Sampai sekarang saya masih sependapat dengan PGI (Perseketuan Gereja Indonesia) yang tidak menemukan sisi esensial dan substansif dalam mensikapi statement pak JK yang mempermasalahkan suara rekaman murattal Al Qur'an di masjid-masjid.
Saya juga masih bingung, ada banyak hal yang lebih mendesak untuk dipikirkan untuk sosok sekelas JK ini. Apalagi dalam kondisi negara Indonesia 2-3 tahun terakhir ini sudah menjadi negara importir. Salah satu ciri tanda negara yang menjelang masa resesi ekonomi.
Mungkin, bisa jadi JK sedang mencoba menunjukan sikap "toleransi" nya kepada umat non Islam, walau menurut saya--ini kebablasan. Atau jangan-jangan rumahnya memang bersebelahan dengan masjid sehingga merasa terganggu ketika menjalang waktu subuh tiba?
Entahlah, namun kalau memang ingin bertoleransi--sebaiknya sesekali menginap di tempat lahir saya di Srondol Wetan, Banyumanik, Semarang. Disana ada dua suara khas yang terdengar setiap paginya.
Pertama dari arah timur, terdengar suara masjid yang memutar rekaman murattal dari jam 4-an pagi hingga waktu adzan tiba. Suara paling jelas terdengar dari masjid terdekat yang berjarak 100-an meter dari rumah.
Kedua dari arah tenggara, jam 5 pagi terdengat jelas suara lonceng gereja yang dari peta google berjarak sekitar 1000 m (1 Km). Gereja ini adalah gereja yang menurut saya pribadi sangat fenomenal. Karena Gereja yang bernama "Gereja Santa Maria Fatima, Banyumanik" ini (konon) saat dibangun diawasi langsung oleh Kardinal Indonesia.
Bahkan menurut cerita, salah satu Kardinal Indonesia pernah tinggal di gereja ini. Padahal menurut informasi dari rekan saya yang beragama Katholik, gelar "kardinal" ini satu tingkat di bawah Uskup di Vatikan. Nggak kebayang geger-nya Indonesia jika dahulu beliau ini yang terpilih jadi Uskup, kan?
Lalu, apakah warga Srondol Wetan di Banyumanik terganggu suara murattal dan lonceng ini? Setahu saya, semenjak kecil dan menyadari dua suara ini--belum ada tuh yang bisik-bisik mempersoalkan dua suara khas daerah kami ini.
Bahkan bagi kami sekeluarga, walau di rumah sudah punya jam weker pun, dua suara tersebut menjadi patokan bapak-ibu membangunkan kami saat kecil.
"Tangi, mas...! Mesjid'e wes muni...!" (Bangun, mas. Masjidnya sudah bunyi)
"Wealah, turu meneh...! Kui gerejane wes muni..!" (Ealah, tidur lagi. Tuh gerejanya sudah bunyi).
Kalau sampai tidak bangun juga, gantian radio dan TV disetel kencang-kencang agak kami terganggu dan segera bangun, lengkap dengan ancaman disiram air oleh ibunda tercinta.
Ya, suka tidak suka--walau dalam penelitian entah dari mana, Afrika dianggap negara dengan penduduk yang bangunnya paling pagi. Rata-rata jam 6.00 pagi. Walau menurut saya, seharusnya Indonesia lah negara yang paling pagi bangunnya.
Saya berani mengatakan hal tersebut karena, hanya di Indonesia-lah dimana "bangun siang" masih dianggap aib. Setidaknya terselip rasa malu jika disebut waktu bangunnya kalah cepat dibanding ayam berkokok. Tak heran soal men-oprak-oprak anak untuk bangun pagi seperti hal yang lazim diajarkan para orantua Indonesia untuk anak-anaknya. Apa pun agamanya.
Budaya bangun pagi ini saya duga berasal dari sejarah nenek moyang bangsa Indonesia yang sebagian besar penduduknya petani dan nelayan. Dua pekerjaan yang menuntut untuk selalu bangun pagi.
Bagi petani, jam 5 adalah saat berangkat ke sawah ladang dan nelayan saatnya berlabuh di pantai membawa hasil tangkapannya untuk di jual ke pasar. Bagi yang bangun kesiangan, silahkan rejekinya dipatok ayam--begitulah kira-kira kata orangtua kita dulu.
Ketika era petani dan nelayan mulai berakhir, budaya ini tidak terlalu berbeda. Contoh paling dekat adalah komplek perumahan saya di Bekasi ini. Saya perhatikan, untuk mengetahui tetangga kita beragama Islam atau tidak, tidak perlu cek KTP. Cukup perhatikan saat sholat subuh di Masjid.
Biasanya, yang non muslim berangkat sebelum atau pas saat suara adzan, sedangkan yang muslim, menunggu sholat berjamaah dahulu baru berangkat berkerja. Jadi sudah biasa kami saling berklakson ria menyapa dalam rentang waktu pagi yang singkat ini. Harap maklum, jika lewat dari jam tersebut, silahkan bermacet-macet di jalan menuju tempat kerjanya di Jakarta.
Sedangkan menanggapi komenter orang perihal menguji ketidak terganggunya suara muratal dan adzan dengan menyetel megapon di dalam pesawat atau ruangan kantor, saya pikir itu tidak "manggon" (sesuai tempat) dan "njarak" (sengaja banget menganggu).
Seperti halnya jika ada rekan non muslim membunyikan lonceng tangan di samping kita ketika sedang naik busway, ya pastilah ini juga tidak manggon dan njarak. Pasti kita terganggu, Orang Jawa menyebutnya : "Nyelelek" alias rada kurang ajar.
Suara Murattal dan Lonceng, tidak kami anggap menganggu karena memang tempat dan suasana membunyikannya sudah pada waktu dan tempatnya. Pagi hari di Masjid dan Gereja.
Nah, ada sedikit bonus bagi pak JK atau siapa pun yang penasaran dengan suara-suara tersebut di kampung halaman saya. Bonusnya adalah suara "ning-nong, ning-nong" berulang-ulang mirip suara gamelan tetapi hanya dua nada saja. Suara yang sayup-sayup muncul sekitar jam 1 s/d 2 pagi dari arah utara.
Sejauh ini, yang saya pastikan mendengar suara tersebut adalah kami se-keluarga. Belum sempat bertanya ke tetangga lainnya. Menurut almarhum bapak saya, suara tersebut adalah suara kampung/bangsa Jin yang hendak menunjukan keberadaannya.
Entahlah, wallaualam bi shawab.
Sekian, selamat sahur buat rekan-rekan yang melaksanakan ibadah puasa. Merdeka!
----
Penulis, @hazmiSRONDOL
4 komentar
secara budaya suara adzan melalui pengeras suara sudah jadi bagian hidup masyarakat kita, apapun agamanya. suara adzan tidak hanya digunakan oleh kaum muslim sebagai penanda waktu. persoalan ini terlalu remeh jika akan diatur oleh pemerintah. masih banyak yang jauh lebih penting.
betul, mas... persoalan ini tidak mendesak untuk level wakil presiden
Assalaamu 'alaikum Mas Hazmi, salam kenal.
Menurutku suara murotal maupun lonceng itu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat, istilahnya kearifan lokal.
Sama seperti tong2 prek di tengah malam di bulan puasa, jadi sangat keterlaluan kalau hal2 seperti ini dipersoalkan.
Kayaknya pak JK udah lelah, butuh banyak istirahat di tempat yang damai dan tenang, harus banyak i'tikaf di masjid menikmati hari tuanya.
hahahha. sependapat mas...
Posting Komentar