kataku sambil buru-buru mengambil kunci mobil.

Baru memegang handle pintu mobil. Munculah Thole sambil berlari mengejar. Haduh, pertanada nambah anggaran neh.

“Aku ikut, bapak!”, pinta Thole antara memaksa dan memelas.
“Hmm, boleh. Tapi NO jajan, NO Nangis!”, kataku mengiyakan tapi dengan syarat.
“Iyah….”, katanya sambil buru-buru menrobos pintu kanan mobil.

Aku geleng-geleng saja melihat kelakuan Thole.

……..

“Mas! Jangan mainan tombolnya!”, perintahku terkaget-kaget melihat Thole menaik turunkan jendela mobil.
“Kenapa bapak?”, tanyanya
“Ntar kejepit!”.
“Kok kejepit?”.
“Iya, itu jendelanya pakai Power Window!”, teriakku.
“Buat apa Power Window?”, tanyanya
“Itu nutup jendela otomatis”, jelasku

Thole terdiam. Sepertinya dia ngeri juga dengan ekspesi ku menjelaskan betapa bahayanya memainkan saklar power window mobil.

Hmm, salahku juga tadi lupa mengunci fungsi power Windownya.

…..

“Permen Sugus Bapak!”, rengeknya di dalam minimarket.
“Tidak!”, jawabku dengan menggeleng sambil sedikit melotot.
“Lolipop!”, pintanya lagi.
“Tidak!”, jawabku lagi.
“…..”, Thole terdiam dengan wajah mulai mewek, tanda mau menangis.

Aku mesti belajar tega. Masak mau diomelin ibuk mulu soal ‘inkonsisten’ ngadepin Thole. Ibuk suka komplain kalau katanya aku suka sok galak didepan namun langsung ngalah ngadepin tangisan Thole.

Tapi malam ini, aku sukses konsisten untuk tidak membelikan Thole Sugus atau Lolipop kesukaaannya.
Sampai dalam mobil sepertinya Thole kesal sekali. Dia terdiam sampai mobil masuk garasi lagi.

…..

“Bapaaaaak! Mas Thole nggak mau pakai cancut neh pak!”, teriak ibuk lagi.
“Kenapa buk?!”, tanyaku.
“Tadi ngompol, sekarang dipakain celana tapi nggak mau pakai cancutnya!”, jelas ibuk lagi.

Aku melirik ke arah Thole yang malah kabur masuk kamar.

“Mas pakai cancutnya!”, perintahku.
“Tidak!”, tolaknya galak.
“Nanti kejepit titit nya maas!”, kataku mulai kesal.
“Tidak!”,
“Eeee… Kok ngeyel!”
“Tidak bapak! Tititku tidak bakal kejepit! Celanaku nggak ada power window-nya!”, jawabnya ngeyel.

Halah!

Thole… Tholeeeeee!

[Bekasi, 13 Juli 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Jurus Anti Ngobrol

Posted on 1 komentar



“Ngger, kamu tahu knapa Gusti Alloh menciptakan dua telinga dan satu mulut?”, tanya almarhum ibuku sewaktu kecil dulu.
“mboten bu”, jawabku.
“Gini ngger, itu tandanya Gusti Alloh menyuruh kita banyak mendengar daripada berbicara”.
“Ngerti maksudnya tho ngger?”, tambah beliau mempertanyakan pemahamanku.
“Mboten bu”, jawabku lagi.
“Orang pinter omong kuwi banyak, tapi yang pinter ndenger itu sedikit. Lihat itu pak Lurah, waktu meninggal banyak yang sedih dan melayat. Bukan karena pak Lurah orang sugih, bukan juga orang pinter kayak profesor. Pak Lurah itu cuman pinter ndenger, ngerti apa masalah orang. Kowe mesti niru yang begitu ngger”, titah beliau.
“Wah ya susah, gimana caranya ibu?”, tanyaku.
“Gampang, saat orang berbicara, dan kamu ndilalah pengen nyela, gigit saja lidahmu sedikit. Pasti kamu jadi bisa nahan omongan, dan kupingmu langsung kebuka ndenger omongan orang. Gampang tho ngger?”, jelasnya.
“Inggih kanjeng ibu, sendiko dawuh”, kataku mengakhiri.

……….

“Oh, jadi bapak sudah lama jadi pejabat disini pak?”, tanyaku.
“Oh iya, saya ini sudah bla…bla…bla”, jawab pak pejabat 15 menit lamanya menjalaskan sejarah karirnya.
“O gitu, kalo anak bapak berapa? Kuliah atau sudah nikah?”, tanyaku.
“Anak saya cuman 2 mas, kita kan ikut KB, anak saya yang gede kuliah di bla..bla..bla… Juara bla..bla..bla..”, jawabnya penuh kebanggaan.

Lumayan cuman 12 menit.

“Anak saya yang kecil masih SMU tapi mas, waaah… hebat sekali dia… rangking bla..bla…bla…”, jawabnya.

Pfff.. 23 menit

“Kalo istri saya, bla..bla..bla…”, sambungnya tanpa kutanya.

Sial, 1,5 jam nerocos.

Ditambah 30 menit lagi cerita kehebatan dia menaklukkan cewek-cewek sewaktu dia kuliah.

“Duh, kanjeng ibu, kenapa begini? anakmu sudah melaksanakan titah ibu sampai lidah ini kebal kena gigit sendiri, mengapa orang kok kalo pada ngomong lama betul, kapan berhentinya?”,bathinku dalam hati. Ingat pesan almarhum kanjeng Ibu.

…..

“Gimana neh pak cara menyetop orang bicara?”, tanyaku ke pak Bambang, seniorku yang aku lihat juga sering meeting dengan para pejabat dan kayaknya tidak ada masalah dengan hobi ngobrol mereka.
“Menyetop bagaimana to mas Srondol?”, tanyanya pengen tahu.
“Ya gitu pak, saya memang ngerti sih, kita mesti bisa denger orang bicara, apalagi sama bos, pejabat dan pelanggan kita, cuman kadangkala saya kan pengen juga ngomong yang secukupnya, kan ada perlu yang lain juga”, curhatku
“Belum lagi ngmongnya suka gak penting-penting, trus…”
”Eh maaf mas Srondol!”, kata pak Bambang menyodorkan telapak tangan kirinya seperti orang menyetop mobil sambil tangan kanannya mengambil HP disakunya.
”Oh iya pak, bisa-bisa, sekarang? Ok-ok, saya segera naik ke lantai bapak”, kata pak Bambang dengan seseorang di Hpnya. 

Sepertinya dirut memanggilnya. 

Oh, kerennya.




”Maaf mas Srondol, saya mesti naik ke atas, pak dirut memanggil”, katanya.
”Oh nggak papa pak, silahkan..”, jawabku masgul, sedikit kecewa dengan pertanyaan yang belum beliau jawab.

Pak Bambang membalikan badan dan berjalan 3 langkah. Tiba-tiba dia berhenti. Lamaaaa…. sekali. Adalah sekitar 10 detik.

Aku binggung dengan sikap pak Bambang.

Namun tiba-tiba beliau balik badan sambil tertawa lebar.

”Gimana mas Srondol, mujarab kan jurus saya? Dijamin efektif buat menyetop pembicaraan orang. Tanpa sakit hati lagi. Iya toh? Hahahaha”, jawabnya puas.

Akupun ikutan tertawa. Kena juga di kerjain pak Bambang. Tapi sumpah aku tidak marah, malah senang dapat jurus menyetop pembicaraan orang.

”Jadi cuman pura-pura angkat telpon dan dipanggil dirut aja ya pak? Hahahah. Mudah sekali ternyata pak Bambang. Keciiiiiil!” kataku puas sambil menjentikan jari kelingking serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas jurus dari pak Bambang.

…..

Siang itu aku mengikuti rapat dengan lebih gembira, apalagi dengan bekal jurus dari pak Bambang, tak ada lagi yang bisa menahanku untuk ngobrol ngalor-ngidul lagi.

Selesai rapat ditutup, aku berdiri dengan mantap dan keluar dari ruang rapat. Sepertinya langkahku enteng sekali. Hmmm, mungkin gagah kali tepatnya. Heheheheh.

“Mas Srondol!”, teriak pak pejabat.
“Iya pak, ada apa?” jawabku sambil tersenyum, membayangkan sebentar lagi aku akan mengeluarkan jurus pamungkas andalahku. 

Aku terkekeh dalam hati.

“Begini, saya kemarin ke bengkel, waaah, mercy saya rusak trus bla…bla..bla…”
“Padahal itu mercy masih baru, enakan mercy yang lama, bla…bla…bla…”, katanay nerocos menceritakan koleksi mobil mercynya.
”Eh maaf pak Pejabat!”,kataku sambil menyodorkan telapak tangan kiri seperti orang menyetop mobil sambil tangan kanan mengambil HP disakuku.

Jurus dari pak Bambang mulai dibuka

”Oh iya pak dirut, bisa-bisa, sekarang? Ok-ok, saya segera balik ke kantor menemui bapak”, kataku.

Jurus lanjutan diluncurkan.

”Maaf pak Pejabat, saya mesti balik ke kantor buru-buru, pak Dirut memanggil”, katanya.
”Oh nggak papa mas, silahkan..”, jawab pak pejabat dengan tatapan mata kosong.

Berhasil! Yeah!

Akupun membalikkan badan meninggalkan pak pejabat. Senang rasanya jurus ini bekerja dengan baik. Sekitar 5 langkah tiba-tiba Hp-ku berdering. Keras sekali. Sound nomer 5 kayaknya.

”Oh iya bu, ntar bapak kirim, tenaaaang, ada kok duitnya”, kataku dengan istriku di telefon yang meminta ditransfer uang buat beli daging, mo bikin rendang favoritku rencananya. Asyiiik.

Selesai menutup telefon, tidak sadar ada seseorang mencolek punggungku. Aku menengok,
Ups ternyata pak pejabat yang mencolek punggungku dengan tatapan mata geram, marah yang ditahan.

”Mas, kok Hpnya bunyi? Perasaan tadi waktu terima telepon dari dirut sampeyan nggak ada bunyinya deh, Nggak suka yah ngobrol sama saya!!”, katanya dengan mata melotot.

ALAMAK!

Knapa pak Bambang nggak bilang HP nya mesti disilent dulu???

[Jakarta, 22 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Dangdut Terlarang!!!

Posted on Tidak ada komentar

“Bapak, nanti ada penyanyi dangdutnya loh, cantik dan sexy lagi”, kata istriku dimeja makan.
“Wuih, mosok bu? Di acara 17-an RT kita?”, kataku sambil tersenyum-senyum.
“Eit, tapi inget ya bapak!”, kata istriku mulai menebar ancamannya.
“Jangan ikut-ikutan joget diatas panggung”, tambahnya.
“Tolong bapak jaga image bapak sendiri”
“Masak bapak yang punya nama besar seorang eksekutif muda perusahaan telekomunikasi besar, yang sering ditawari jadi pimpinan cabang partai gurem bahkan seorang bisnisman besar kelas RW kok ikut-ikutan joget musik pinggir rel begitu”, sambung istriku mengingatkan.
“Waduh bu, kata-kata ibu itu bukan ancaman bagi bapak, itu penghinaan namanya buk”, kataku meninggi.
“Apa ibu tidak lihat foto-foto bapak jaman sekolah, metal habis kan? Mana ada bau dangdut-dangdutnya”.
“Liat juga dong, koleksi kasetnya, semua ada, dari heavy metal, popo, slowrock sampai nasyid pun ada. Tapi dangdut? Mana bu? Mana?”.
“Belom lagi lihat juga dong group bapak yang bapak ikutin di fesbuk. Jazz bu… jaazzzz”, kataku dengan penuh kegagahan dan gengsi.

Istriku diam saja. Masih sedikit cemberut.

….

“Bu, duit londri kok kucel-kucel begini”, kataku waktu melihat tumpukan uang seribuan, uang kumpulan hasil jasa laundry istriku hari ini.
“sini yang seribuan bapak tukar ama uang 50 ribuan bapak, biar rapi”, pintaku.

Tanpa perlu menunggu jawaban istriku, aku tukar beberapa lembar uang seribuan yang kucel-kucel dengan 2 lembar uang 50 ribuan.

“Bu, bapak jalan dulu ke lapangan RT, ibu nanti nyusul saja ama anak-anak ya bu!”
“Iyaa..!” teriak istriku yang masih ribet merapikan bekas makan malam kami.

….

“Wah pak Srondol, selamat datang”, sambut pak RT dengan ramah.
“Silahkan duduk pak, didepan saja, masih kosong kok”, imbuhnya lagi.

Akupun duduk dideretan paling depan. Sederet dengan pak RT, RW dan perangkat RT lainnya. Walau bukan pejabat RT, entah kenapa aku selalu dapat tempat duduk yang paling depan. Mungkin karena aku memang sosok yang dinantikan atau karena emang terkenal jarang kumpul-kumpul jadi ini ibarat jebakan biar aku tidak ngabur duluan seperti biasanya.

Acara 17-an itu pun dimulai. Mulailah beberpa sambutan-sambutan yang membosankan itu di digilir satu-persatu. Aku sudah mulai bosan. Cuman demi menjaga image yang dititahkan istriku, aku bertahan duduk di kursi yang rasanya mulai ada bara-nya. Aku mencoba untuk tetap rileks dan penuh senyum.

Acara semakin malam, acara bagi-bagi hadiah buat anak-anak RT-pun akhirnya terselesaikan. Lalu akhirnya, acara yang paling di tunggu-tunggupun segera di mulai. Bang mandor Tanggap yang disebut “alap-alap” Grup “Naga Binggung” itupun mulai mengelar pasukan sinden dangdutnya. Pemusik an MC sudah mulai kumpul diatas panggung.



Mandor Tanggap mulai membuka acara, musik mulai di setel.

“Hmmm, kampungan, musik pinggir rel”, kataku dalam hati mensugesti diri.

Mulailah satu lagu dangdut yang sendu mulai dinanyikan.

“Oh NO..NO..NO.., ini tidak bagus, aku nggak bakalan bergoyang”, bathinku lagi.

Lagupun mulai dinaikan ritmenya, beberapa bapak-bapak sepertinya sudah mulai mengangguk-angguk, bahkan kaki dan jarinya mulai mengetuk-ketukan mengikuti irama.

Tapi masih belum ada yang bergoyang. Apalagi naik keatas panggung. Sepertinya mata ibu-ibu di RT ini seperti ada tali rantai baja buat suami-suaminya.

Sedangkan bang mandor tampak sedih, sudah beberapa lagu dinyanyikan penyanyinya, hadirin masih diam seperti patung dikursinya masing-masing. Penyanyinya pun mulai tidak antusias, mungkin karena bajunya dibikin rapi, atas perintah perangkat RT tentunya. Wong acara 17-an gini, hari kemerdekaan gitu loo….

Aura yang mulai tidak nyaman itu sepertinya mulai berubah, sebuah lagu dangdut yang energik, judulnya SMS mulai diputar.

Oh, seperti ada tombol listrik yang di”klik”, rasanya seluruh badanku mulai bergetar mendengat intro lagu tersebut.

Tet, terereret reret…. Dsb..dsb…

“..bang, sms siapa ini bang!….”, nyanyi sinden dangdut itu bergema.
“Aku harus bertahan, tidak boleh. Ini tidak boleh terjadi”, bathinku menahan diri, mengendailikan badan agar tidak bergoyang….

Setengah lagupun lewat.

Akhirnya aku kalah, aku seperti ada yang menghipnotis. Mungkin ini pelet dari yang punya orkes melayu biar orkesnya ramai. Aku cuek berjalan ke atas panggung. Diikuti mata perangkat RT dan warga yang melongo. Bodo amat, aku berjoget juga diatas panggung dengan para sinden dan bang mandor.

Hahahah, untung aku bawa uang seribuan kumel tadi, jadi box kosong penyanyi itu bisa terisi sedikit demi sedikit dari sawer yang aku beri sambil bergoyang.

Aneh, sewaktu habis lagu SMS dan dilanjut lagu “kucing garong”, tiba-tiba tanpa di komando, hampir semua bapak-bapak maju ke panggung dengan bawa uang ribuan. Panggung jadi ramai dan seru.

“Wah, ternyata aku hebat. Aku seorang pelopor dan pemimpin kampung sini. Pantas saja parta-partai gurem itu mengejarku jadi ketua cabangnya”, bathin ku dalam hati penuh kebanggan.

Dari panggung aku melihat sekelebat banyangan yang aku kenal tampak keluar lapangan dengan mengandeng sesosok anak kecil. Bayangan itu sangat aku kenal. Itu istriku dan thole.

Kemudian acara dangdut itupun akhirnya selesai sesuai jadwal. Tampak wajah pak RT puas dengan acaranya yang heboh. Bahkan bang mandor menghampiriku sambil berkata:

“Bos srondol, terimakasih sudah menghidupkan acara ini. Hancur reputasi saya sebagai seniman kalau sampai tak satupun yang berjoget”, kata bang mandor sambil tersenyum puas. Gigi emas palsunya sampai tampak berkilauan didepan mataku.

“Oh, sama-sama bang, senang bisa membantu”, kataku berwibawa.
“Srondol gitu loh”, bathinku dengan bangga, serasa satu kancing kemejaku putus satu gara-gara dadaku mengembang besar.

Sesak.

……

“Tante-tante!” kata Bude mencolek istriku.
“Om naik ke panggung tuh, joget lagi”, sambungnya dengan masih terkaget-kaget.
“Ya nggak papa to bude, bapak-nya kan cuman menikmati iramanya, bukan ceweknya”, jawab istriku.

Tampak mukanya memerah, untung barisan ibu-ibu dibelakang dengan cahaya lampu yang tidak terlalu terang.

“Loh, om nyawer tuh tante.”, pekik bude.
“Ya biasa lah bude, om kan lagi sodakoh, buat ngelancarin rejeki”, jawab istriku.
“O… begitu yah, pantes usaha dan karir om lancar. Rahasianya itu to?”.
“Kalo gitu bapaknya anak-anak tak suruh joget sambil nyawer juga ah, biar sukses kayak om dan tante”, kata bude sambil diikuti ibu-ibu yang lain.

Bapak-bapak lain jelas terkaget-kaget, kok tumben-tumbenan istri-istrinya ngasih uang seribuan ke mereka. Ada yang 3000 perak, bahkan ada yang sampai 5000-an.

Setelah dibisikin para ibu-ibu, tanpa di komando bapak-bapak itupun berebutan maju ke panggung, berjoget dengan mantab, bergiliran memberi sawer ke penyanyinya.

Dan istriku beranjak dari tempat duduk sambil menyeret thole.

“Kmana tante?”, tanya bude.
“Pulang, ngantuk”, jawabnya sambil tersenyum, dipaksakan tentunya.

….

Malam mulai dingin, kabut pun mulai turun tanda daun-daun akan berembun saat aku pulang dari lapangan. Sampai depan pintu garasi aku meraba-raba tombol bel rumah. Ups!. Ketemu!.

Teeeet!

Tet-teeeeeeeet!

Sekali lagi aku pencet. Heran, kok istriku tidak bangun-bangun.

5 menit.
10 menit.
15 menit
30 menit

Pintu rumah belum juga di buka.

IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUK!

Teriakku kencang-kencang di depan pintu garasi.

[Bekasi, 21 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Cara Menjadi Cantik

Posted on Tidak ada komentar





“Mas thole, jangan banyak-banyak makan permen Sugus lagi!”, perintahku pada thole yang sedari tadi tampak terus mengunyah permen rasa jeruk kesukaannya itu.
“Tidak bapaaaak, cuman satu kok!”, jawab thole asal.
“Eeee, belajar bohong yah?”, kataku kesal.
“itu bungkusnya pada berserakan dilantai”, tambahku kemudian.
Thole diam saja, tahu bapaknya mulai marah.
“Mas, ingat yah! Bapak tidak suka anak bapak berbohong. Berbohong itu dosa. Sekali berbohong, butuh kebohongan berikutnya untuk menutupinya. Kalo ketahuan bohong, akan bapak cubit pantat mas kayak gini”.

Aku mempraktekan jurus cubitan pada pantat thole, tidak keras. Tapi cukup membuat thole menangis dihari minggu pagi itu.
….
“Bapak, itu apa?”, tanya thole menunjuk deretan mobil yang sedang dipoles diparkiran Mall.
“Oh itu, itu namanya salon mobil nak.”, jawabku.
“Trus yang di oles-oles di mobil itu apa bapak?”, tanyanya lagi
“Kalau itu namanya kompon mobil nak”.
“Kompon buat apa bapak?”
“itu biar mobilnya jadi cantik, mengkilat lagi”
“O.. begitu ya pak?”
“Iya, kalau tidak percaya ayo kita lihat” kataku mengakiri.

Setelah mendapatkan tempat parkir, kamipun turun dari mobil. Aku menggandeng tangan mungil thole untuk melihat dari dekat proses pemolesan body mobil ditempat jasa poles mobil yang banyak ditemui di tempat parkir mall- mall besar.

“Sudah belum bapak?”, tanya thole.
“Belum mas, itu baru meratakan olesan kompon seluruh body mobil”, jawabku.
“Nah, habis itu didiamkan sebentar biar mengering”, tambahku.
“Lama tidak bapak?”, tanya thole.
“Enggak kok, bentar lagi juga kelar”.

Tak lama kemudian tukang poles mobil itu tampak membawa alat listrik yang ada kayak piringnya dengan lapisan kain lunak. Aku nggak tahu namanya, tapi aku tahu jika alat itu mulai dikeluarkan, berarti proses polesan mobil akan segera berakhir.

“Itu diapain bapak, kok muter-muter?”, tanya thole takjub.
“Oh, itu lagi bersihin kompon yang sudah kering itu nak. Coba lihat, mobil jadi mengkilat lagi kan?” tanyaku.
“Iya bapak, mobilnya jadi cantik. Hebat”, kata thole makin kagum.
….
“Mbak, mie ayamnya satu, teh botolnya dua”, kataku ke mbak pelayan kantin di Mall itu.

Aku sudah kelaparan gara-gara nggak terasa sudah 3 jam di toko buku Gramedia dengan thole. Tak satupun buku yang aku beli, malah video edugames yang akhirnya kebeli. Lha daripada malu nungguin thole nyoba semua vcd edugames itu. Sempat tadi thole diajakin muter lihat buku, tapi tidak mau. Trus kalau ditinggal ntar anakku malah ilang lagi. Puyeng dah. Yaudah lah, sekali-kali ngalah demi cita-cita jadi bapak terbaik di dunia.

“Bapak, tante itu ngapain?” tanya thole
“O, itu lagi masang maskara, bulu mata palsu”
“Trus kalo itu ngapain?” tanyanya lagi.
“O, itu lagi dandan” jawabku menjelaskan.
“Dandan buat apa bapak?”, tanyanya lagi.
“itu biar tantenya jadi cantik mas”,
“O.. begitu ya pak?”

Perempuan yang duduk sendiri disebelah mejaku memang pantas jadi pusat perhatian thole. Gaya bajunya sangat aneh, lebih parah dari gaya semarak dangdut, warna-warni nabrak nggak karuan. Kalung manik-manik entah model gaya apa yang dia pakai. Rambut dicat bule, kontras dengan kulitnya yang gelap itu. Belum lagi alis mata nya dicukur dan diganti tatto alis model celurit orang madura yang biasa dipakai buat memanen padi. Parah.

Lebih parahnya lagi, dandannya makin menjadi-jadi gara-gara tahu aku dan thole memperhatikan gayanya yang luar biasa lebay mengayunkan kuas bedaknya. Perasaan istriku juga suka dandan, tapi nggak segitu-gitu amat deh. Bahkan seusai dandan dan merapikan beberapa alat dandannya yang berserak dimeja kantin itu, dia malah sok akrab dengan thole. Kemudian bahkan memanggilnya mendekat.

“Dedek, namanya siapa?”, tanyanya sok ramah.
Thole diam saja, tapi tetap mendekat.
“dandannya sudah tante?”, malah thole yang balik bertanya.
“sudah, emang kenapa dedek?”, tanyanya sambil senyum-senyum.
“Kok nggak jadi cantik?”, kata thole tiba-tiba.

Aku yang lagi nyedot teh botol itu mendadak jadi tersendak. Perempuan itu juga tampak mendelik marah. Thole masih menatap tajam tante itu dengan alis berkerutnya, khas gaya dia kalau lagi ingin tahu sesuatu.
….
“Knapa aku dicubit bapak?” tanyanya sambil menangis di gendonganku.
“Aku kan tidak bohong”
“Tantenya memang tidak cantik bapaaak!”, tangis thole sesegukan.

Aku diam saja, hanya terus diam sambil mengendong thole sambil berjalan menuju parkiran mobil kami. Aku nggak ngerti mesti menjawab apa. Tidak mungkin aku menjelaskan kalau kadangkala kebenaran itu tidak mesti diungkapkan. Nanti dikira tidak konsisten lagi.

Biarlah bapaknya yang baik ini dimaki-maki perempuan itu gara-gara pertanyaan thole. Toh aku nggak kenal ini. Malas nanggapin ocehannya, apalagi sampai aku KO di kantin itu. Mending aku pulang saja.

Capek.

[Bekasi, 20 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Sepatu Kembar dan Kentut

Posted on 1 komentar

“Bapak, aku minta parfumnya!”, kata thole di pagi hari.
“Buat apa mas?”, tanyaku heran.
“Aku mau kayak bapak, pakai parfum”.
“Hahaha, bagus nak, itu baru anak Bapak!”, kataku bangga sambil melirik istriku.
“Sebagai bapak yang baik, bapak harus memberi contoh selalu tampil rapi dan wangi. Biar mantap ke ketemu rekan dan kolega dikantor. Lihat thole, dia mewarisi karakter hebatku”, kataku bangga.
“Oke deeh!”, jawab istriku.


Setelah rapi, akupun duduk dikursi sambil mengambil sikat sepatu dan semir. Thole datang sambil membawa sepatu kecilnya. Kebetulan, model sepatunya sama. Sepatu PDH yang aku beli di pasar Senen. Sepatu yang paling nyaman yang aku punya. Made in Indonesia lagi.



Sedangkan yang lainnya menang mahal doang. Menang gengsi tapi kurang nyaman. Kalau punyaku, yang ukuran 42 dan yang kecil 28 buat thole sekolah. Walau berbeda ukuran, ada yang aneh. Harganya sama semua, masing-masing 85 ribuan rupiah.

“Aku mau kayak bapak, sepatu disemir!”, pinta thole kemudian.
“Hahahah, bagus nak, itu baru anak Bapak!”, kataku bangga sambil tak lupa melirik istriku.
“Sebagai bapak yang baik, bapak harus memberi tauladan ber-penampilan yang baik. Sepatu bapak juga harus mengkilat. Berapapun harganya, kalau mengkilat, lebih mantap jalannya. Lihat thole, dia mewarisi karakter hebatku”, kataku lagi dengan bangga.
“Oke deeeh”, jawab istriku sambil membawa secangkir teh hangat.


Kemudian kamipun melanjutkan kegiatan kami masing-masing, aku berangkat kerja, thole berangkat sekolah Playgroup dan istriku ke kios garasi rumah ngurusin bisnis laundri kiloan kami.
Pagi yang luar biasa.

…………..

“Assalamualaikum!, bapak pulaaaaang maaaas!”, teriakku di depan pintu rumah.
“Wa’alaikum salaaam, bapak bawa apa?”, tanya thole menyambutku dengan riang.
“ini, bapak bawain telur asin bakar oleh-oleh temen bapak”, jawabku sambil menyerahkan kotak telur yang paling ditakuti telor yang lain.

Satu-satunya telor yang ber-tatto didunia, tatto bertuliskan “Telor Asin Brebes”.
Setelah beres-beres dan mandi, aku ke kamar buat sholat Isya sebentar. Sedangkan anak, istri dan pembantu berkumpul duduk di karpet menonton TV.

Selesai sholat, aku keluar kamar dengan hati-hati. Pintu aku buka pelan-pelan agar tidak terdengar bunyi decit engselnya yang sudah mulai karatan. Nah, saat perlahan buka pintu aku mendengar suara letupan yang sangat keras..

“DUUUUUT”

Naik darahku, aku lihat istriku cengar-cengir.

Sebagai kepala keluarga yang baik, hal ini tidak boleh dibiarkan, harus segera diberi teguran!

“Siapa yang kentut! Tidak sopan sekali!”, teriakku menatap tajam sang tertuduh, istriku.
“UGH! Pffft! Bau lagi, sangat-sangat tidak sopan Ibu! Suami pulang kok disambut dengan ketidak pantasan, tidak menghargai suami itu namanya. Subversif….!!”, lanjutku marah demi menjaga harga diri keluarga.

“Yee, kok Ibu yang dituduh”, sangkal istriku membuat pledoi pembelaan.
“Loh, siapa lagi?”, kataku menyerang.
“Mas Thole tuh”, kata istriku menunjuk thole yang asyik menonton TV.
“Ah masa si mas? Keras dan bau seperti orang dewasa gitu”, kataku tak percaya.
“Yaah, kalo gak percaya tanya aja sendiri”, jawab istriku santai.
“Bener mas yang barusan kentut?’, tanyaku perlahan dan di lembutkan agar thole jujur menjawab.
“Iya bapaaaak! Keras ya pak bunyinya?”, jawab thole dengan polos.

Rasanya ada aliran hangat ke arah wajahku, panas sampai ke telinga, Sepertinya mukaku mulai berwarna merah. Malu.

“Hahahah, bagus nak, itu baru anak Bapak!”, kata istriku tak kuat menahan tawa.

Nyindirrrrr!!!!

[Bekasi, 19 Maret 2010]
Diposting juga di KOMPASIANA

Situs Porno Pertama

Posted on Tidak ada komentar

“Internetnya di block Ndol,”, bisik Joe pagi-pagi.
“Hah, serius Joe?”, bisikku sambil mendelik.
”Coba cek”, kata Joe lagi.

Aku jadi penasaran sekali dan langsung buru-buru untuk membuka browser di PC kantor. lalu coba ketik ”www.google.com”. Buset, ternyata kata Joe benar, yang muncul cuman layar putih dengan tulisan:

…. Based on your corporate access policies, access to this web site http%3A%2F%2Fwww%2Egoogle%2Eco%2Eid%2F&type=dns&ISN=B28CEF79B158419BA478AE9FAAAB5668&ccv=130&cnid=966134&cco=US&ct=11 ) has been blocked because the web category “Search Engines” is not allowed……..



Makin penasaran, aku coba situs berita harianku “www.detik.com”. Hasilnya sama, di block juga karena termasuk katagori situs berita. Kemudian aku lanjutkan buat coba buka situs gaul Facebook dan blogging Kompasiana, sudah aku duga juga bakalan di block, tapi walau sudah tahu begitu tetep saja aku nekad pengen buka buat memastikan penderitaan. Hasilnya pas betul dengan dugaan, di blok. 


Aduuuh, aku jadi sediiih sekali.



Mosok perusahan telekomunikasi dan informasi tercanggih di Indonesia ini. Perusahaan yang notabene punya segala jenis lisensi jasa telekomunikasi ini kok tega-teganya malah membuat karyawannya bagai katak dalam tempurung.



Aku ngerti sih, kalo perusahaan pengen karyawan nya efektif dalam bekerja, menghemat bandwith dan bla-bla-bla. Tapi gimana mau bantu promosikan product internet broadband perusahaan jika situs-situs gaul kayak facebook, twitter dan blogging kompasiana juga ikutan di block? Bukankah pelanggan internet baru itu tumbuh karena situs gaul itu? Kenapa tidak coba meniru perusahaan tetangga atau politikus yang malah mewajibkan karyawan atau calegnya aktif di situs gaul buat mendongkrak pelanggan dan pemilih. Malu?

Tapi mo gimana lagi? Ini perusahaan orang, punya orang, bukan perusahaan punya engkong saya. Mau tidak mau, suka atau tidak suka aku mesti nurut dan pasrah. Daripada ntar juragan gede di pucuk perusahaan bilang ”cintai atau tinggalkan perusahaan ini!”… kan malah repot. Toh aku juga masih butuh cari sesuap nasi dan sepiring berlian disini.



Joe tambak tersenyum senyum kecil melihatku cemberut sambil melamun di depan PC.Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Takl lama dia mendekat dan berbisik:


”Wes Ndol, nggak usah cemberut, pakai jalur alternatif aja”, bisiknya sambil tersenyum.
”Males Joe, pakai modem USB. Lambat. Apalagi sekarang gara-gara di block semua orang akses keluar pakai usb modem, makin lambat deh.”, keluhku pada Joe.
“Tenang Ndol, minggir sono”, katanya sambil memberi kode agar aku menyingkir dari kursiku.



Joe lantas duduk dikursiku dan mengetikan sesuatu di PC ku. Emang rada lama, tapi kecepatan jarinya menari diatas keyboard seperti memberikan harapan kepadaku.



“Wes!”, kata Joe sambil tersenyum puas.
”Coba cek lagi”, katanya.



Langsung aku buka semua situs favoritku. Dari detik, Facebook, Kompasiana sampai (ups!) situs dewasa.



Hore! Aku mengangkat kedua tangan keudara. Puas dan senang. Kecepatannya pun 100Mbps. Kecepatan downloadnya juga dasyat!



Joe memang hebat urusan perkomputeran begini. Nggak salah dia dikantor dia jadi expert transmisi dalam dan luar negeri. Bangga juga punya temen seanggakatan sekolah seperti dia. Udah gitu selama 12 tahu ini, kami selalu sekantor bahkan pernah se-kamar kos bareng waktu masih bujangan.



”Ndol gayamu kayak dulu. Kita mengulang sejarah!”, katanya lagi.
Dan kamipun tergelak tertawa bersama. Kompak. Ingat sejarah 12 tahun yang lalu.



……



Sore itu ruang pak Bei sepi. Kami berdua coba cek. Aman.



Semua karyawan sudah pulang. Office boy juga sudah pulang. Mas Amo yang bawel bin nyelekit kalau ngomong juga sudah tidak jelas dimana. Hahahah. Ini saat yang tepat buat belajar Internetan.

Joe cerita kalau dia sudah bisa internetan. Tempat dia kerja praktek waktu sekolah di Surabayaada internetnya, jadi dia sudah mahir berinternet ria. Tapi, yang lebih bikin penasaran dia sudah pernah buka situs cerita dewasa. Wuiiiih, aku yang masih sangat muda saat itu langsung terbelalak. Penasaran dan selalu mengejar-ngejar Joe buat ngajarin internetan. Maklumlah, saat itu internet kesannya adalah dunia pornografi. Bukan seperti sekarang yang kesannya adalah facebook dan chattingnya buat anak muda. Sampai sampai handpone sekarang wajib banget ada 2 aplikasi tersebut. Kalau nggak, kesannya nggak gaul alias nggak online.

Namun situasinya saat itu sangat sulit, kami yang masih karyawan baru (kontrak lagi) masih segan bertanya dan meminjam komputer buat internetan. Paling selintas-lintas ngelirik dan mencuri-curi pandang ke monitor senior senior yang membuka internet.

Dan sore ini, di kantor kami yang tempatnya di ujung pantai utara Jakarta. Kami seperti menemukan kebebasan yang luar biasa. Komputer mas Amo sengaja belum dimatikan, aku pura-pura pinjam buat bikin laporan mingguan buat rapat hari senin. Joe duduk di kursi dan aku berdiri tepat di belakangnya.

Bagai seorang mentor kursus komputer, Joe mulai memberikan arahan cara berinternet.

“pertama, klik gambar huruf E bulet. Tunggu sampai hurup E nya berputar dan keluar lembaran internet”, kata Joe memulai.
”Iyo”, kataku sambil menganguk-angguk.
”Nah, ini sudah keluar halaman internetnya. Sekarang ketik ’www.yahoo.com’ di kotak kecil memanjang diatas ini.”, kata Joe sambil mengetik.



Waah, hebat sekali. Sepertinya halaman Yahoo pertama yang aku lihat itu tampak indah sekali. Seperti lukisan berwarna ungu dengan tulisan-tulisan yang tertata rapi. Oh, sepertinya aku sudah menembus dunia baru, dunia maya. Selamat tinggal ’Ndeso’, kataku dalam hati.



Joe ikutan tersenyum melihat wajahku yang melamun senang, dan aku lihat dia menuliskan sesuatu: 
’Cerita Seru Wiro’… di kotak yahoo tersebut.


”Apa itu Joe?”, kataku
”ini isinya keren, cerita keren”, jawabnya menahan senyum.
”Ogah ah, kalo isinya cuman cerita silat, Wiro Sableng lagi. Udah hapal Joe”, jawabku kesal.
”Bukan, tunggu bentar”, lanjutnya lagi sambil meng-klik deretan tulisan yang keluar dari Yahoo!.

”Tuuuh, lihat dan baca!”, kata Joe lagi.



Waaaaah, ternyata isinya cerita porno dewasa, bahasa indonesia lagi. Lebih keren daripada cerita di buku stensilan waktu SMP yang pernah membuatku dihukum guru BP karena ketahuan ikut-ikutan baca di pojok kantin dengan teman-teman se gank dulu. Belum lagi gambarnya, buanyak sekali. Saking girangnya, aku maksa Joe buat mencetak cerita di situs itu. Rencananya mau aku bawa pulang ke kos-kosan buat di baca di kamar.



“ayo Joe, cepet print! Print! Print!”, kataku mengejar.



Dan Joe pun menurut, tiba-tiba mesin printer diseblah PC itu berbunyi, berderit suara printer dan … kertas itu bergerak naik dengan tulisan yang mulai tercetak!



HOREEE!!



Kami berdua mengangkat tangan keatas, berjingrak-jingkrak merayakan kesuksesan membuka situs dewasa ini dan sekaligus mencetaknya. Kebahagiaan ini hanya bisa di tandingi dengan kebahagiaanku saat terjadi gol Bambang Pamungkas ke gawang Bahrain waktu menonton langsung sepakbola piasa Asia antara Bahrain dan PSSI di Senayan.



Disaat gerumuruh kebahagiaan di ruang pak Bei itu masih bergema, tiba tiba entah sejak kapan datangnya, ada pak Jion berdiri di pintu ruangan.


Langsung saja tawa kami tersekat di leher. Kami blingsatan tidak karuan. Aku coba tutupin layar monitor PC dengan punggungku. sedangkan si Joe tampak kebinggungan mengumpulan kertas cetak cerita dewasa itu sambil mencoba mematikan printer kuno yang suaranya berisik itu.

Gagal.

Kami makin panik.

“Pak Bei dah pulang?”, kata pak Jion, manager bagian sebelah.
“E.. E.. Sudah pak”, jawabku gugup.
“O… Yo wes”, kata pak Jion sambil membalikan badan dan ngeloyor pergi.
“Huff… Hampir saja”, kami langsung lemas sambil melanjutkan tawa. Tapi tawa kami sekarang cuman berkikik saja, cuman lamaaa sekali waktu tertawa cekikian itu.

…..

Sekarang pun kami juga terkikik menahan tawa, ingat kejadian itu. Oh ya, Pak Jion yang dulu membuat terkaget-kaget sekarang malah menjadi atasan kami di bagian kami sekarang.


Ajaibnya kehidupan, tiba-tiba juga pak Jion melonggokkan kepalanya sambil bertanya. Mungkin dia penasaran kenapa kami berdua tiba-tiba pada tertawa cekikikan pagi-pagi begitu.

“Ono opo tho Ndol?”, katanya dalam logat suroboyoan yang kental.
“Nggak ada apa-apa pak’, jawabku.

Kami makin melanjutkan tertawa.

Pak Jion makin binggung.

Heheheh

[Jakarta, 19 Maret 2010]


Diposting juga di KOMPASIANA

Preman Kok Pingsan?

Posted on Senin, 12 Juli 2010 Tidak ada komentar

Senin, 12 Juli 2010




Bluk! Ugh!

Nikmatnya menjatuhkan pantat ini di kursi depan meja komputer rumahku ini setelah pulang dari kantor. Meja yang sebenarnya bukan meja, tapi rak serba guna yang tingginya 1 meter dan panjangannya 2 meter lebih. Tempat berderetnya aneka barang rumah, di dalam lemari terisi piring, box bekas kardus HP dan sebangsanya, CD film bajakan yang bertumpuk-tumpuk sampai aneka rupa yang tidak jelas. Diatasnya juga berderet komputer PC rumah, printer bewarna, mesin jahit Singer dan router wi-fi buat koneksi internet satu rumah.

Hmm, pengen rasanya langsung browsing dan fesbukan. Mumpung aksesnya bebas, gak kayak kantorku yang serba di blok sana-sini oleh admin jaringan. Kadang iri juga dengan istri dirumah, bisa internetan sepuasnya, jam berapa saja tanpa gangguan block dari admin jaringan bahkan lirikan sengit atasan yang mungkin ngiri temen kita sudah ratusan di fesbuk. Hehehehe….. Paling kalo lupa bayar tagihan internet yang cuman 110 ribu per bulan baru gak bisa akses. Tinggal mampir ke ATM, beres dah. Jadi, siapa bilang ibu rumah tangga itu gaptek? 

Nah, waktu tangan ini sudah mulai meraba-raba (ups!), mencet-mecet keyboard. Mataku tiba-tiba melihat sebuah undangan tergeletak diatas printer berwarna itu.

Undangan yang aneh, gambarnya ada foto 4 orang. 2 laki-laki dan 2 perempuan. Belum lagi konsep undangan yang agak kurang lazim untuk ukuran kebiasaanku.

Undangan itu terdapat logo ular naga dan 2 golok yang disilang dengan tulisan ”GRUP NAGABINGUNG”, dan yang paling unik, daftar pengangkat adat alias turut mengundang-nya alaihom gambreng banyaknya. Ada dari grup mandor, grup angkot, grup terminal, grup pedagang. Pokoknya banyak banget, khas undangan para jawara. Kalau kita benar-benar mau membacanya mesti bawa lensa pembesar karena lembar undangannya tidak cukup memuat nama-nama yang ditulis




”Undangan siapa ini buk?”, tanyaku heran
”Undangan kawin masal yah?”, tambahku.
”Bukan pak, itu undangan si mpok Eni”, jawabnya
”Mpok Eni mana buk?”, tanyaku lagi.

Binggung, mpok yang mana itu? Pikirku dalam hati.

”Itu loh pak, mpok Eni yang dulu pernah kerja nyetrika di londri kita.”, kata istriku coba jelaskan.
”Yang mana seh? Perasaan anak buahmu mpok-mpok semua.”, kataku masih binggung.
”Itu tuh, yang suaminya preman perumahan sebelah. Istri mandor Coret yang naiknya RX King.”, jelasnya.
”Oohh… iya, inget. Yang tattoan dan pakai anting ya Buk? Yang dulu mpok itu sering curhat kalo sering kelahi sama suaminya?”, tanyaku memperjelas ingatan.
”yup, bener pak, yang dulu pas berenti sekalian minjem duit buat bikin warung nasi uduk depan sekolahan SD”, jawabnya.
”Yang suaminya suka manggil bapak ”Boooooos!’… itu”, kata istriku sambil terkekeh.

Aku pun juga ikutan terkekeh, teringat dengan preman-preman daerah perumahan kami yang kalo bahasa halusnya ”mandor”. Rata-rata mereka berambut gondrong, topi yang berbau-bau tentara yang mungkin beli di pasar Senen kali dan rata-rata namanya aneh aneh seperti mandor Coret, mador Babat, mandor Sobek dan lain-lain. Pokoknya nama dan mukanya serem atau di seram-seram.

”Lhah bu, jadi si mpok Eni kawin lagi gitu?”, tanyaku heran.
”Bukan paaak, itu adiknya yang nikah.”, jawab istriku lagi.
”Lha kok yang ngundang kakaknya? Bukan orang tuanya”, kataku tambah binggung.
”loh bapak gimana, emang lupa 2 bulan yang lalu mpok Eni ngundang sunatan?”, tanya istriku.
”iya, inget. Knapa memangnya bu?”, kataku tambah heran.
”Kmaren dia untung 7 juta dari sumbangan sunatan. Nah, sekarang dia mo bikin ’proyek’ lagi pak, kawinan adiknya”, katanya sambil menahan senyum.
”Denger dari si Imah, mpok Eni dan suaminya udah minjem 25 juta buat pesta kawinannya adiknya.”, tambah istriku dengan senyum yang misterius.
”Modal gede dong buk”, kataku ikutan menahan senyum.

Kami jadi tertawa bareng, aneh-aneh saja, acara kondangan bukannya sebagai acara wujud syukur dan sedekah agar yang punya hajat dilimpahin rejeki dan kemurahan dari Tuhan malah dijadikan ajang ’proyek’ nyari duit.

”Jadi bapak mau datang?”, tanya istriku lagi.
”nggak lah, nitip amplop aja ama Imah”, jawabku.

……………..

Satu bulan kemudian, waktu aku baru duduk di kursi yang sama, di depan komputer sambil mencopot kaos kakiku. Istriku datang dengan segelas air putih dingin untuk menghilangkan haus sekaligus membuang ’setan’ bawaan dari luar rumah katanya.

”Pak, si Imah barusan cerita. Mpok Eni pinsan kemarin habis pesta”, ceritanya.
”Loh knapa buk? Kecape’an?”, tanyaku heran.
”Nggak tahu tuh, ntar panggil Imah dulu di depan”, kata istriku sambil berjalan ke kios londri memanggil si Imah, keponakan mpok Eni yang menggantikannya sebagai tukang setrika di londri istriku.

Oh ya, almarhum bapak dan ibuku sering mengajarkanku sewaktu kecil untuk berusaha perhatian dan empati kepada orang lain yang kesusahan. Kalaupun tidak mampu memberi bantuan materi, setidaknya perhatian dengan kata-kata yang sopan dan tulus seperti:

”Waduh, turut prihatin, semoga tetap sabar yah!”.

Nah, kata-kata itulah yang aku jadikan standar dalam mengunjungi rekan yang kena musibah baik keluarganya ada yang meninggal, kecelakaan, sakit atau yang lainnnya. Dan sore ini, rencananya aku akan mengucapkan kata yang sama, wujud perhatian kami kepada keluarga mpok Eni melalui Imah.
”Jadi gimana ceritanya Imah?”, tanyaku berwibawa.

Aku dan istriku duduk dengan penuh perhatian, alis di kerutkan sedikit biar kesan serius semakin tampak.

”Begini pak, sehabis acara nikahan kan pada kumpul tuh.”, kata Imah memulai.
”Trus?”, tanyaku.
”Nah, kotak tromol mulai dibuka dan di keluarin amplopnya”, lanjutnya.
”Trus?”, kata istriku makin penasaran.
”Karena lama, mpok Eni keluar dan ngambil cemilan buat yang pada ngitung uang amlop, pas mpok lagi di dapur ngambil camilan tiba-tiba serumah geger.”, kata Imah lagi.
”Geger kenapa?”, tanyaku juga penasaran.
”Ternyata waktu mpok Eni mendekati kerumunan orang yang baru ngitung amplop dia melihat bang Coret pinsan, trus mpok tanya sambil panik kenapa suaminya pinsan.”, sambung Imah.

Aku mulai menahan tawa, aku lirik istriku juga menutup mulut sambil terlihat menahan tawa.

”Kata orang-orang bang Coret pinsan gara-gara uang yang kumpul cuman 15 juta. Eee… mpok denger gitu juga malah ikutan pinsan”, cerocos Imah.

Sumpah, akhirnya kami benar-benar tidak bisa menahan tawa. Tidak terbayang wajah bang Coret, mandor yang gondrong, bertatto dan beranting itu pinsan. Apakah wajahnya masih garang diwaktu pinsannya yah? Heheheh

Dan istriku pasti tidak bisa membayangkan bagaimana pusingnya mpok Eni mengetahui ’proyek’ nya rugi 10 juta, dan itu uang hutang semua…

Sambil terus menahan saya, sesuai niat awal waktu memanggil Imah saya berucap:

”hahahah, turut prihatin ya Imah, semoga tetap sabar yah! hahahah”.

Anehnya, si Imah ikutan tertawa.

[Jakarta, 18 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Presiden Dilarang Mendengkur!

Posted on 1 komentar














“Bapak!”, tanya anakku tiba tiba.
“Ada apa?”, jawabku malas-malasan.

Heran, sepagi ini kok thole sudah bangun, adzan subuh saja belum berkumandang. Thole tampak terus memandangi wajahku yang kusut, maklumlah, namanya juga nyawanya belum kumpul.

“Knapa bapak tidurnya mendengkur?”, tanyanya lagi.
“Karena bapak kecapaian kerja mas, kan baru sampai rumah jam 11 malam. Mas nggak tahu, wong mas udah bobo pas bapak pulang”, jawabku mencoba menjelaskan.
“Oo, begitu ya pak”, katanya.
“Iya”, jawabku pendek.

Aku lalu beranjak ke ruang tamu, sekilas aku lihat istriku sedang memindahkan cucian londri nya dari mesin pengering gas nya. Aku juga heran, jam berapa dia bangun? Kok sepagi ini sudah keringetan begitu. Assistennya juga tampak sudah memasukan beberapa baju ke keranjang sesuai nama-nama pelanggan. Aku clingak-clinguk mencari sesuatu. Gak ketemu. Terpaksa pakai jurus ‘voice command’ alias perintah jarak jauh ke istriku.

“Kopi mana bu?”, tanyaku.
“Tuh, dah di meja” jawabnya singkat sambil terus bergerak mencet-mencet tombol pengering bajunya yang aku nggak paham fungsinya buat apa.

Hmm, kopi AAA dari jambi ini memang luar biasa nikmatnya, untung mertuaku sering membawakan kopi ini kalau menegok cucunya. Pokoknya, kalau sudah nyoba kopi ini, kopi sachetan dari warung Uda lewat dah.

 “Srrup… !”, hmm nikmat.

 ….

 “Bapak nggak boleh kerja!”, tangis anakku suatu pagi.


” Loh knapa? Bapak kan mesti berangkat kerja. Kalau nggak kerja, bapak mesti bayar pakai apa cicilan rumah, mobil, ama bayar sekolah mas?” Jawabku coba menjelaskan.

“Belom lagi kita mesti bayar telefon, internet, blackberry, indovison dan jajan mas..”, tambahku.

“Bapak mengerti, kamu sedih bapak kurang waktu bermain dengan kamu mas, tapi mengertilah nak, ini semua buat kamu dan kita sekeluarga”, jelasku sok bijak sambil tersenyum.
Terbayang betapa anak-anakku ini sangat mencintai dan menyanyangiku, sampai-sampai dia tidak rela di tinggalkan sejenak oleh bapaknya buat bekerja.

Rasanya, pagi ini aku adalah bapak terbaik di dunia.

Dan kalau sudah begini, rasanya aku pantas mencalonkan diri sebagai Presiden atau anggota DPR. Wong mengutip kata seorang ustadz, ‘pemimpin sejati itu teruji di rumah, jika dirumah juga dianggap hebat oleh keluarganya maka hebatlah pemimpin itu dalam keseluruhan. Karena kepemimpinan di rumah adalah kepemimpinan paling nyata, tanpa kemunafikan, tanpa basa-basi dan dibuat-buat’.

Bahkan cerita ustadz itu, banyak pejabat yang tampak hebat dan sukses didunia politik namun di rumah seisi rumah selalu menertawakan statement-statemen hebatnya di media massa atau panggung politik. Nggak nyambung antara kata-kata dengan kelakuannya terhadap istri dan anak-anaknya di rumah.

Hmm, dadaku makin membusung tegak. Aku melihat anakku mulai melunak wajahnya.

 “Iya deh, tapi nanti bapak pulang nggak boleh main sama Pus-ku”, katanya.


“Aku juga nanti nggak ngajak  Pus main lari-larian lagi”, tambahnya.
“Loh emang knapa mas? Pusnya nakal yah? Nyakar atau gigit mas?”, tanyaku binggung.
“Bukan, aku nggak mau pus-ku nanti kecapaian dan tidurnya jadi mendengkur kaya bapak”, jawabnya.
“Lha trus knapa kalau mendengkur?”, tanyaku keheranan.
“Ntar aku ama ibu nggak bisa bobo, bapaaak!”, jawabnya ketus.

Aku jadi cuman bisa ketawa mringis. Ternyata aku cuma ke-ge’er-an saja.

[Bekasi, 17 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Pilih AMAL atau AMAN?

Posted on Tidak ada komentar


“Kok DPLK-nya bank Muamalat?”, tanya kang Bud keheranan.
“Knapa gak B*I atau BR*saja nDol?, bank pemerintah itu kan aman??”, tambahnya lagi.
”Atau nggak Asuransi luar negeri kaya A*****z, bunganya gede loo”, tambahnya lagi.

“Iya pak, ngerti kok, cuman aku sudah lama berurusan dengan bank konvensional”
“Pengen coba aja bank syariah, itung itung‘amal’ pak”, jawabku sekenanya.
“Wahahaha, jadi pilih amal tho daripada aman?”, tawa kang Bud lepas, tidak menyangka dengan jawabanku.“Emang sudah ngerti opo kuwi bank syariah?”, tanyanya sambil menyisakan tawa.
“Ya enggak sih pak, setidaknya ada kata ’syariah’-nya dikitlah pak, setidaknya ada bau-bau islamnya lah. Mosok agamanya islam tapi urusan duit ke bank konvensional semua. Toh bank syariah sama bank konvensional aku sama-sama gak paham. Sama-sama gak ngerti bedanya. Variasi dikit lah kang, hehehe”, jawabku.
Kang Bud pun semakin terkekeh. Katanya alasannya nggak logis sama sekali.
….
Waktu perusahaan tempatku bekerja tiba-tiba mengeluarkan kebijakan pengurusan pensiun oleh lembaga perbankan atau pihak external alias bukan dari divisi SDM lagi, maka dipanggillah beberapa lembaga perbankan dan asuransi untuk diperkenalkan dan dipresentasikan kepada karyawan tempat kami di ruang serbaguna secara bergiliran. Melelahkan dan kadang membosankan. Apalagi untuk orang berlatar belakang teknik sepertiku ini.
Banyak yang terkaget dengan kebijakan ini dan akupun juga sebenarnya juga terkaget-kaget walau nggak kaget-kaget amat.
Karena hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh pak Robert T Kiyosaki, khususnya dalam bukunya ‘Prophecy‘. Buku novel ekonomi karangan pak Kiyosaki-lah yang salah satu termudah untuk aku pahami. Dalam buku itu ada 2 hal yang aku garis bawahi yaitu:

 



1. Kelak perusahaan tempat kita bekerja  tidak akan lagi mengurusi pensiun kita, kita sendirilah yang harus mengurusnya lewat lembaga keuangan perbankkan maupun asuransi.
2. Bahwa program pensiun yang kita ambil akan hancur, program pensiun tersebut tidak benar-benar menguntungkan, karena ‘keuntungan’ dari bunga dana investasi kita akan habis dimakan inflasi dan pajak aneka rupa.

Pada prediksi no. 1 pak Kiyosaki, yang aku kagetkan adalah waktu kejadian yang sangat cepat sejak prediksi pak Kiyosaki tercetak dibukunya. Aku kira bakal terjadi 5 atau 10 tahun kedepan. Ternyata tidak, aturan yang berlaku di Amerika tempat tinggal pak Kiyosaki langsung dengan cepatnya menular ke Indonesia.

Pff… aku merarik nafas panjang untuk mengisi oksigen di otak yang mulai kehabisan oksigen karena mulai khawatir jika prediksi no. 2 pak Kiyosaki juga benar-benar terjadi.

“Beda mas, kalau prediksinya pak Kiyosaki berdasarkan rate bank konvensional. Kalo sampeyankan DPLK nya ke bank syariah, beda pastilah”, kata om Andi suatu hari.

Om Andi yang dosen mekatronika lulusan S3 di Malaysia ini sepertinya cukup paham dengan dunia perbankkan syariah. Apalagi dengan pengalaman om Andi selama tinggal disana. Dimana bank syariah sangat populer, bahkan dengar-dengar terbesar didunia dengan sokongan dana dari dunia Arab. Belum lagi informasi tentang banyaknya dana pengusaha non muslim yang ditabung dan di investasikan di bank Syariah negara sana.

“Bedanya apa om? Perasaan sama aja. Bahkan kreditan motor syariah dengan pendanaan non syariah sama aja bulanannnya. Berarti kan ada patokan rate bunganya dong?”, tanyaku waktu itu.

Om Andi hanya tersenyum saja.

Sebenarnya pertanyaan tentang beda bank konvensional dan bank syariah itu bukan hanya aku saja yang sering bertanya-tanya, seringkali hal ini sering juga ditanyakan oleh rekan-rekanku yang non muslim. Jujur saja aku sering kelabakan. Apalagi jargon “tanpa bunga” nya yang di kira mereka berarti kalau  minjem berarti cicilannya harusnya lebih sedikit. Maklumlah, di negara dengan mental konsuntif ini, pinjaman konsumsi sangat besar sekali peminatnya.

Tapi, dari brosure yang mereka lihat. Hampir kebanyakan mereka akan berfikir sama denganku. Mereka lihat list cicilannya kok sama saja itungannya dengan bank konvensional.

”Ya, jangan dilihat dari situnya lah. Lihat adabnya yang lebih terang dan jelas”, tambahnya lagi.

Jawaban tentang adab inilah yang pernah membuat aku dan sahabatku sewaktu kecil pernah menimbulkan perdebatan. Kebetulan sekarang dia merasa sudah tentram hatinya karena bank yang tempat dia bekerja di Semarang sudah membuat divisi syariahnya. Cocok sekali buat lawan diskusi, sekaligus buat menjawab pertanyaan-pertanyaan kecilku saat dia kebetulan mendapatkan pelatihan di Jakarta.

”Yang penting itu ’manner’nya, tata caranya di islamikan dulu”, kata Setyo.
”lah kok mannernya? Kok bukan sistemnya secara umum di syariahkan? Ntar jangan-jangan kayak makan babi tapi baca basmallah dulu”, gerutuku tidak puas.

Setyo pun jadi tertawa terbahak mendengar gerutuku yang ngawur banget katanya.

”Aku nggak paham Set, kenapa disebut bank syariah, tapi masih menggunakan uang kertas, bukan uang emas dinar atau dirham”, tanyaku mendesak.
”Bukannya mata uang kita dicetak tidak dengan pembanding cadangan emas yang disimpan, karena ngikutin Amerika yang sejak tahun 1971 sudah tidak memakai patokan simpanan emas lagi. Jadi fluktuatif harganya?”, tanyaku menambahkan.

”masalahnya, uang dinar emas dan dirham perak kita sekarang juga merupakan komoditi Haz. Jadi apa bedanya dengan uang kertas?”, tanya nya membalik.
”Loh kok komoditi?”, tanyaku binggung.
”lha iyalah, kan Dinar bukan produksi pemerintah, buatan Antam dan ada biaya produksi. Bahkan penjualnya non pemerintah juga. Jadi ada kemungkinan permainan harga dinar emas jika kebutuhan meningkat? Iya tho?”, tanyanya tajam.

Aku tidak bisa menjawab, berat.

”Nah, itulah yang terjadi di perbankkan syariah kita. Arahnya ada ’persaingan’ antara bank syariah dan penjual dinar emas. Bahkan sempat ada statement kalau bank konvensional 100% haram, kalau bank syariah 300% haram!”, kata Setyo sambil mendengus.

”Coba saling sinergi. Tanpa menunggu pemerintah menjadikan dinar emas menjadi mata uang resmi kedua di negara ini, pasti Bank Syariah kita menjadi sangat kuat”. Setyo menambahi sambil matanya menatap kosong. Penuh keprihatinan.

Aku jadi malas bertanya lagi, situasi jadi sentimentil begini.

Kami sempat terdiam lama, saling membiarkan pertanyan-pertanyaan hilir mudik di kepala dan hati kami masing-masing. Sampai suatu saat Setyo memecahkan keheningan dengan pertanyaannya.

“Jadi, masih DPLK di Muamalat?”, tanyanya.
“Iya Set, amal”, jawabku.

“ Yah, aku ngerti, lubuk hatimu paling dalam mendukung, kamu bertanya karena kamu hanya menanyakan apa yang mungkin menjadi pertanyaan di benak teman-teman kantor kamu yang binggung dengan pilihan DPLK kamu.” Kata Setyo berusaha bijak.

“Memang harusnya perekonomian Syariah itu sudah secara Makro, tapi di negara kita baru disisi mikro ekonominya. Ya lumayan lah Haz, kalo tidak bisa merubah total, setidaknya kita sedikit demi sedikit melakukan perbaikan.”, imbuhnya.

Aku terdiam, pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya pun terkubur dengan sendirinya. Aku cuman berharap, ‘amal’-ku di bank Muamalat bisa bermanfaat.

Setidaknya agar teman-temanku non muslim tidak phobia dengan Islam, khususnya kata syariah.

………………………

“Wah, lumayan bunga DPLK neh”, kata Joe suatu hari di kantor.
“Berapa dapetnya Joe?”, tanyaku.
“Adalah 40% dari potongan gaji buat DPLK sebulan”, jawabnya puas
“Gak sia sia bertahun-tahun gabung di DPLK bank B*I. Amaaaaan!,” katanya girang.

“Aku malah deg degan neh, katanya Asuransi ******ku goncang gara-gra krisis ekonomi Amerika”, gerutu Agus kesal.
“Katanya bunganya gede, kirain dana-nya kuat, kok malah isyunya mau bubar gini. Huh!”, tambah Agus dengan dengusan yang keras.

Aku jadi penasaran dan langsung duduk di kursi meja kerjaku. Lalu membuka laci dan mengambil amplop di dalamnya.

Aku jadi penasaran untuk membuka amplop laporan hasil investasi di DPLK Muamalat yang jujur saja nggak pernah sama sekali aku buka. Bukan malas. Memang ogah saja. Aku selama ini selalu berfikir kalau hasilnya pasti sama saja dengan yang lain.

..kreeet…!

Aku sobek amplop itu dengan perlahan, lalau aku cabut perlahan-lahan. Lembaran penuh barisan angka itu membuatku terbelalak!!

Bagi hasil perbulannya ada bahkan banyak yang lebih besar dari potongan gaji perbulanku. Bahkan jumlah total-nyapun  lebih besar dari punya temanku yang non syariah! Walau kadang hasil investasi perbulannya menyusut karena sedang di investasikan dananya, tapi tidak sampai terpaut jauh dengan hasil investasi di bank konvensional.

Senyum lebar langsung terkembang di bibirku, sepertinya ramalan pak Kiyosaki hancurnya program pensiun oleh lembaga keuangan bakalan dipatahkan oleh bank syariahku. Entah untuk bank konvensional.

Belum lagi, selama krisis dunia 2009, bank syariahku tidak ada gejolaknya sama sekali. Adem ayem tentrem kerto raharjo. Hehehehe. Niat awal yang cuman buat amal ini ternyata dijawab Alloh dengan keamanan plus keuntungan.

Aku makin girang. heheheh

Joe dan Agus pun jadi menoleh ke mejaku, penasaran dengan hasil investasi DPLK ku di bank Syariah itu.

”Gimana DPLK Syariahmu Haz?”, tanya Agus menyelidik.

Aku berdiri dari kursi, dengan senyum yang makin mengembang aku julurkan tangan ke arah mereka dengan mengacungkan jempol sambil berucap:

”MANTAB!”

heheheheh

[Jakarta, 15 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA
Don't Miss