Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Adakah Masakan Padang yang Memakai Kecap Bango?

Posted on Selasa, 30 April 2013 Tidak ada komentar

Selasa, 30 April 2013

Entah beberapa kali jari-jari ini mengetuk-ngetuk meja makan. Ketukan pelan yang tetap membuat anakku menatapku dengan wajah keheranan.

“Sebentar lagi nasi gorengnya matang kok, pak” katanya.

Aku menatap anak tertua yang sepertinya sedang mencoba menebak isi otakku. Aku tersenyum tipis saja sambil menatap matanya yang masih dikelilingi kerutan di alisnya, kerutan tanda tanya.

“Tolong masukin kecapnya, mbok. Nasi, rolade dan sosis sudah kupotong. Sekalian saja” kata istriku sedikit berteriak.

Teriakan kecil yang mau tidak mau membuatku menoleh ke sumber suara. Tampaknya istriku sudah memberikan estafet urusan dapur ke simbok. Tampak tangannya mampir sebentar ke kain serbet yang tergantung di salah satu sisi dinding dapur.

“Menyerah kan, pak? Memang tidak ada kecap di masakan Padang” katanya sambil tersenyum mendekat.

Aku memalingkan muka. Menatap kosong meja makan sambil menghirup nafas dalam-dalam.

Ya, sudah lebih dari tiga minggu ini aku didera rasa penasaran tingkat tinggi. Penasaran karena ada sebuah komentar di salah satu tulisanku tentang hadirnya kecap. Dalam komentarnya, memang hampir semua rumah keluarga di Indonesia terdapat kecap manis—kecuali di Padang.

Aku sempat ragu-ragu, harap maklum—perasaan aku pernah melihat beberapa stand masakan Padang di Festival Jajanan Bango 2013 di Malang sekitar satu bulan yang lalu. Cuma ya begitu deh, perasaan saja. Karena waktu itu kami datang terlambat. Hari sudah malam dan hujan deras mengguyur kota Malang yang membuat kami sekeluarga tidak bebas bergerak berpindah stand.

Ditambah nafsu makan yang mendadak terbang tinggi hingga waktu berkeliling terkuras habis untuk mencicipi makanan di acara tersebut.

Rasa penasaran itu pun berlanjut. Entah aku yang kurang teliti atau memang benar-benar tidak ada, acara serupa di Semarang pun aku tidak menemukan stand masakan Padang. Dengan langkah gontai aku kembali ke Jakarta dengan kesimpulan sementara. Perasaan melihat stand masakan Padang tersebut hanyalah sekedar dejavu. Arrhg!

......

“Tidak, Ndol…! Tidak ada masakan Padang yang memakai kecap” kata Atuk tegas di telefon.

“Tapi kata uda teman kantor saya ini, ada mie tahu dan pical yang memakai kecap” jelasku.

“Kalau itu bukan masakan Padang, Ndol. Itu masakan luar Padang yang masuk ke Minang. Bukan masakan utama” jelasnya lagi

“Tapi, …” kataku terputus.

Kawan di kantorku yang asli Payakumbuh--Padang itu tampak tertawa saja melihatku menelefon. Aku yang sempat kegirangan setelah di Jakarta, aku medapatkan bukti bahwa ada masakan Padang di hajatan FJB2013 seri terakhir di Plaza Barat Senayan tersebut mendadak lemas kembali.

Padahal, video penemuan soto dan sate Padang yang memakai kecap itu sudah terlanjur terunggah ke youtube seperti kebiasaanku sebelumnya. Namun bagi orang Padang asli, video itu belum bisa dijadikan pembuktian bahwa masakan Padang memakai kecap.

Ya sudahlah, aku menyerah kalah. Aku harus menerima kenyataan bahwa ungkapan dari (sebagian) orang Minang bahwa memakai kecap adalah ‘pengkhianatan’ terhadap masakan Padang.

“Ada kok, Om. Ayam manis Padang juga pakai kecap. Cuma kecapnya dikit dan tidak sekental semur Jawa” kata mbak Winda menghiburku di waktu yang lain.

Hiburan yang sedikit mengusir rasa galau di hati. Sedikiiit…

…….

“Lalu, kenapa ibuk membuat mau makan yang ada kecapnya, buk?” tanyaku serius.

Istriku tampak terkekeh kecil. Wajahnya sedikit memerah dan menatap mataku sambil berkata, “karena cinta, pak”

Eaaa! Kalau bukan istri sendiri yang mengucapkan—sudah kuanggap rayuan gombal kalimat itu. Hehehe…

“Sudah matang nasi gorengnya, bu” kata Simbok yang mendadak hadir didekat kami yang lagi mendadak romantis ini.

Kedua anakku tampak berebut nasi goeng yang masih terlihat kepulan uap panasnya itu. Istriku tampak sedikit mendelik agar anak-anak bersabar menunggu nasi gorengnya menjadi dingin. Namun seperti biasa, sepertinya anak-anak tidak terlalu memperdulikan pelototan ibuknya dan memilih mengambil sesendok nasi lalu ditiup-tiupkannya sendiri agar cepat dingin.

Tak beberapa lama nasi itu masuk ke dalam mulut anak-anak, mendadak mereka meminta air sejuk. Ya, entah dari mana awalnya, anak-anak kami ini menyebut air dingin dari kulkas itu ‘air sejuk’. Sebutan yang mendadak malah menjadi bahasa kalbu kami sekeluarga sendiri ini.

“Ah masa pedas sih, mas. Panas kali…” kata istriku.

“Tidak kok, buk. Memang pedas nasi gorengnya” jelas anakku sambil terengah-engah kepedasan.

“Emang simbok kasih sambal nasi gorengnya?” tanya istriku menyelidik kearah simbok.

“Mboten, bu. Serius” jawab Simbok—sang assisten istri itu sungguh-sungguh.

Istriku mendadak segera mengambil sesendok nasi goreng di piring anakku. Tampak wajah penuh curiga dan penasaran tingkat akut terlihat. Mungkin dibenaknya terbayang simbok salah memasukan bumbu atau jangan-jangan wajan penggorengan terdapat bumbu pedas yang menempel di pori-pori wajan. Mungkiiin loh yaaa….

Hap. Nasi goreng itu tampak lambat-lambat dikunyahnya. Mendadak, wajahnya berubah bersinar. Matanya sedikit membesar, hampir terbelalak.

“Wah, enak sekali nasi gorengnya, pak. Mantab pedasnya!”

Hah! Pedas?

13672722631310687949

Kecap Manis Pedas Gurih - Bango


Entah komando dari mana, kami berdua langsung beranjak dari kursi dan setengah berlari menuju dapur. Istriku langsung mengambil bungkus kecap yang tidak sengaja dipakai Simbok. Kecap yang hampir kami lupakan. Kecap sachet ukuran 60 ml hasil oleh-oleh souvenir acara festival jajanan tersebut ternyata…

KECAP PEDAS!

“Pak, kayaknya kecap (pedas) bakal masuk ke setiap rumah orang Padang deh” katanya menyeletuk sambil tersenyum lebar.

AHA!

[Hazmi Srondol]

VIDEO:

[embed]https://www.youtube.com/watch?v=Qy0tvPn-BC8[/embed]

Tips Menjaga Cinta Dengan Resep "Warisan Kuliner Nusantara"

Posted on Selasa, 16 April 2013 Tidak ada komentar

Selasa, 16 April 2013

“Why did you leave me?”

Aku membaca pesan yang masuk ke ponsel itu dengan helaan nafas panjang. Sedikit berat. Sempat beberapa detik mata ini terpejam secara otomatis. Sebuah reflek dimana otak membutuhkan sebuah ruang gelap untuk memancarkan kembali nostalgia awal-awal perjumpaan. Semua mendadak menjadi sangat jelas, seperti proyektor yang disorot di dalam gedung bioskop.

“Kereta ke Semarang jam berapa ya, mbak?” tanyaku dengan memasang tampang pura-pura kebingungan waktu itu. Padahal sih memang itu bagian dari trik atau istilah anak muda jaman sekarang adalah ‘modus’ untuk mencoba berkenalan saja.

Sudah kuduga, gadis yang masih memakai rok berwarna abu-abu itu jadi gelagapan. Entah karena mendadak terpesona melihat ketampananku atau malah ketakutan dikira bakal dipalak preman. Aku menyadari situasi sulitnya itu. Kembali jurus pura-pura melihat-lihat jadwal kereta aku luncurkan.

Berhasil, ketakutannya mereda dan obrolan ringan yang kuharapkan pun terjadi. Lengkap dengan nomer telepon nya sebelum ia pergi dan aku kembali ke teman kerjaku yang sudah menunggu, menunggu sambil menghembuskan nafas lega dan menyeka keringat didahinya.

“Tumben nggak digampar, Ndol” katanya sambil terkekeh.

Aih sudahlah, aku sudah terbiasa mendapat reaksi iri khas para pria yang kalah nyali lalu mengintimidasi dengan kata-kata model seperti ini. Hihihi…

Lalu kembali senyum cengengesan adalah jurus terbaik untuk menjawab pertanyaannya. Tak perlu berbalas kata, toh sebentar lagi juga bakalan ia yang melamun sendiri. Mungkin memaki-maki dirinya sendiri yang melewatkan kesempatan langka ini. Kalau sudah begitu, aku yang kemudian gantian tertawa terkekeh melirik wajahnya yang seakan kosong menatap lantai stasiun kereta api. Wakakaka. UPS!

Ya, setelah lewat sekitar tiga hari aku baru menelepon nomer pemberiannya. Bukan lupa, cuman kurang lebih itulah teknik pdkt ideal yang kutahu dari hasil  diam-diam membaca majalah cewek di toko buku. Ajaib, telepon pertama itu sukses dan membuatku bisa melakukan pertemuan lanjutan walau sempat terseok-seok mencari alamat tempat tinggalnya.

Aku mengerti, banyak kenangan yang terjadi dan akhirnya membuatnya bertanya seperti bait pertama di tulisan ini.

Bukan maksud membela diri. Sepertinya aku sudah beberapa kali menanyakan kesiapan untuk melamarnya. Bukan! Bukan karena aku yang sudah kenafsuan dan tegangan tinggi. Tapi memang faktor tubuh ini yang tidak bisa menunggu untuk segera menikah.

Ya, perutlah yang utama. Bukan faktor dibawah perut. Walau iya sih, ada nyrempet-nyrempetnya kearah sana. Dan jawaban yang kuterima selalu sama. “Kita nikmati saja dulu kondisi seperti ini, mas”, kondisi tidak memikirkan menikah dulu maksudnya.

Tapi…. Bagaimana yah?

Sejak lulus SMP aku sudah sekolah di luar kota. Usai sekolah juga mesti kerja dan kuliah di Jakarta. Hidup di kos-kosan hingga bertahun-tahun. Masih mending jika ada orangtua yang perhatian. Lha ibu ku sendiri sudah meninggal dunia disaat pertengahan tahun kedua aku hidup diperantauan. Terbayang kan begaimana sulitnya?

Kesulitan bukan hanya masalah psikologis kehilangan sosok utama pencurah perhatian, namun juga kesulitan soal kebutuhan dan jadwal makan tentunya. Dari menu yang selalu begitu-begitu saja, bahkan boleh dibilang jauh dari standar empat sehat lima sempurna.

Satu sehat saja sudah syukur, pokoknya filosofinya asal kenyang dan glegekan—beres! Hingga jadwal makan yang kacau balau. Istilah break fast, lunch dan dinner jauh dari kehidupan sehari-hari.

Yang ada adalah jadwal makan yang berbarengan dengan jadwal sholat. Sholat dhuha jam 10, sholat asar jam 3 dan sholat tahajud tengah malam kalau pas lagi ingat dan muncul alarm keroncongan di dalam perut. Kalau sudah terlanjur ketiduran karena kecapekan, jadwal makan akan di jamak (digabung) esok harinya.

Alhasil, dengan ritme hidup seperti itu—penyakit typus dan maag menjadi langganan sehari-hari. Pernah gara-gara sakit maag akut, aku sampai harus dijejali sesendok minyak tanah oleh teman kos karena muntah-muntah padahal sudah dikerok sampai merah berulang kali. Sumpah, aku kapok dengan pengobatan cara seperti ini. Disamping rasanya sangat tidak enak dan getir, rasanya kok aku seperti dianggap lampu teplok saja. Hiks.

Dan dari kejadian itulah akhirnya aku memutuskan bahwa masa penderitaan menjadi anak kos itu, harus segera diakhiri.

…….

“Kerupuk apa ini? Kok enak sekali” tanyaku keheranan bercampur kagum.

Dia hanya tersenyum tertahan.

“Kok rasanya kayak jengkol yah?” kataku lagi untuk memastikan.

Dan meledaklah tawanya di warung makan yang tak jauh dari kampus tempatnya kuliah di ranah Minang ini. Sambil menahan tawa ia pun membenarkan memang yang aku makan adalah krupuk jengkol. Salah satu spesies krupuk langka yang jarang ditemukan di daerah lain. Walau pun memang rasanya enak, sebenarnya banyak yang gengsi memakan krupuk itu. Apalagi kaum muda dan pada kencan pertama.

Yayaya,

Krupuk jengkol itulah moment pertama aku kami berkencan. Rada tidak lazim memang, tapi itulah yang terjadi. Perasaan cinta yang tumbuh dan kesat rasa krupuk jengkol menjadi sebuah adonan perasaan yang saling terkait dan tak bisa aku lupakan.

Perasaan yang akhirnya membuatku untuk memutuskan, bahwa ialah yang memang terpilih dan pantas kupilih untuk menjadi istriku. Sebagai pendamping hidup sekaligus pengobat sakit hati, eh, sakit maag di perut.

Keputusan yang besar dan tentu saja sulit. Apalagi almarhum ibuku duhulu selalu mewanti-wanti untuk tetap ‘nalar’ dalam mencari pendamping hidup. Hal yang kurang lebih berarti aku harus bisa meletakkan akal sehat dan perasaan secara seimbang dalam berurusan dengan gabungan lima hurup paling universal di dunia, yaitu C-I-N-T-A.

Waktu itu aku hanya tertawa-tawa saja  saat mendengar salah satu petuahnya itu. Maklum, umur juga masih beberapa bulan melewati usia akhil baliq. Saat itu aku hanya menganggap kata ‘cinta’ hanyalah istilah situasi dimana mata pria dipaksa mampu bertahan lebih dari 10 detik menatap lawan jenisnya. Bila perlu sampai leher melintir mengikuti posisi pergerakan perempuan yang berjalan kaki berpindah tempat.

Namun bertambahnya usia dan perubahan hormon menuju taraf dewasa. Apa yang dikatakan beliau sungguh sangat benar sekali. Aku juga teringat saat beliau suatu hari bercerita bahwa lelaki dan perempuan itu bukan hanya berbeda bentuk fisik dan model bajunya tetapi juga isi didalam otak dan perasaannya. Kalau yang berbeda di dalam baju, maaf nggak usah dijelaskan saja yah, toh pasti sudah pada mengerti. Hehehe.

Dan perbedaan itu tidak mudah untuk disatukan, bahkan oleh almarhum bapak ibuku sendiri diusia senjanya. Sampai sampai, istilah ‘nerimo’ pun muncul. Kata sederhana yang sering aku dengar semenjak kecil. Kata yang kali itu dijelaskan dengan pandangan yang berbeda. Nerimo sebagai kunci awal untuk bisa belajar mengerti perbedaan dengan pasangannya.

Nah, kembali ke menyeimbangkan akal sehat dan perasaan ini. Ternyata urusan mencari lokasi tempat makan menjadi salah satu tahapnya. Dan anehnya, dengan sewaktu belum menikah dulu—istriku selalu pintar memilih makanan yang kemungkinan cocok dengan lidahku.

Harap maklum, kami dulu termasuk penganut hubungan jenis LDR (long distance relationship). Saya di Jakarta dan dia di Padang. Sedangkan kota itu, kurang bersahabat untuk lidahku yang sangat Jawa dan doyan makanan manis-manis.

Ketepatan memilih makanan itulah yang membuatku menerka-nerka, jika calon istriku ini sepertinya pandai memasak. Kepandaian dibalik dirinya yang manis, kuning dan memabukkan laksana durian dari Sumatera.

Dugaanku benar, ia sangat terampil membuat masakan—khususnya masakan Padang. Masakan fast food tercepat didunia. Dimana fried chiken baru berani menawarkan layanan 60 detik—di rumah makan Padang, anda belum pesan masakan, sudah terhidang. Sudah begitu, kecuali di bulan—rumah makan Padang selalu ada di belahan bumi yang lain, khususnya dipertigaan atau perempatan jalan.

Walau tetap saja pada sempat saat awal-awal menikah, aku ditakut-takui kawan-kawanku jika akan selalu dibuatkan masakan yang pedas-pedas. Tapi nyatanya ternyata tidak. Ia malah lebih banyak masakan dengan olahan kecap. Hal ini sempat membuat orangtuanya secara bercanda pernah berucap dengan kata ‘cabai mahal’ di rumah kami gara-gara susahnya mencari sambal dan banyaknya masakan manis dan berkecap ini.

Namun menjawab candaan ini, istriku menjelaskan bahwa memang menu ini disengaja untuk menetralisir asam berlebih di lambungku. Owalah, aku baru tahu ternyata kecap itu salah satu obat atau cara murah untuk penyakit bekas anak kos sepertiku ini.

Jujur saja, terbersit rasa kagum atas usahanya membuat masakan non Padang ini di rumah. Aku jadi ingat awal-awal menikah dulu juga, saat ia sering sekali berburu resep masakan Jawa di toko buku dan bereksperimen membuatnya.

Bahkan ketika kemunculan aplikasi Warisan Kuliner di ponsel Android, Iphone dan Blackberry sekitar akhir tahun 2012 yang lalu pun ternyata ia lebih dulu tahu daripada aku yang baru tahu beberapa minggu yang lalu. Aplikasi kumpulan resep Nusantara yang praktis dan mudah dibuka dimanapun berada selama ponsel masih ada baterainya dan menyala.

Entah mengapa, memang sudah bakat atau kerja kerasnya—hasilnya kebanyakan memuaskan. Bahkan lebih memuaskan daripada bayanganku sendiri.

Jadi harap maklum, aku sering tanpa sengaja memuji atau membanggakannya soal masakan olahan istriku ini. Kadang aku ingin mengatakan ke para pria agar mencari wanita yang pintar memasak sebagai salah satu point dalam memilih pasangan untuk dinikahi, namun urung aku lakukan karena takut di bully di era emansipasi wanita zaman ini.

Selain takut juga terjadi salah tafsir karena dianggap hanya ingin menikahi perempuan karena ingin menjadikannya koki gratisan dirumah saja. Sumpah, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin berbagi pengalaman bagaimana pujian lezatnya masakannya itu adalah pujian paling tulus dan bakal abadi kepada istri-istri kita.

Pujian yang tidak perlu berbohong saat ditanya “masihkah aku cantik, pak?” ketika mereka sudah mulai menua dan keriput nanti. Pujian yang juga merupakan kata tidak langsung kepada istriku bahwa aku sangat mencintainya.

………

“Kue tart buat ultah anakku..”

Demikian kata yang tertulis di salah satu foto yang di unggahnya di facebook. Sepertinya pujian memasak istriku dibacanya dan ia berusaha menunjukan kemampuan membuat kuenya. Terlambat, tapi tak masalah—itu kemajuan yang luar biasa. Mungkin memang sudah takdir aku bukan jodohnya.

Toh yang penting, jangan sampai tidak jodoh berarti peperangan dan permusuhan. Ini hanya masalah suratan takdir, rencana dan design Tuhan yang Maha Kuasa. Melupakan juga bukan sikap yang baik, lagian mana bisa aku menghapus kejadian masa lalu. Karena memang masa lalu juga bagian dari hidup dan pembelajaran kehidupanku.

Aku segera memencet keyboard laptop dan mencoba menulis,

“Luar biasa sayang,….”

Tapi kuurungkan, sepertinya aku salah menempatkan tanda koma dan kurang lengkap kalimatnya. Seharusnya jadi,

“Luar biasa, sayang bukan masakan nusantara berkecap”

Eh, kok malah sadis begini kalimatnya. Ya sudah, komentar di facebook kubatalkan dan kuganti dengan memencet tombol jempol saja, tanda aku ‘laik diz’ fotonya kali ini.

[Hazmi Srondol]

Ironi Kesuksesan Festival Jajanan Bango 2013 di Semarang

Posted on Senin, 01 April 2013 Tidak ada komentar

Senin, 01 April 2013

Kami agak terseok-seok saat berjalan menuju lapangan Diponegoro, tempat dilaksanakannya hajatan Festival Jajanan Bango 2013 di Semarang.

Kalau tidak diberitahu adik sepupuku, mungkin aku akan terheran-heran dengan padatnya pedagang dadakan di jalan samping stadion tersebut. Katanya, semenjak para pedagang kaki lima di sekitar simpang lima di gusur—maka lokasi samping stadion inilah yang digunakan sebagai tempat relokasi pedagang asongannya.

Relokasi yang selain berfungsi untuk merapihkan kota, secara tidak langsung berfungsi juga untuk membubarkan habitat “ciblek” yang sempat membuat wilayah Simpang Lima mendadak identik dengan sisi malam yang negatifnya. Untuk arti ciblek versi ini, jelas bukan arti harfiah burung kecil yang berterbangan—lebih jelasnya monggo cek sendiri-sendiri di mbah google. Hehehe…

Untung saja aku terbiasa berdesak-desakan saat berangkat kerja naik kereta KRL, jadi tidak terlalu kaget. Hanya sebatas rasa heran saja. Toh, keterkejutan sudah dihabiskan saat berangkat dari bandara menuju Semarang dihari sebelumnya. Ya siapa yang tidak kaget, aku terbiasa melihat pelayan rumah makan memakai ID card dan seragamnya. Aku juga terbiasa melihat bulu mata palsu.

Namun jika melihat pelayan yang memakai ID card bernama dan berseragam cowok itu memakai bulu mata palsu gede ala Syahrini—sumpah aku tidak terbiasa. Bahkan binggung saat membayar dan menerima uang kembalian makanan di café pojokan luar terminal 2 Soekarno Hatta tersebut. Bingung mesti bilang mas atau mbak saat mengucapkan sambungan yang lazim digunakan sebagai pelengkap kata belakang “terima kasih, mas/mbak” nya.

Keterkejutan yang juga bertambah saat akhirnya tahu lokasi acara tersebut bersebelahan dengan bekas kantor departemen dimana dahulu almarhum Ibuku berkerja sebelum beliau meninggal dunia. Benar-benar acara kegemaranku (makan-makan) ini sangat menyenangkan sekaligus mengudak-udak emosi masa lalu.

Antara kerinduan yang menggebu dan rasa bersalah karena sampai beliau meninggalkan kami, beliau belum sempat melihat pencapaian-pencapaian yang kuraih serta belum sempat melihat kedua cucu nya yang berwajah tampan dan gagah seperti anak lelaki satu-satunya ini. Boro-boro berbakti menaikan haji—merasakan gaji atau honorku saja tidak pernah.

Rasa bersalah yang akhirnya membuatku membuat peraturan khusus di rumah, peraturan jika anak-anak boleh berdebat dengan bapaknya, mengeyel jika memang alasannya logis dan masuk akan bisa diterima, tapi jangan sekali-kali terhadap ibuknya. Keras hukumannya. Bisa-bisa anakku mesti duduk dua jam di kursi plastik hukuman dan dijauhkan dari semua mainan, gadget serta komputer tempatnya biasa main internetan. Sebuah siksaan berat untuk anak seusianya.

Nah, kembali ke soal acara—setelah melewati kepadatan pedagang asongan kini aku juga kembali terheran-heran. Bayangkan saja, acara yang resminya dimulai pukul 9 pagi namun satu jam sebelumnya sudah padat pengunjung. Meja dan Kursi pengunjung pun sudah terisi, kalau pun hendak duduk—kebanyakan sudah di tag ala di facebook.

“Ada yang duduk, pak” katanya sambil memegang kursi kosong tersebut yang di atasnya di beri tanda tas kresek. Tas kresek yang entah isinya apa, mungkin sekedar untel-untelan kertas koran bekas. Wong jelas di acara kuliner ini, semua makanannya langsung saji. Jarang yang dibungkus untuk dibawa pulang. Konsep tagging ini pun hampir semua sudut meja kutemui.

Sepertinya Mark Zukerberg mesti berterima kasih dan berbagi royalti dengan warga Semarang yang memberikan inspirasi untuk konsep penandaan tagging di aplikasi socmed buatannya. Hal yang sempat membuatku ngomel-ngomel panjang sebelum diingatkan saudara jika waktu kecilku juga begitu, lebih parah katanya. Malah sampai menandai kursi dengan kapur dan spidol biar tidak dipakai orang lain. Eit, hampir lupa kalau darah Semarangan masih kuat mengalir di urat nadi. Hehehe…

Antusiasisme masyarakat yang masih menyisakan keheranan lagi. Padahal masya Alloh, panasnya TKP luar biasa. Bahkan panasnya kota Semarang itu berbeda loh ya dengan panasnya kota Jakarta atau Surabaya yang sama-sama berada di pinggir pantai. Sekedar informasi, kota Semarang ini terbagi dua wilayah yaitu Semarang bawah dan Semarang atas. Semarang atas identik dengan daerah perbukitan yang tinggi dimulai dari daerah Gombel hingga gunung Ungaran.

Kondisi grografis inilah yang diperkirakan menjadi penyebab panasnya ini. Udara pantai tidak tertiup ke daerah lain ke selatan, tetapi berbalik kembali ke kota karena terbentur perbukitan. Wajar jika panasnya kota Semarang menjadi kuadrat. Istilah bahasa Jawanya, selain panas namun juga sumuk.

Kata ‘sumuk’ ini aku belum menemukan padanan kata yang pas dalam bahasa Indonesia. Lebih baik sekali-kali mencoba hadir ke kota ini untuk merasakan sensasi sumuk kota bawah Semarang. Kata adik sepupu--Spa alami untuk melangsingkan badan. Hehehe…

Keramaian pengunjung ini ternyata bukan hanya saat awal pembukaannya saja, namun hingga terakhir saat aku meninggalkan acara ini sekitar ba’da maghrib—antusiasnya tidak berkurang. Bahkan bertambah besar hingga sekitar pukul 5 sore sudah banyak stan yang sudah kehabisan stok. Tak heran ada beberapa pengunjung mengomel karena setelah lama antri di salah satu stand lalu kehabisan saat gilirannya memasan tanpa pemberitahuan.

Belum lagi beberapa ocehan tentang susahnya mencari penjual minuman saat menjelang sore. Hingga banyak pengunjung akhirnya membeli minuman di luar acara atau sudah mempersiapkan botol minuman karena sebelum masuk sudah diberitahu kerabat atau saudaranya jika didalam acara akan kesulitan mendapatkan minuman.

Terlepas dari komplain kecil ini, setidaknya satu sisi terlihat jika hajatan oleh kecap Bango ini bisa dibilang sangat sukses. Membludaknya pengunjung seperti tidak diduga oleh panitia jika berdasarkan cepat habisnya  stok makanan dan minuman  yang dipersiapkan. Saya menduga ukuran stok nya sama dengan ukuran hajatan Warisan Kuliner Nusantara di lokasi sebelumnya seperti Surabaya atau Malang.

Namun sayangnya, dibalik kesuksesan acara tersimpan ironi yang berkebalikan dengan kondisi ‘bango’ yang lain.

Seperti kita tahu, semenjak kecap merk “Bango” diakuisisi oleh Unilever tahun 2001, pertumbuhannya sangat luar biasa. Jika di bandingkan dengan merk kecap ABC, maka di hitung sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2007—Kecap ABC anjlok penguasaan pasarnya di Indonesia dari 69% menjadi 33%.

Sedangkan Bango malah naik dari 20% menjadi 32%, berimbang posisinya dengan kecap ABC di tahun itu. Dan untuk akhir tahun 2012 sendiri, saya belum mendapatkan data jelasnya, namun dengan tagline “hadir di rumah setiap keluarga Indonesia” serta grafiknya--kita bisa menebak seberapa besar penguasaan dan kenaikan pasarnya.

Kenaikan yang ternyata tidak berimbang dengan jumlah ‘bango’ penghuni pohon di kawasan Srondol, Semarang. Tak jauh dari tempatku dilahirkan. Burung bango yang disebut oleh warga Semarang dengan nama burung ‘kuntul’ ini sungguh mengenaskan nasibnya. Eit, jangan mikir yang jorok-jorok yah karena namanya nyrempet ungkapan kasar kelamin pria. Lha wong, memang sejak aku kecil, memang begitu kami menyebutnya.

136477625124503386

Burung Kuntul Srondol



Seingatku dulu seaktu masih kecil, sekitar tahun 90-an. Jumlah burung kuntul yang bersarang di pohon depan markas batalyon infantri Yonif 400/Raiders (Banteng Raiders) ini jumah mencapai ribuan. Masih jelas dalam memori masa kecilku, betapa ajaib kuntul-kuntul ini berputar-putar seperti angin tornado sebelum hinggap di barisan pohon angsana, asam atau mangga tersebut. Suara mirip berkoteknya nyaring dan menjadi kebanggaan dan ciri khas tersendiri bagi warga Srondol - Semarang.

Namun kini jumlahnya hanya berkisar 200 an saja. Padahal, dari 6 jenis burung keluarga bango langka didunia—4 diantaranya berada di kawasan Srondol ini yakni kuntul besar (Egretta alba), kuntul perak (Egretta intermedia), kuntul kecil (Egretta garzetta), dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis).

Dua jenis lainnya adalah kuntul karang (Egretta sacra) yang banyak di jumpai di kepulauan Karimunjawa dan kuntul china (Egretta euphoes) yang jelas dari namanya tidak ada di Indonesia.

Sedangkan satu jenis bango lain yang juga mulai langka lagi adalah bango Storm (Ciconia stormi) yang kebetulan dipakai sebagai logo kecapmilik Unilever ini. Namun bango yang ini lebih beruntung—jikalau kelak punah, setidaknya wujudnya masih tetap diingat karena ada jutaan gambar bango jenis ini di botolnya.

Kadang sempat berfikir untuk memberikan usulan ke Unilever perihal logo ini agar memakai logo bergambar jenis bango lain yang langka ini di produk turunannya seperti kecap asin atau kecap pedasnya. Toh selain bisa mempermudah pembeli membedakan jenis kecapnya juga sekaligus wujud tanggung jawab telah memakai merk dengan nama burung legendaris kota Semarang ini.

Apalagi nama “bango” yang dipakai itu tidak sembarangan.

Disamping burungnya yang memang mulai langka, kisah dibalik burung ini sangat luar biasa. Salah satunya adalah kisah Sadako Sasaki, seorang gadis cilik dari jepang yang saat berusia dua tahun negaranya terkena bom Atom. Bom yang radiasinya menyebabkan ia menderita sakit leukimia. Hingga pada saat sakitnya semakin parah, di usia 12 tahun ia masuk rumah sakit dan membuat origami berbentuk burung bangau.

Rencananya, ia akan membuat 1000 burung bango kertas sebagai upaya penyembuhan penyakitnya. Hal ini ia lakukan karena ia percaya dengan cerita kuno dari negaranya Jepang, jika ia membuat burung kertas sebanyak itu maka ia akan sembuh dari penyakitnya. Namun sayangnya, baru sampai 644 burung ia buat, ajal sudah menjemputnya. Hal ini membuat para sahabat dan kawan-kawannya berduka lalu meneruskan kegiatan ini hingga selesai 1000 burung kertas terbuat.

Untuk mengenangnya, kawan-kawannya mengirimkan catatan dan surat untuk penggalangan dana pembuatan monumen untuk peringatan bahaya dampak penyalah gunaan atom/nuklir untuk senjata pemusnah masal bagi anak-anak sedunia. Akhirnya, pada tahun 1958, patung Sadako yang memegang burung bangau emas dipajang di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima, yang disebut Genbaku Dome dengan plakat dikakinya yang berbunyi:

Kore wa bokura no sakebi desu. Kore wa watashitachi no inori desu. Sekai ni heiwa o kizuku tame no yang artinya"Ini adalah seruan kami. Ini adalah doa kami. Untuk membangun kedamaian di dunia."

Sedangkan di Semarang atau masyarakat Jawa umumnya juga terdapat pepatah yang berbunyi :"Golekana tapake kuntul mabur" (carilah telapak kaki bangau yang terbang).

Sebuah sanepan (peribahasa) yang merupakan salah satu cabang ilmu kesempurnaan. Ilmu yang harus didapatkan melalui tirakat dan laku karena melihat telapak burung bangau terbang adalah sebuah kemustahilan kecuali kita mengosongkan diri dari ikatan logika dunia melalui jalan awal kesabaran. Kesabaran melihat pertanda alam saat sang burung akan mendarat. Saat dimana telapak kaki itu baru terlihat.

[embed]https://www.youtube.com/watch?v=maDf5uEXwh8[/embed]

Mengosongkan diri yang juga dalam etimologi Tionghoa disebut wu wei dan dalam bahasa Jepang disebut Mushin (Mu = tiada/tanpa; Shin = hati/pikiran). Atau lebih sederhananya dalam bahasa Indonesia adalah kata ‘ikhlas’.

Jadi tak heran yang suka menonton film Kungfu Panda akan paham kenapa dalam film tersebut, ternyata jurus rahasia yang diperebutkan ternyata hanyalah gulungan kertas putih kosong. Kertas kosong yang berarti emptiness/nothingness atau ikhlas itu sendiri sebagai titik kesempurnaannya.

Nah, jadi bukan suatu kebetulan kan jika acara wisata kuliner dari kecap Bango ini dimulai pertama kali di Semarang? Acara yang pernah dilaksanakan sekitar bulan Mei 2005 karena (kebetulan) kedekatan filosofis dan etimologis. Walau sayangnya, baru terulang setelah hampir 8 tahun berlalu. Saking lamanya, sehingga banyak sekali kawan-kawan yang tidak tahu dan menganggap acara tahun ini adalah yang pertama kali di Semarang.

Ironis.

[Semarang, 1 April 2013]

 
Don't Miss