“Bapak, nanti ada penyanyi dangdutnya loh, cantik dan sexy lagi”, kata istriku dimeja makan.
“Wuih, mosok bu? Di acara 17-an RT kita?”, kataku sambil tersenyum-senyum.
“Eit, tapi inget ya bapak!”, kata istriku mulai menebar ancamannya.
“Jangan ikut-ikutan joget diatas panggung”, tambahnya.
“Tolong bapak jaga image bapak sendiri”
“Masak bapak yang punya nama besar seorang eksekutif muda perusahaan telekomunikasi besar, yang sering ditawari jadi pimpinan cabang partai gurem bahkan seorang bisnisman besar kelas RW kok ikut-ikutan joget musik pinggir rel begitu”, sambung istriku mengingatkan.
“Waduh bu, kata-kata ibu itu bukan ancaman bagi bapak, itu penghinaan namanya buk”, kataku meninggi.
“Apa ibu tidak lihat foto-foto bapak jaman sekolah, metal habis kan? Mana ada bau dangdut-dangdutnya”.
“Liat juga dong, koleksi kasetnya, semua ada, dari heavy metal, popo, slowrock sampai nasyid pun ada. Tapi dangdut? Mana bu? Mana?”.
“Belom lagi lihat juga dong group bapak yang bapak ikutin di fesbuk. Jazz bu… jaazzzz”, kataku dengan penuh kegagahan dan gengsi.
Istriku diam saja. Masih sedikit cemberut.
….
“Bu, duit londri kok kucel-kucel begini”, kataku waktu melihat tumpukan uang seribuan, uang kumpulan hasil jasa laundry istriku hari ini.
“sini yang seribuan bapak tukar ama uang 50 ribuan bapak, biar rapi”, pintaku.
Tanpa perlu menunggu jawaban istriku, aku tukar beberapa lembar uang seribuan yang kucel-kucel dengan 2 lembar uang 50 ribuan.
“Bu, bapak jalan dulu ke lapangan RT, ibu nanti nyusul saja ama anak-anak ya bu!”
“Iyaa..!” teriak istriku yang masih ribet merapikan bekas makan malam kami.
….
“Wah pak Srondol, selamat datang”, sambut pak RT dengan ramah.
“Silahkan duduk pak, didepan saja, masih kosong kok”, imbuhnya lagi.
Akupun duduk dideretan paling depan. Sederet dengan pak RT, RW dan perangkat RT lainnya. Walau bukan pejabat RT, entah kenapa aku selalu dapat tempat duduk yang paling depan. Mungkin karena aku memang sosok yang dinantikan atau karena emang terkenal jarang kumpul-kumpul jadi ini ibarat jebakan biar aku tidak ngabur duluan seperti biasanya.
Acara 17-an itu pun dimulai. Mulailah beberpa sambutan-sambutan yang membosankan itu di digilir satu-persatu. Aku sudah mulai bosan. Cuman demi menjaga image yang dititahkan istriku, aku bertahan duduk di kursi yang rasanya mulai ada bara-nya. Aku mencoba untuk tetap rileks dan penuh senyum.
Acara semakin malam, acara bagi-bagi hadiah buat anak-anak RT-pun akhirnya terselesaikan. Lalu akhirnya, acara yang paling di tunggu-tunggupun segera di mulai. Bang mandor Tanggap yang disebut “alap-alap” Grup “Naga Binggung” itupun mulai mengelar pasukan sinden dangdutnya. Pemusik an MC sudah mulai kumpul diatas panggung.
Mandor Tanggap mulai membuka acara, musik mulai di setel.
“Hmmm, kampungan, musik pinggir rel”, kataku dalam hati mensugesti diri.
Mulailah satu lagu dangdut yang sendu mulai dinanyikan.
“Oh NO..NO..NO.., ini tidak bagus, aku nggak bakalan bergoyang”, bathinku lagi.
Lagupun mulai dinaikan ritmenya, beberapa bapak-bapak sepertinya sudah mulai mengangguk-angguk, bahkan kaki dan jarinya mulai mengetuk-ketukan mengikuti irama.
Tapi masih belum ada yang bergoyang. Apalagi naik keatas panggung. Sepertinya mata ibu-ibu di RT ini seperti ada tali rantai baja buat suami-suaminya.
Sedangkan bang mandor tampak sedih, sudah beberapa lagu dinyanyikan penyanyinya, hadirin masih diam seperti patung dikursinya masing-masing. Penyanyinya pun mulai tidak antusias, mungkin karena bajunya dibikin rapi, atas perintah perangkat RT tentunya. Wong acara 17-an gini, hari kemerdekaan gitu loo….
Aura yang mulai tidak nyaman itu sepertinya mulai berubah, sebuah lagu dangdut yang energik, judulnya SMS mulai diputar.
Oh, seperti ada tombol listrik yang di”klik”, rasanya seluruh badanku mulai bergetar mendengat intro lagu tersebut.
Tet, terereret reret…. Dsb..dsb…
“..bang, sms siapa ini bang!….”, nyanyi sinden dangdut itu bergema.
“Aku harus bertahan, tidak boleh. Ini tidak boleh terjadi”, bathinku menahan diri, mengendailikan badan agar tidak bergoyang….
Setengah lagupun lewat.
Akhirnya aku kalah, aku seperti ada yang menghipnotis. Mungkin ini pelet dari yang punya orkes melayu biar orkesnya ramai. Aku cuek berjalan ke atas panggung. Diikuti mata perangkat RT dan warga yang melongo. Bodo amat, aku berjoget juga diatas panggung dengan para sinden dan bang mandor.
Hahahah, untung aku bawa uang seribuan kumel tadi, jadi box kosong penyanyi itu bisa terisi sedikit demi sedikit dari sawer yang aku beri sambil bergoyang.
Aneh, sewaktu habis lagu SMS dan dilanjut lagu “kucing garong”, tiba-tiba tanpa di komando, hampir semua bapak-bapak maju ke panggung dengan bawa uang ribuan. Panggung jadi ramai dan seru.
“Wah, ternyata aku hebat. Aku seorang pelopor dan pemimpin kampung sini. Pantas saja parta-partai gurem itu mengejarku jadi ketua cabangnya”, bathin ku dalam hati penuh kebanggan.
Dari panggung aku melihat sekelebat banyangan yang aku kenal tampak keluar lapangan dengan mengandeng sesosok anak kecil. Bayangan itu sangat aku kenal. Itu istriku dan thole.
Kemudian acara dangdut itupun akhirnya selesai sesuai jadwal. Tampak wajah pak RT puas dengan acaranya yang heboh. Bahkan bang mandor menghampiriku sambil berkata:
“Bos srondol, terimakasih sudah menghidupkan acara ini. Hancur reputasi saya sebagai seniman kalau sampai tak satupun yang berjoget”, kata bang mandor sambil tersenyum puas. Gigi emas palsunya sampai tampak berkilauan didepan mataku.
“Oh, sama-sama bang, senang bisa membantu”, kataku berwibawa.
“Srondol gitu loh”, bathinku dengan bangga, serasa satu kancing kemejaku putus satu gara-gara dadaku mengembang besar.
Sesak.
……
“Tante-tante!” kata Bude mencolek istriku.
“Om naik ke panggung tuh, joget lagi”, sambungnya dengan masih terkaget-kaget.
“Ya nggak papa to bude, bapak-nya kan cuman menikmati iramanya, bukan ceweknya”, jawab istriku.
Tampak mukanya memerah, untung barisan ibu-ibu dibelakang dengan cahaya lampu yang tidak terlalu terang.
“Loh, om nyawer tuh tante.”, pekik bude.
“Ya biasa lah bude, om kan lagi sodakoh, buat ngelancarin rejeki”, jawab istriku.
“O… begitu yah, pantes usaha dan karir om lancar. Rahasianya itu to?”.
“Kalo gitu bapaknya anak-anak tak suruh joget sambil nyawer juga ah, biar sukses kayak om dan tante”, kata bude sambil diikuti ibu-ibu yang lain.
Bapak-bapak lain jelas terkaget-kaget, kok tumben-tumbenan istri-istrinya ngasih uang seribuan ke mereka. Ada yang 3000 perak, bahkan ada yang sampai 5000-an.
Setelah dibisikin para ibu-ibu, tanpa di komando bapak-bapak itupun berebutan maju ke panggung, berjoget dengan mantab, bergiliran memberi sawer ke penyanyinya.
Dan istriku beranjak dari tempat duduk sambil menyeret thole.
“Kmana tante?”, tanya bude.
“Pulang, ngantuk”, jawabnya sambil tersenyum, dipaksakan tentunya.
….
Malam mulai dingin, kabut pun mulai turun tanda daun-daun akan berembun saat aku pulang dari lapangan. Sampai depan pintu garasi aku meraba-raba tombol bel rumah. Ups!. Ketemu!.
Teeeet!
Tet-teeeeeeeet!
Sekali lagi aku pencet. Heran, kok istriku tidak bangun-bangun.
5 menit.
10 menit.
15 menit
30 menit
Pintu rumah belum juga di buka.
IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUK!
Teriakku kencang-kencang di depan pintu garasi.
[Bekasi, 21 Maret 2010]