"Sebenarnya, tanpa perlu saya membagikan fotocopy-an himbauan mengibarkan bendera Merah Putih, seharusnya bapak-bapak sudah otomatislah H-4 mengibarkan bendera di depan rumah kita masing-masing..." kata pak RW dengan nada sedikit kecewa dihadapan warga RT kami saat malam Halal bihalal warga merangkap tasyakuran Hari Kemerdekaan.
"Ya saya tahu, pengibaran bendera Merah Putih sudah seperti hal sepele buat bapak ibu sekalian. Mungkin karena saya yang ngomong. Apalah arti saya ini, hanya perangkat RT" kata salah satu perangkat RT lain menimpali.
"Tapi, apakah jika saya mengingatkan adanya hadist Rasulullah perihal "Sang Saka Merah Putih" yang dirawikan oleh Imam Muslim--bapak ibu masih tetap seperti ini?" imbuhnya lagi dengan nada bertanya.
Mendadak malam itu, tepat satu hari menjelang detik-detik hari Kemerdekaan RI ke 70 menjadi hening.
Memang, alasan kesibukan, lupa atau tidak sempat selalu menjadi alasan klasik "kemalasan" (pakai tanda kutip) sebagian warga di perumahan kami untuk tidak mengibarkan bendera Merah Putih.
Padahal, dari segi harga--satu set bendera dengan tiang bambu yang sudah dicat warna serupa serta jasa mengikat di pagar/tembok rumah hanya sekitar 40 ribu saja. Mungkin bisa lebih murah jika tega menawar lagi harganya. Namun kami sekeluarga, memilih untuk sesekali berbagi rizki ke abang gerobak yang menjual bendera ini.
Lha sudah untung ada yang mau capek-capek mendatangi perumahan kita dengan jualannya kan? apalagi lintasan area jualannya tepat didepan rumah kita. Mosok masih berani menawar dengan 'afgan' alis sadis. Coba beli sendiri tiang/bambu setinggi 3-4 meter ini. Apa tidak beribetan membawanya?
Nah, kembali ke statement yang diingatkan oleh perangkat RT komplek kami--mendadak saya teringat sebuah Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan, Jilid X, halaman 340. Dari Hamisy Qasthalani,
Rasulullah SAW Bersabda: “Innallaha zawaliyal ardha masyaariqaha wa maghariba ha wa a’thonil kanzaini Al-Ahmar wal Abjadh”.
Artinya: “Allah menunjukkan kepadaku (Rasul) dunia. Allah menunjukkan pula timur dan barat. Allah menganugerahkan dua perbendaharaan kepadaku: SANG MERAH PUTIH”.
Kata "Al-Ahmar wal Abjadh" atau "Sang Merah Putih" inilah yang saya fikir, menjadi alasan para ulama dan orang tua kita zaman dulu begitu mensosialisasikan lewat bentuk-bentuk atau kalimat-kalimat yang merujuk ke warna sakral ini.
Kita bisa cek hampir disemua buku lama, terdapat istilah "Sekapur Sirih" yang boleh jadi diartikan sirih adalah simbol pembentuk warna merah dan kapur adalah pembuat warna putih. Merah Putih!
Belum lagi ajaran simbolis lain perihal bubur merah putih. Bubur empuk nan sederhana yang terbuat dari gula merah dan putih santan ini hampir bisa kita temukan di semua dihampir semua sudut Nusantara.
Bahkan di Jawa Barat sendiri pun terdapat ungkapan pertanyaan khusus perihal bubur merah putih ini, contohnya: "geus ngabubur beureum jeung ngabubur bodas atawa acan?" (sudah membuat bubur merah atau bubur putih atau belum?). Sebuah pertanyaan kepada sepasang pasutri yang baru melahirkan anaknya atau seseorang yang hendak mengganti nama. Penggantian nama akun social media tidak termasuk ya... :D
Nah, semakin menarik menyusuri bubur merah putih yang sudah sangat membudaya ini. Di Jawa Tengah atau Yogyakarta, sudah menjadi kelaziman membuat bubur ini pada saat hari "weton" kelahiran. Warga disini menyebutnya bubur "SENGKOLO". Menurut cerita bapak ibu kita dulu, hal ini bertujuan agar selalu ingat bagaimana manusia berasal dan siapa penciptanya.
Bubur merah putih memberikan perlambang pertemuan darah merah ibu (ovum) dan darah putih sang bapak yang menjadi cikal bakal lahirnya manusia baru. Selanjutnya, ketika manusia baru jadi, ia hidup menumpang ari-ari yang berwarna merah dan berselimut air ketuban berwarna putih. Tak selesai sampai tahap itu, ketika sudah terlahir dan keluar dari Rahim, kembali kita diingatkan warna merah dengan istilah Jabang bayi (bayi merah) yang hidup dari susu ibu yang berwarna putih.
Sudah cukup? Belum.
Bubur merah putih ini juga ternyata, digunakan sebagai tanda perlawanan leluhur terhadap kolonialisme penjajah. Bubur merah sebagai simbolisasi tanah dan bubur putih diartikan air. Jadi, semenjak zaman dahulu, pendidikan cinta tanah air itu sudah terbentuk.
Tak heran, dalam catatan sejarah--bendera merah putih sudah dipakai oleh kerajaan-kerajaan Nusantara dizaman dahulu seperti:
1. Zaman Singosari (1222-1292), bendera merah putih dipakai Kertanegara, raja Singosari saat menumpas pemberontakan Jayakatwang.
2. Zaman Majapahit, bendera merah putih dipakai tentara Pamalayu dalam mengawal putri Dara Jingga dan Dara Merak. Serta dipakai raja hayam Wuruk dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan.
3. Perang Diponegoro (1825-1830), bendera merah putih dipakai untuk panji perlawanan melawan belanda
4. Zaman Sisingamangaraja IX, warna bendera perangnya juga merah putih. Tercermin jelas dalam gambar pedang kembar (pusaka Piso Gaja Dombak)
5. Zaman Kerajaan Bugis Bone, bendera kebesaran kerajaan adalah merah putih yang dikenal juga dengan sebutan "Worongporang"
6. dll (silahkan ditambah untuk saya edit/lengkapi).
Nah, kembali ke hadits Rasulullah mengenai Sang Merah Putih ini, walau pun ada juga pandangan lain perihal penafsirannya yang merujuk ke harta emas dan perak--ya monggo-monggo saja. Yang jelas, menurut hadits yang diriwayatkan Al Barra, baju terindah Rasulullah adalah yang berwarna merah putih. Kutipannya sbb:
“Kanan Nabiyu Saw marbua’an wa qadra ataituhu fi hullathin hamra-a, Ma raitu syaian ahsana min hu”
Artinya: “Pada suatu hari Nabi SAW duduk bersila dan aku melihatnya beliau memakai hullah (busana rangkap dua) yang berwarna merah. Aku belum pernah melihat pakaian seindah itu”.
Jadi saya pribadi yakin, warna merah putih sangat terkait erat dengan karakter Rasulullah ini sendiri. Persoalan jika sekarang warna hijau lebih dominan dipakai oleh bendera-bendera di jazirah Arab, mungkin lebih cenderung dikaitkan dengan Al Qur'an surah Al Kahfi ayat 31 dan Al Insan ayat 21 yang membahas pakaian surga yang berwarna hijau.
Kalau Rasulullah sendiri sih, setahuku, hanya menggunakan kain hijau saat beliau wafat. Kain tersebut dipakai sebagai kain kafan.
Nah dari kisah-kisah mengenai Sang Merah Putih itulah, saat malam menjelang 17 Agustus 2015 kemarin, sebelum pulang ke rumah dari Halal Bihalah RT--saya sempatkan melongok bendera yang dipasang oleh tetangga.
Sayangnya, 3 deret rumah baik kiri dan kanan dari kediaman kami, tak satu pun yang mengibarkan bendera. Mungkin memang mereka lagi sibuk atau lupa.
Sedih :-(
[Hazmi Srondol]
Foto: Bachren Lukskardinul
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
19 komentar
Terima kasih Mas Hazmi
Saya baru tercerahkan nih
di deret rumah saya ada 9 rumah, yang pasang cuma 1 Mas, rumah saya aja. Untung aja suami udah bawel (tanda petik) nyuruh saya ambil bender buat di pasang.
Di deret rumah saya satu gang cuma saya aja yang pasang......
wah, ada yang lebih parah rupanya ya, mbak....
walah.... ini juga lebih parah.... :-(
sama-sama, mas... kalau ada tambahan, jangan sungkan-sungkan beri info lewat komen yaaa....
baca tulisan di atas, kain kafan nabi berwarna hijau... susah ngebayanginnya. Kain kafan Identik putih (lebay hehehe) - *jadi tahu sekarang :)
sip mas. terima kasih sudah mampir dan komen...
alhamdulillah dirumah saya masih mengibarkan kang... lengkap sekali ulasannya. keren dah....
wah mantab! jiwa kebangsaannya belum luntur...
Jadi inget waktu kakek sama bapak masih ada. Kalau sudah masuk bulan Agustus, kakek saya datangi 3 rumah anaknya naik sepeda ontel dengan bendere merah putih kecil berkibar di kawat rem sepedanya. Kalau kedapatan belum pasang bendera dan umbul-umbul, habis lah dimarahi kakek saya: "Tibang ukur nanjeurkeun bendera wae hese, komo mun nanjeurkeun kamerdekaan? (Cuma menegakan bendera saja susah, gimana menegakan kemerdekaan?).
Satu hal lain yang tidak lupa pesan kakek, yaitu: "jika membangun rumah, jangan lupa suhunan (bubung atap) dibungkus dengan bendera merah putih bagian tengahnya". Mungkin di tempat lain juga sama, tapi banyak yang tidak tahu apa sebabnya. Kakek saya bercerita, dulu itu (era sebelum merdeka) jangankan mengibarkan, pengen menyimpan saja taruhannya nyawa. Maka, disembunyikanlah di bubung atap rumah. Biar sekalipun belum bisa berkibar, merah putih tetap ada di tempat yang tinggi, siap berkibar!
iya, waktu masih kecil masih sering liat bendera merah putih saat orang bangun rumah, mas. Biasanya yang lagi ngibarin bendera suka dapat tambahan material dari warga sekitar....
eniway, sempet panik saat mas Rosid komen. khawatir kutipan bahasa Sunda di blognya salah. hahahahha
Alhamdulillah, kami tak pernah lalai mengibarkan bendera Merah Putih itu di setiap tanggal 17 Agustus. Btw, kisah tentang hadits ini jadi rujukan yang mencerahkan. Tks, Mas. :)
Mas, aku gak pasang bendera gede. Karena dikomplek kami itu cuma 13 rumah akhirnya pada pasang bendera kecil2 yg berhubungan satu rumah ke rumah lain. Hehehe.. tp aku jd tau arti merah putih itu. Tfs ya mas ^^
klo pas didaerah saya dulu di keruing srondol pada pasang semua,,,,,pas sekarang di kota besar malah jarang yang pasang bendera,,,hadeeehhh
wah, mantab bener mbak Wyl ini.. jooos!
walah. malah seru yah bendera kecil bersambung begitu. yang kecil2 dari plastik itu kan, mbak?
hahahaha. ego orang kota berbeda dengan saat kita masih kecil, om Agus Hendra. hahahah
Terima kasih atas masukan dan sudut pandang lainnya yang menarik. *salaman
Posting Komentar