Pagi ini saya dibuat terbahak oleh status sahabat yang mengkritisi penyunatan bahasa pada kata "gegara" dan "tetiba". Dua kata penyunatan dari kata baku EYD gara-gara dan tiba-tiba.
Ya, kembali saya mengamini bahwa memang bahasa berikut turunannya seperti kalimat dan kata adalah sejenis organisme yang hidup. Bisa memanjang atau memperpendek dari kata awalnya.
Konsep yang sering diistilahkan sebagai korupsi kata. Tentu ini dalam konteks bercanda. Toh pengurangan huruf atau mark up kata sah-sah saja, karena inti bahasa kan kesepakatan atas pemahaman tertentu.
Nah, ada yang lebih unik lagi. Jika korupsi kata ini biasanya bermain di abjad, beberapa bulan yang lalu istriku dikejutkan oleh pesan BBM dari pelanggan online shopnya.
Bayangkan, setiap pesannya selalu diakhiri tanda "seru" atau "pentung. Tanda (!). Hal yang kufikir merupakan cara kasar dalam memesan barang. Antara marah-marah atau memaksa.
Namun setelah ditelefon dan terdengar suara lembut keibuan, barulah ia mengerti--gaya tersebut biasa dipakai oleh ibu-ibu di kalangan mereka di daerah Banjar, Kalimantan.
Aku sempat bersyukur, walau sedikit nyleneh dalam penggunaan tanda tersebut untuk menggantikan tanda titik--setidaknya tidak terjadi korupsi kata.
Hal yang tak lama mesti saya tarik ulang kesimpulan ini, karena sesaat diminta alamat untuk pengiriman kata. Korupsi kata besar-besaran terjadi.
Bukan sekedar mengurangi hurup, namun total dihilangkan ketikannya. Pelanggan baru itu mengirimkan alamatnya berupa foto KTP. Lengkap dengan foto wajahnya yang berkerudung biru. Ini korupsi kata atau malas ngetik?
Hadeh! Tepuk jidat
[Hazmi Srondol]
Tidak ada komentar
Posting Komentar