Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

OUGHHH! Kaos Untuk Blogger Edan

Posted on Minggu, 29 Desember 2013 Tidak ada komentar

Minggu, 29 Desember 2013

“Sumpah, ini bukan Hazmi Srondol. Ini fansnya Cherybelle Indonesia. Cibi-cibi, Hahaha…”

Jujur saja, aku sempat tidak paham saat sekilas kubaca status facebook yang di-tag oleh sahabatku Fyesta Afrilian. Apalagi gayanya sangat aneh. Kufikir ia sedang mencoba melontarkan joke-joke yang sering dilakukan oleh rekan-rekanku yang lain di facebook.

Namun setelah beberapa detik memperhatikan, baru tersadar!

Gaya tangannya di foto ternyata sedang meniru gaya foto profilku yang kupakai di akun social mediaku. Termasuk di Kompasiana ini. Lebih mengagetkannya, kaos yang dipakainya ternyata… Karikatur diriku, lengkap dengan tagline “Hazmi Srondol, Blogger Edan!”

Wah, antara tertawa ngakak dan terkagum melihatnya. Aku masih tidak menyangka, sahabat yang dulu sewaktu masih sama-sama SMP adalah duet ektrakulikuler PKS. PKS yang bukan partai, namun singkatan Patroli Keamanan Sekolah. Sebuah eskul yang paling menyenangkan saat upacara bendera setiap hari senin. Dimana siswa yang lain berdiri pegal, kami berdua enak-enakan di depan sekolah sambil sok mengatur lalu lintas.

Padahal seingatku, mikrolet yang lewat belum tentu peduli dengan gaya kami yang ala polantas ini. Tapi kami tidak perduli, dicuekin mikrolet jauh lebih nyaman karena badan bergerak bebas daripada rekan yang lain. Bahkan sesekali sambil jajan es di warung. Hal ajaib saat yang lain sedang upacara.

Usai lulus sekolah, kami berpisah jauh. Ia masuk salah satu sekolah SMU favorit di kota Semarang dan aku lebih memilih sekolah di luar kota. Setelah itu, entah kemana ia kuliah—aku tidak tahu. Hingga suatu waktu muncul aplikasi facebook yang membuat kami bertemu kembali.

Dan kaos yang dipakainya membuatku tertarik untuk membelinya, apalagi kemunculan kaos tersebut di bulan Mei 2013 ini bertepatan dengan request me-review dalam video sebuah program internet cepat dari salah satu provider telekomunikasi di Indonesia. Rasanya, ini saat yang tepat untuk memakai kaos tersebut.

Lalu dari seberang pulau di Kalimantan, tepatnya Samarinda—suara serak khasnya yang sudah belesan tahun tak kudengar kini terdengar lagi. Sambil tertawa ia berkata “Gratis! Minta alamatmu buat kukirim…”

Ahaaay! Alangkah senangnya.

Kebahagian sekaligus rasa penasaran campur aduk menjadi satu. Penasaran perihal kaos ini. Bayangkan saja, karikatur diriku tampak pas dengan kepribadianku. Lengkap dengan blangkonnya. Belum lagi setelah kaosnya sampai, kualitasnya cetak gambar dan bahan kaosnya sangat bagus dan halus. Bukan kelas ecek-ecek yang dipakai sedikit membuat gatal. Mesti direndam cairan pelembut agar nyaman dipakai. Kaos ini tidak.

1388170255161868387

Fyesta dalam berita Harian Kaltim Post


Usut demi usut, kekagumanku semakin membesar setelah tahu—semenjak lulus kuliah jurusan kesehatan, walau agak melenceng dari latar belakang pendidikan--ia begitu berani berdikari membuat usaha sendiri. Dikutip dari harian Kaltim Post yang memuat berita usahanya, ternyata awalnya ia bermodalkan hobi utak-atik gambar melalui potoshop dan corel serta rajin browsing di internet. Modal intelektual yang membawanya berani hijrah ke Kalimantan dan memulai usahanya. Keberanian yang harus kuakui—aku sangat jauh dibawahnya.

Semakin mengejutkan, brand OUGHHH! yang dibuatnya ternyata bisa di custom atau dimodifikasi sesuai permintaan pelanggannya. Hal unik yang membuatnya mampu meraup omzet 70 juta/bulan di tahun 2012. Untuk akhir tahun 2013 ini, tentu sudah berkali-lipat mengingat konsep pendapatan dari usaha sendiri selalu bergerak exponensial atau kuadratis. Berbeda dengan karyawan yang hanya linear saja.

Buktinya tentu berkembangnya usahanya dengan munculnya merk baru bernama Djoeragan Kaos yang dari akun pages facebook-nya, pelanggannya sudah mencapai ribuan. Bukti lain tentu saja foto jalan-jalannya ia dan keluarga di luar negeri. Hasil yang wajar untuk usahawan seperti dirinya. Jelas ini membuatku jadi ngiri dan nganan. Hehehe…

Jadi, kufikir ia kini juga kini perlu kusebut usahawan edan. Edan yang dalam bahasa gaul Semarangan sering dilafalkan ‘eidyan’ yang berarti luar biasa hebat hingga kata ‘hebat’ saja tidak cukup mewakili penghargaan prestasi yang di capainya.

Bahkan, jika jika dihubungkan dengan eskul jaman SMP dulu. Kini ia pantas kembali menyandang gelas “PKS” betulan. Kali ini, singkatan dari Pengusaha Kaos Sukses. Kesuksesan yang sayangnya, tidak kuimbangi dengan suksesnya menyampaikan pesanan kaos edisi “Blogger Edan” ini dengan alasan klasik “sok sibuk”. Hahaha…

Padahal sudah berjibun kawan-kawanku memesan untuk membelinya. Bahkan yang mengagetkan, salah satu direktur di kantorku juga memesan satu buah dengan ukuran M. Jadi mau tidak mau, sekarang mesti menyampaikannya lagi sambil membuka situs kaosnya di http://www.oughhh.com dan http://www.djoeragankaos.com/.

------

@hazmiSRONDOL

Blogger Eidyaaan!

Filosofi dari Dapur

Posted on Selasa, 24 Desember 2013 Tidak ada komentar

Selasa, 24 Desember 2013

Gegara sakit perut dan mesti beristrahat di rumah, malah dapat info baru dari bini bahwa masakan daging di Minang itu ada 3 tingkatan, yaitu Gulai, Kalio dan Rendang.

Nah, berhubung Thole suka kalap makan kalio--tak seperti gulai dan rendang yang gampang diteukan di warung, mau tidak mau-- ibunya mesti berjibaku di dapur.

Dari obralan dapur--jadi mikir, memang sepantasnya rendang kita klaim balik jd milik Indonesia. Ada tingkatan filosofinya disana. Harus tahu bedanya. Belum lagi barusan ada penjelasan tambahan, ada lagi sodara rendang--namanya malbi. Mirip rendang tapi masih cair dan isinya jeroan sapi.

Hanya pembeda utamanya, malbi hanya khusus dihidangkan pas lebaran dan populer di Palembang dan sekitarnya. Gak seperti rendang yg bisa kapan saja. Cuman aku belum paham filosofinya apa.

Sumpah, urusan masak gini--mesti nyembah ama bini. Chef yang ada di tv mah lewat. mereka berbasis percampuran bumbu dan takaran panas apinya saja. Teknis.

Sedangkan bini, filosofis. Jadi paham kenapa Indonesia disebut bangsa yang "berbudaya". Apa pun yang dilakukan/dibuat oleh warisan nenek moyang semua ada filosofi dasarnya. Gak asal-asalan. Karena teknis bisa ditiru. Bahkan diperbanyak melalui mesin. Filosofi tidak.

Filosofi muncul dari kearifan lokal, tanda penyatuan manusia dengan alam. Cuman ujung-ujungnya jadi gak enak ati saat anak bertanya, "kenapa bapak sakit perut?".

Pertanyaan yang disamber jawaban "Soalnya bapakmu keseringan jajan di luar".

Yang jelas, ini harfiah--bukan filosofis.

------
Follow: @hazmiSRONDOL

Film Soekarno, Sebuah Review dan Pertanyaan

Posted on Sabtu, 14 Desember 2013 Tidak ada komentar

Sabtu, 14 Desember 2013

"Film Soekarno-nya bagus, pak? Banyak kontroversi katanya? Ceritain, pak!" pesan istriku lewat ponsel penuh penasaran. Aku hanya sekedar menjawab "iya" lalu menutup kembali ponsel sambil menunggu taxi yang mendadak susah dicari ketika hujan deras begini.

Entahlah, semenjak datang ke Blitz Megaplex Grand Indonesia (13/12/1013) bersama rekan Blogger Reporter Indonesia untuk nobar (nonton bareng) Film Soekarno : Indonesia Merdeka ini, hujan tak henti-hentinya mengguyur kota Jakarta.

Bisa jadi, ini pertanda rejeki besar segera turun membasahi bumi pertiwi atau pertanda akan ada tangisan usai pemutaran film ini?

Ya sudah, saya tak mau berandai-andai. Kita kembali bahas film ini saja dari beberapa sudut pandang saya, yaitu:

1. Sinematography

Langsung saja, secara teknis film ini layak mendapatkan bintang lima. Rating tertinggi dalam hal sinematograhy. Banyak hal yang membuatku mengacungkan jempol laik diz berulang-ulang. Pertama tentunya adalah bahwa film ini 100% digarap para sineas Indonesia. Selain Hanung Bramantyo sebagai sutradara, kameramen, wardrop hingga katering konsumsinya. Kecuali figuran bule, tentunya. Hehehe...

13870269311018194852



Lalu coba perhatikan baik-baik bayangan yang timbul di setiap adegan. Jika sebagian besar film terkadang muncul bayangan ganda seperti bayangan pemain sepakbola di stadion atau malah tidak ada. Semua tampak natural atau alamiah.

Bahkan saat suasana malam, beberapa kali kuperhatikan bayangan ikut bergoyang-goyang mengikuti cahaya obor. Ini artinya, film ini tidak memakai cahaya dan tata lampu buatan. Gila!

Sudah begitu, gambarnya begitu tajam dan halus dengan tone warna yang sangat cinematic look dan klasik. Perpindahan scene juga sangat halus. Tidak njomplang dari satu adegan ke adegan yang lainnya. Hal yang menunjukan bahwa penulis script sangat detail dalam membuat skenario dan story board serta editornya sangat teliti dalam penyelesaian editing filmnya.

Sedangkan misteri kamera yang digunakan dalam film ini, film dengan pencahayaan yang sangat minim--yang membuatku dahiku berkerut tajam menebak-nebak, akhirnya terjawab saat mencoba menyelidik dari akun tweet @faozanrizal.

Ternyata, film ini memakai kamera Arri Alexa. Pantes! Sekedar informasi, kamera ini adalah "ferarri" nya kamera film yang mampu berkerja pada asa ISO 1600 dengan ketajaman maksimum, bahkan dimalam hari.

Kamera yang hanya bisa "ditempel" kemampuannya oleh kamera sekelas Red Epic atau Canon C500. Kalau dibandingkan kamera Sony Nex-VG30 ku yang biasa kupakai untuk ber-video blogging. Ya jauhlah, kawan! Hahaha...

2. Pemeran

Nah, kembali nilai bintang lima kuberikan kepada semua pemerannya. Walau sempat mendengar kabar ngambek-nya salah satu putri Bung Karno karena Anjasmara batal memerankan Bung Karno dan digantikan oleh Ario Bayu.

Belum lagi banyaknya keraguan terhadap Ario yang dirasa kurang pas memerankan tokoh sebesar Bung Karno. Namun, IMHO, Ario Bayu membuktikan diri sebagai pemeran yang pas untuk sosok Bung Karno.

Gestur, ketegasan gerak badan, logat, cengkok Bung Karno mampu di adaptasikan oleh Ario. Bahkan sisi "flamboyan" yang lebih dikarenakan oleh kemampuan how to treat a woman - bukan jual tampang ala Bung Karno sukses dilakoninya. Mohon maaf kepada Anjasmara, wajahnya terlalu 'manis' untuk menjadi Bung Karno

1387027040846721371

Ario Bayu, Soekarno Wannabe (Sumber: Youtube)


Maudy Koesnady, pemeran Inggit Garnarsih pun tak kalah memikat. Sosok kembang desa Kamasan, Bandung yang memikat hati Soekarno dan sempat membuat munculnya isyu bahwa Bung Karno terlalu diatur Inggit mampu di perankan dengan sangat luar biasa. Belum lagi caranya marah saat hendak dimadu ala Inggit membuatku seakan sedang menjadi pak RT yang sedang melihat cek-cok pasangan suami istri ini secara langsung dan nyata.

13870271061915932364

Maudy Koesnady as Inggit Garnasih


Kemudian sosok Bung Hatta yang di perankan oleh, hadeh, Lukman Sardi ini kembali membuatku angkat topi. Padahal sudah entah berapa kali aku melihatnya berperan di layar lebar. Namun Lukman Sardi seperti bungklon yang mampu menjadi apa saja, mencitrakan apa saja.

 

13870277281940608694

Lukman Sardi sebagai Bung Hatta


Nah, yang sempat under estimate tentu Tanta Ginting. Maklum, saat sebelum acara nobar dimulai-Daniel Mananta sang pemilik brand Damn, I Love Indonesia sekaligus sponsor nobar kali ini terlalu bayak bercanda saat wawancara. Apalagi jawaban Tanta yang terbawa cengengesan sempat membuatku apriori dengan kemampuannya. Namun, mulut langsung ternganga saat film diputar. Sosok Syahrir yang kecil, cerdas. berapi-api dan lawan sengit diskusi Bung Karno seakan terlahir kembali. Dua jempol, bro!

1387027167283027591

Tanta Ginting, pas jadi Bung Kecil (Syahrir)


Dan terakhir, ehem, Ratu Tika Bravani membuatku terbelalak kaget. Kok bisa-bisanya gadis manis kelahiran Denpasar mampu menjadi perempuan Bengkulu yang gaya bahasanya begitu wong kito galo banget.

Jujur saja, istriku yang berdarah Melayu Jambi yang gaya bahasanya ala ibu Fatmawati ini kujadikan rujukan. Jika logatnya tak mirip, tentu sudah aku caci maki dan bully di socmed. Namun berhubung perannya sangat-sangat memuaskan sebagai bu Fatma, maka aku hanya mengajaknya berfoto saja di usai acara. Hehehe...

13870272471451863031

Ibu Fatma dan Bung Karno -- Eh, Bung Kusan :p


3.     Sejarah

Nah, memang harus diakui-bakal banyak kontroversi untuk latar belakang penggambaran sejarahnya.  Ada beberapa point yang memang mesti mempertanyakan lagi keabsahannya. Seperti saat adegan Bung Karno diam saja melihat perwira Jepang di pijat perempuan Indonesia yang hanya memakai kutang hingga kesan Bung Karno yang tampak 'galau' dalam menghadapi para perempuan.

Bahkan jika tidak hati-hati menonton dan menterjemahkan, bisa jadi pemberontakan dan latihan pidato Bung Karno untuk melawan Belanda selama ini, hanya dikarenakan oleh penolakan orang tua Mien, noni Belanda kekasihnya.

Namun, secara umum-latar belakang sejarah yang difilmkan ini sepertinya lebih merujuk ke wikipedia. Saya pun yakin Hanung sebagai sutradara sudah melakukan beragam survey dan masukan dari narasumber. Tak terkecuali mampir ke Museum Proklamasi untuk mendapat bayangan pembuatan fimnya.

Soal kesan lanjutan perihal sikap koorperatif Soekarno-Hatta, hal ini memang akan membuat pandangan terbelah. Antara kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan atau hadiah dari Kaisar Jepang?

 

13870277942095654017

Nippon


Hal yang sangat bisa dimaklumi. Jangankan pandangan sekarang, padangan rakyat Indonesia zaman dahulu pun begitu. Bahkan di Jepang sendiri juga sempat muncul pemberontakan dari Mayor Kenji Hatanaka yang mengerahkan 1000 pasukan untuk mengepung istana Kaisar agar membatalkan pengumuman kekalahan Jepang terhadap Sekutu yang akhirnya bisa dicegah oleh pasukan yang setia terhadap kaisar.

Hal yang tentu berimbas terhadap pasukan Nippon lain, termasuk di Indonesia. Masih banyak pasukan Jepang yang menolak mengakui kekalahan dan akhirnya bertempur dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar yang dipimpin Soepriadi dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Sedangkan soal polemik dengan keluarga mendiang Soekarno, saya fikir wajar. Tak mudah menyenangkan semua pihak dalam pembuatan biopic seperti ini. Apalagi sosok yang difilmkan sudah meninggal dunia. Kalau tidak mau ada polemik pembuatan biopic, memang para sineas paling aman membuat film branding sosok yang masih hidup saja.

Contohnya film tentang sosok salah satu capres 2014 yang sedang digarap dan akan ditayangkan sebentar lagi. Soal isi filmnya, pasti sudah banyak menebak, lha wong jangankan fimnya-acara kuis yang dibuatnya di stasiun televisi sebelumnya juga sudah ketebak jawabannya padahal soalnya belum dibacakan. "A. Istana Maimun!" hihihi...

4. Suasana Nobar

13870273611100147086

bersama rekan-rekan Blogger Reporter Indonesia dan pemeran Bung Sahrir


Senang rasanya saat saya bisa bertemu rekan-rekan blogger reporter lain dari BRID. Soalnya, jarang sekali bisa bertatap muka dengan para sahabat ini mengingat selama ini hanya bisa berjumpa di dunia maya. Acara yang rencananya dimulai jam 19.00 WIB sedikit mundur karena ada sesi wawancara dengan beberapa pemeran utamanya minus mbak Maudy Koesnady.

Sempat bulu kuduk ini merinding saat sebelum acara dimulai. Setelah lama sekali, terakhir sebelumnya film Merah Putih 3-akhirnya ada lagi film yang mensyaratkan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pemutaran filmnya.

Walau pun, usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, sesaat acara film dimulai, terbahak dengan intro lagu keroncong 'Terang Bulan'. Entah apa maksudnya ini. Antara memang sebagai ketidaksengajaan  atau memang sindiran ke Malaysia yang sering disebut "Indonesia KW2". Hahaha...

Nah, kurang lebih beberapa laporan pandangan mata mengenai film Soekarno ini. Film yang membuat istriku mendadak hari ini ingin sekali menontonnya juga.

Entah karena memang penasaran dengan cerita yang kubawa pulang atau gara-gara usai membaca berita perihal putusan Pengadian Niaga untuk penurunan film ini di bioskop oleh laporan Rachmawati ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 93/Pdt.SUS-HakCipta/2013/PN.Niaga.Jkt.Pus pagi ini (14/12/2013). Byuh!

***

[Hazmi Srondol]

Tentang Korupsi Kata

Posted on Tidak ada komentar
 

Pagi ini saya dibuat terbahak oleh status sahabat yang mengkritisi penyunatan bahasa pada kata "gegara" dan "tetiba". Dua kata penyunatan dari kata baku EYD gara-gara dan tiba-tiba.

Ya, kembali saya mengamini bahwa memang bahasa berikut turunannya seperti kalimat dan kata adalah sejenis organisme yang hidup. Bisa memanjang atau memperpendek dari kata awalnya.


Konsep yang sering diistilahkan sebagai korupsi kata. Tentu ini dalam konteks bercanda. Toh pengurangan huruf atau mark up kata sah-sah saja, karena inti bahasa kan kesepakatan atas pemahaman tertentu.

Nah, ada yang lebih unik lagi. Jika korupsi kata ini biasanya bermain di abjad, beberapa bulan yang lalu istriku dikejutkan oleh pesan BBM dari pelanggan online shopnya.

Bayangkan, setiap pesannya selalu diakhiri tanda "seru" atau "pentung. Tanda (!). Hal yang kufikir merupakan cara kasar dalam memesan barang. Antara marah-marah atau memaksa.

Namun setelah ditelefon dan terdengar suara lembut keibuan, barulah ia mengerti--gaya tersebut biasa dipakai oleh ibu-ibu di kalangan mereka di daerah Banjar, Kalimantan.

Aku sempat bersyukur, walau sedikit nyleneh dalam penggunaan tanda tersebut untuk menggantikan tanda titik--setidaknya tidak terjadi korupsi kata.

Hal yang tak lama mesti saya tarik ulang kesimpulan ini, karena sesaat diminta alamat untuk pengiriman kata. Korupsi kata besar-besaran terjadi.

Bukan sekedar mengurangi hurup, namun total dihilangkan ketikannya. Pelanggan baru itu mengirimkan alamatnya berupa foto KTP. Lengkap dengan foto wajahnya yang berkerudung biru. Ini korupsi kata atau malas ngetik?

Hadeh! Tepuk jidat


[Hazmi Srondol]

Bahaya Buku "The Best Monday FlashFiction" Untuk Penderita Sakit Jantung

Posted on Senin, 09 Desember 2013 Tidak ada komentar

Senin, 09 Desember 2013

“Tapi, mas. Cerita ‘fiksi’ kadangkala lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri” kata Si Bengal Liar—nama pena pemilik suara manja ini mengagetkan. Tepat saat seperti biasa kami berdiskusi soal tulis menulis ini. Sedangkan malam itu, kami membahas soal ‘fiksi’ ini.

“Maksudnya?” kataku penasaran

“Coba deh beri seseorang topeng atau tameng berupa kata ‘fiksi’ dalam tulisannya maka ia akan menjadi dirinya sendiri” jelasnya lagi berfilsafat.

Kalimat yang jelas memaksaku untuk segera bertanya darimana ia mendapatkan kalimat ajaib ini.

“Uknown, mas” jawabnya sambil terkekeh.

Ya, kadangkala dalam hidup kita masuk dalam perangkap standar sosial. Standar perilaku yang dibatasi oleh nilai-nilai yang sudah terbentuk oleh sikap kita sendiri atau masyarakat sekitar. Nilai yang menjadi patokan eksistensi kita pada lingkungan terdekat, jika tidak mampu menjaganya—bisa-bisa kita terdepak dalam lingkarannya.

Dan ternyata, ada sebuah lorong kecil untuk bisa menjadi diri sendiri yaitu memanfaatkan kata ‘fiksi’ untuk bercerita tentang kepribadian atau perasaannya yang asli. Tempat melepaskan energi yang terpenjara oleh kungkungan yang kusebut sebelumnya sebagai kotak “sosial”.

Walau sebenarnya, ini sebuah penyalah gunaan kata fiksi itu sendiri. Tapi tak mengapa, toh tak ada larangannya. Apalagi memang tak ada undang-undangnya yang membahas soal ini.

Nah, bagaimana dengan menulis kisah fiksi yang asli?

Menurut Kang Pepih Nugraha—seorang senior jurnalis sekaligus pendiri blog keroyokan Kompasiana pernah mengatakan bahwa menulis fiksi adalah salah satu teknik menulis yang tersulit. Apalagi jika harus melepaskan kepribadian kita dalam penokohan cerita fiksi yang kita buat. Hal yang harus kuakui, bagiku sendiri adalah hal yang terberat dalam menulis.

Karena kalau itu yang menjadi tolak ukurnya, bisa jadi para penulis fiksi asli ini tak ubahnya sebuah antena penangkap frekuensi ala televisi. Yang boleh jadi, dirinya adalah sekedar alat pencatat cerita “nyata” pada dimensi, waktu atau kejadian nyata yang berada entah dimana.

Tak heran dahulu salah satu atasanku di kantor pernah mengatakan bahwa “kemampuan menulis adalah sebuah kutukan”. Sebab ketika energi dan kisah dari alam semesta yang sering kita sebut “ide” itu muncul, mendadak kita seperti orang gila, sakau atau salah tingkah tidak karuan.

Keadaan yang hanya bisa dihentikan ketika kita sudah memegang pena atau keyboard komputer. Saat-saat dimana para penulis ini menjadi sejenis alat untuk menyampaikan pesan dari alam semesta.

Hal yang akhirnya membuatku sering dikritik oleh sebagian kawan karena selalu memberi nilai bintang lima untuk semua buku atau cerita fiksi ini.

Bukan perkara tega atau tidak tega, namun bagaimana pun cara menulisnya—apa pun hasil karya fiksi tersebut. Para penulisnya jelas berada satu tingkat diatasku. Mereka melakukan hal tersulit yang belum tentu bisa kulakukan.

Begitu pula pada suatu malam, sepulang berkerja—tergeletak sebuah buku yang kupesan dari nulisbuku.com. Sebuah buku berjudul : Kumpulan Flash Fiction dan Fiksimini “The Best of Monday FlashFiction” dari komunitas MFF (Monday Flash Fiction) yang digagas oleh Carolina Ratri atau lebih akrab dipanggil mbak Redcarra.

Ya, semenjak membaca bab pertama berjudul 25 Menit karya Latree Manohara yang bisa dibaca secara gratis dari situs buku penerbitnya, aku langsung begitu tertarik dan penasaran dengan bab lain yang hanya bisa dibaca jika kita sudah membelinya.

Bagaimana tidak penasaran, dari bab pertamanaya saja sudah jelas terbukti kata dari Kang Pepih. Dalam cerita tersebut, setting kisahnya adalah sebuah acara pernikahan di sebuah gereja. Sedangkan penulisnya sendiri, jelas jelas beragama yang ibadahnya tidak di gereja. Jilbaban pula.

Belum lagi kisahnya yang mempunyai plotting unik, yaitu set-up dan twist yang mengejutkan. Baru satu cerita dari 34 cerita saja sudah shock dan terkaget-kaget. Bagaimana jika membaca semuanya, sepertinya dibutuhkan obat anti serangan jantung agar tidak ngap-ngapan dan sesak nafas dadakan.

Efek psikologis membaca kumpulan cerita ini ternyata memang menjadi ciri khas dari konsep menulis flash ficton atau fiksimini ini. Dikutip dari kata pengantar bukunya, untuk flash fiction mempunyai aturan tidak boleh lebih dari 1000 kata. Sedangkan fiksimini tidak boleh melampaui 500 kata. Namun efek kejutnya sama. Kayak petir (flash). Hehehe…

Nah, beberapa kejutan lain juga kutemukan selain dari cerita dalam buku ini. Contohnya adalah adanya beberapa nama yangpernah kutemui secara langsung seperti Ajen Angelina, bunda Yati Rachmad, Sri Sugiarti dan lain sebagainya.

Baru ngeh mereka ternyata sangat lihai dalam merangkai kata untuk membungkus ide cerita fiksi dan tergabung dalam komunitas MFF ini.

Sedangkan penulis lainnya, hampir 80 persen pernah kubaca tulisannya saat blogwalking atau ada beberapa yang pernah berkirim pesan lewat pesan elektronik seperti Miss Rochma.

Cerita dalam buku setebal 166 halaman ini juga sangat kompleks sudut pandang ceritanya, ada yang membahas soal jebakan sekretaris sexy, MLM, jin dalam kendi, hutang jaman sekolah hingga yang membuatku ikutan ngilu hati dan mewek dadakan karena kisah penemuan cinta sejati tepat saat salah satu dari mereka akan fitting baju menikah dengan orang lain. Hehehe…

Cerita-cerita tersebut disusun dalam tiga bagian utama cerita, yaitu Pernikahan, Stasiun Gambir dan Salju. Pembagian yang baru kutahu dari salah satu adminnya memang hal itu merupakan bagian dari konsep menulis keroyokan mereka. Konsep ini disebut prompt. Untuk prompt Stasiun Gambir inilah yang sempat membuatku terasa tercerahkan dari beberapa persoalan lain yang berkaitan dengan dunia kreatif.

Pasalnya, tak seberapa lama dari kedatangan buku ini—sekitar bulan November 2013 dalam sebuah peluncuran program televisi internet, para personal production house dan indie film maker pernah dikumpulkan dan ditantang untuk membuat film pendek untuk mengisi program di aplikasi video milik perusahaan telko plat merah terbesar di Indonesia ini.

Lalu disana muncul berbagai macam masalah klasik, yaitu anggapan soal minimnya stok cerita fiksi—khususnya dengan setting lokasi yang sama agar menghemat biaya ijin lokasi dan bisa saling mambantu untuk memperbanyak konten film pendek berkualitas. Sedangkan prompt Stasiun Gambir ini seperti hadir menjawab persoalan klasik ini.

Sebuah simbiosis mutualisme antara pembuat cerita dan penerjemah cerita ke bentuk audio visual. Yang semoga kode-kodean rahasia lewat twitter sesama filmmaker untuk saling berkolaborasi bisa direalisasikan. Kalau pun tidak, para filmmaker ini sudah tahu kemana mereka mengejar bahan cerita untuk karyanya, tentu para penulis cerita fiksi mini ini. Iya tho?

Nah, kemabali ke soal buku dan prompt. Ada beberapa hal kecil yang kutemukan dan sedikit menganggu ke asyikan membaca buku ini yaitu penempatan dua buah cerita dengan prompt yang sama dan ternyata dua cerita itu (Boneka Untuk Risa – Hairi Yanti & Mama Tidak Gila - Istiadzah) kebetulan mempunyai nama tokoh yang sama pula (Bayu & Risa).

Padahal dua cerita tersebut bercerita kisah dan setting yang berbeda. Agar tidak menganggu imajinasi dengan lompatan backround yang berbeda ini, sepertinya menyisipkan sebuah cerita lain dengan nama tokoh yang berbeda menjadi solusi sederhana pada penataan bab dan cetakan selanjutnya.

Solusi yang tentu tidak begitu sulit untuk layouter komunitas MFF ini. Tinggal mengedip secepat flash lampu blitz. Bukan begitu sodara-sodara?

Hehehe…

----

follow : @hazmiSRONDOL

Kuliner: Tape Ketan Kuningan di Jalan Tol

Posted on Minggu, 08 Desember 2013 Tidak ada komentar

Minggu, 08 Desember 2013

Gegara sering menemani anak nonton film animasi CARS, saya sempat khawatir dengan rencana pembangunan jalan tol besar-besaran di Indonesia ini.

Ya, saya tahu--jalan tol sudah sangat mendesak mempercepat dan mempermudah distribusi apa pun di negeri ini.


Hanya saja, ada kegalauan muncul saat melihat ilustrasi tentang kota yang hampir mati karena hadirnya jalan tol ini. Kalau dalam film tersebut, digambarkan kota Radiator Spring terancam hilang dalam peta Amerika karena pembangunan jalan highway yang disana disebut Route 66.

Harap maklum, saat sebelum Amerika terinspirasi pembangunan u-bahn nya Jerman saat perang dunia kedua, jalan tol yang menjadi kunci sukses strategi "Blitzkrieg" atau serangan kilat melalui panser-panser Jerman--kota-kota kecil di Amerika hidup dari pengendara mobil yang melintas di kota mereka.

Kekhawatiran itu semakin menguat saat kuperhatikan, sejak hadirnya jalan tol Cipularang yang terbukti menenggelamkan kebiasaan makan sate Maranggi di Purwakarta. Hal yang setengah wajib kulakukan saat dalam perjalanan ke Bandung via Jatiluhur. Terbayang kengerian bakal makin banyaknya produk kuliner lokal tumbang gegara jalan tol ini.

Namun, pada suatu hari--kami sekeluarga sepulang dari jalan jalan di Bandung terpaksa mampir di rest area Km 95-an. Maklum, ada yg mendadak mendapat panggilan alam ke toilet.

Nah, iseng-iseng saya mampir ke salah satu kios di SPBU tersebut. Ada yang menarik perhatian, yaitu tape ketan dalam bungkus daun jambu.Tape ini berasal dari Kuningan, Cirebon. Dimana satu embernya berisi 80 bungkus ini kubeli sebagai oleh-oleh.

Menakjubkan, selama 34 tahun pernah mencicipi tape ketan--baru kali ini terbelalak kenikmatan mencicipinya. Rasanya manis dan hangat di tenggorokan. Bahkan dari kumpulan tape itu, terdapat sekitar sebotol akua air yang menetes dari sela-sela ketannya.

Dari tape ini, mendadak ketakutanku akan punahnya kota-kota kecil akibat pembangunan jalan tol pun punah. Berganti rasa penasaran ingin berkunjung ke Kuningan untuk berwisata kuliner mencari sentra penjual aslinya. Sebuah simbiosis.mutualisme pariwisata, dimana rest.area menjadi pilar promosinya.

Hal yang sayangnya mengundang kecurigaan istriku karena semenjak air tapenya malah ikutan kuminum, saya tidurnya pules susah dibangunkan. Katanya, saya hanya berniat mencari air ketannya.buat mabuk-mabukan.

Nuduh!

[Hazmi Srondol]

CB150R Streetfire, Legenda CB100 “Gelatik” yang Berlanjut

Posted on Tidak ada komentar
Sekitar lima tahun yang lalu, saya sempat terkejut dengan salah satu mahasiswa magang di tempatku berkerja saat datang ke acara makan siang bersama. Pasalnya, mahasiswa kampus tekno negeri di Bandung ini datang mengendarai motor CB100 berwarna putih dengan striping biru. Hal yang sedikit aneh untuk anak muda seusianya yang biasanya lebih memilih motor generasi terbaru untuk aktivitasnya.

Waktu itu, sempat kutanyakan alasan kenapa memakai motor tua itu—jawabnya sungguh mengagetkan. “Motor ini legendaris, pak. Lagian sekarang motor ini lagi diburu para kolektor motor antik” jelasnya sambil terkekeh.

Ya, sempat merasa aneh dengan alasannya. Harap maklum, dalam otakku—yang disebut motor antik dan legendaris itu hanya motor Inggris seperti BSA, Matchless atau AJS.

 

Mas Iwan Trobas, sahabat jurnalis yang bangga dengan CB100 "gelatik" nya

Namun beberapa bulan terakhir, seperti mendapat tamparan saat tanpa sengaja kumelihat display picture BBM sahabat yang berkerja sebagai jurnalis pada salah satu media nasional. Ada foto dirinya yang begitu bangga mengendarai motor CB100 tahun 1973 yang populer disebut CB “gelatik”.

Saya segera mengirimkan pesan pertanyaan soal motor ini. Sungguh mengagetkan. Jawabannya hampir serupa dengan jawaban mahasiswa magang, yaitu “Legendaris dan Antik”. Bahkan ia pun menjelaskan lebih detail jika motor miliknya adalah hasil restorasi dengan spare part yang hampir 100% orisinil. Ckckck!

Fanatisme beberapa sahabat terhadap CB100 ini akhirnya membuatku segera menjelajah ke dunia maya. Penjelajahan yang mengakibatkan muncul keterkejutkan lainnya. Ternyata, motor ini memang seperti terlahir sebagai legenda di masa depan (sekarang). Motor yang seri awalnya di tahun 1970 dikenal dengan kode mesin K0 dan K2 seri “gelatik” tahun 1973 ini ternyata ada embel-embel “Super Sport” di masanya.

Sempat bertanya-tanya, sisi mana yang membuat motor ini dengan begitu percaya dirinya menyebut super sport? Ternyata, memang dijaman tersebut, pabrikan Honda sedang membuat sejarah dan terobosan teknologi untuk dunia kendaraan motor beroda dua.

Dobrakan yang bisa dilihat dari bentuk tangki mungil yang seakan mirip dengan jenis motor enduro namun dengan roda khas kendaraan jalan raya. Design yang seperti sengaja dibuat untuk membuat posisi mengendara yang tegak, nyaman dan sangat lincah. Belum lagi mesin yang saat itu adalah paling irit serta canggih di jamannya.

Sampai-sampai, untuk generasi CB dengan kapasitas mesin lebih besar yaitu 750cc—dengan nama CB750 dinobatkan sebagai peringkat ketiga “Greatest Motor Ever” oleh majalah TOP GEAR dibawah peringkat dua Ducati 916 dan sang juara Honda Cub 50. What! Honda Cub (bebek) 50 cc? Nanti kapan-kapan kita jelaskan lebih lanjut.

 

CB150R Streetfire (sumber: www.welovehonda.com)

 

Nah, sekarang kembali ke motor Honda generasi CB terbaru ini. Setelah empat puluh tahun berlalu, tahun 2013 ini kembali Honda kembali meluncurkan generasi CB terbarunya. Kali ini bernama CB150R Streetfire. Banyak sebagian yang belum paham sejarah motor CB ini berangapan bahwa motor seri ini seperti mendompleng nama besar seri CBR. Padahal menurut saya pribadi, CB dan CBR dua hal yang berbeda. CB adalah legenda jalanan tersendiri.

Sempat beberapa kali mencoba mencoba membandingkan generasi awal CB tahun 70an dengan CB150R era sekarang. Apakah filosofinya masih sama atau malah semakin menjauh?

Syukurlah, ternyata spiritnya masih sama. Bahkan ada beberapa tambahan fitur yang semakin membuat motor ini menjadi motor canggih. Boleh dilihat dari design ergonomis dan riding position yang sama dengan leluhurnya. Tegak, nyaman dan semakin kuat dengan adanya tambahan rangka tubular yang disebut Honda dengan istilah Diamond Steel (Truss Frame / Trellis Type) di bagian depan motor.

Design juga sama cantik dan menariknya, tentu dalam format era masa kini. Seperti burung “gelatik” yang bentuk dan suara ciut-ciutnya menggoda siapapun yang melihat dan mendengarnya.

Belum lagi dengan teknologi mesin DOHC (Double Overhead Camshaft) dimana satu silinder mesinnya terdiri 4 klep, dua klep masukan bahan bakar dan dua klep buangan gas hasil pembakaran. Kecanggihan yang mendahului kompetitornya yang berkapasitas mesin yang sama. Semakin lengkap dengan hadirnya pasokan bahan bakar berjenis injeksi (PGM-FI / Programmed Fuel Injection) yang lazim digunakan pada mobil-mobil era modern.

Hal yang jelas ujung-ujungnya membuat konsumsi bahan bakar motor ini menjadi irit. Bahkan dari hasil tesnya, satu liter bensin bisa menempuh jarak 36 Km untuk pemakaian ‘beringas’ dan 50,25 Km untuk pemakaian ekonomis. Jika digunakan dengan pemakaian ekonomis atau bahasa bikers-nya “ngurut gas”, dengan kapasitas tangki 12 liter ini, dari rumahku di Bekasi hingga ke kampung halaman di Semarang, cukup sekali isi bahan bakar penuh tanpa perlu mampir lagi ke SPBU ditengah perjalanan saat mudik.

Cuman memang, dengan segala kecanggihan ini—pengendara motor CB150R mesti merupakan pengedara motor yang kelasnya sudah advance atau lihai. Walau pun sudah dilengkapi suspensi belakang Pro-link Rear Suspension yang lazim digunakan pada tipe motor sport atau balap, namun dengan tenaga 12,5 kW atau setara 17 tenaga kuda pada 10.000 rpm dan torsi yang mencapai  13,1 Nm (1,34 kgf.m) pada 8.000 rpm serta 6 tingkat kecepatan akan menjadikan motor ini bukan hanya cepat namun juga ringan tarikannya.

Ringan tarikan untuk penghalusan kata ‘beringas’. Hal yang bisa membuat  ‘kebanting’ buat pengendara yang baru terbisa mengendarai motor sekelas bebek atau skuter matic. Butuh pemahaman dan pengenalan lebih lanjut tentang karakter motor dan mesinnya ini.

Nah, dari lahir kembalinya generasi CB150R Streetfire ini—saya memprediksi motor ini akan kembali menjadi legenda pada 40 tahun kedepan seperti saudara tuanya. Motor yang memang design nya sudah dirancang sesuai dengan karakter jalan Indonesia yang berkelok-kelok serta tinggi dan berat badan yang sangat “Asia” banget.

Berani taruhan? Hehehe…

[Hazmi Srondol]
Don't Miss