Agak terkejut beberapa bulan yang lalu menerima pesan dari salah seorang yang mengaku mewakili Freeport Indonesia untuk meminta waktu agar bisa bertemu. Tentu saja, permintaan yang sedikit to the point ini membuat alisku berkerut. Ada apakah gerangan?
Usut demi usut, usai memberikan nomer telefon pribadi--permintaan ini masih terkait dengan tulisan lamaku di blog yang membahas perihal misteri royalti 1% Freeport saat era kampanye Pilpres 2014.
Berhubung sedang bergelantungan dan berdesakan dalam kereta komuter Jabodetabek, langsung saja kuterima permintaan bertemu ini. Setidaknya, jurus lama ‘melawan rasa takut dan penasaran adalah dengan menghadapinya’ tetap bisa teraplikasikan dalam perjalanan kehidupan saat ini.
Setelah bertemu, kekhawatiran mulai mencair. Ternyata, inti pembicaraannya adalah pertanyaan tentang dari mana data menulis perihal royalti Freeport tersebut diambil?
Heloow, sekarang zaman internet wahai bapak dan ibu. Ada wikipedia, ada mbah google dan begitu mudah mendownload data annual report tahunan induk perusahaan Freeport Indonesia di Amerika tersebut.
Walau memang, dengan modal pelajaran akuntansi dasar yang didapatkan di kampus dan sekolah, sedikit memaksa otak dan waktu sekitar dua minggu untuk lebih hati-hati menghimpun serta men-sarikan data tersebut. Apakah ada yang salah dengan data yang kusampaikan dalam tulisan sebelumnya? Kurang lebih itu pertanyaan balik dariku.
Tidak serta merta mereka membenarkan atau menyalahkan. Mereka lebih banyak menganguk-angguk dan memahami alur pencarian informasi yang kulakukan.
Lebih menariknya, pihak Freeport menawarkan untuk mencari data yang lebih menantang. Maksudnya, data berupa kunjungan langsung ke lapangan atau lokasi tambang di Papua. Lengkap dengan fasilitas karyawan dan suku-suku sekitar tambang.
Saya fikir, mentalitas kepo ala blogger tidak bakal mensia-siakan tawaran tersebut. Apalagi, kepulauan Papua belum pernah sama sekali kudatangi. Padahal begitu banyak cerita, mitos hingaa aneka macam berita dari berbagai macam sudut pandang kudapatkan.
Walau tetap saja, saya meminta ke pihak mereka untuk tidak membatasi sudut pandang, materi atau reportase yang hendak saya buat. Pihak Freeport tidak menolak permintaan ini, toh menurut mereka—adalah tanggung jawab seorang blogger untuk bersikap adil dan memberikan laporan apa adanya.
Sikap tidak resistant ini tetap saja ada pertanyaan kecil yang mengusik di pikiran. Kenapa tiba-tiba Freeport bersedia menuruti permintaan seperti ini?
“Kami tidak bisa melawan zaman, mas. Era keterbukaan internet mau tidak mau kami harus melakukannya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” jawabnya menjelaskan.
Ya, memang sikap diam Freeport yang tampak “tertutup” ini tentu mengundang banyak pertanyaan warga diluar lokasi tambang. Sepertinya, saat itu karakter industri tambang seluruh dunia ya memang seperti itu. Tanpa iklan, tanpa promosi, terima kontrak lalu kerja—sudah! Itu saja.
Bahkan tampak cuek bebek dengan pemberitaan yang beredar. Walau bisa jadi didalamnya tidak cuek-cuek amat, masa tidak panas kuping mendengar kabar yang pedas-pedas. Sedangkan kita hidup bertetangga diomongin di gardu pos kampling aja langsung sewot. Tidak selalu diam itu “emas”kan? Hehehe…
Nah, usai pertemuan singkat tersebut—sesampainya di rumah kucoba telusuri lebih dalam perihal perusahaan yang pernah dalam sebuah status di facebook kutanyakan “apa yang ada dibenak saudara jika saya menyebut satu kata: Freeport?”
Untaian pendapat yang, hmm, hampir 98% nya berisi sentmen negatif atau boleh dibilang—berbau caci maki. Hehehe… Walau tetap saja, tidak mengurangi rasa penasaranku terhadap rencana ‘keterbukaan’ Freeport Indonesia ini.
Sasaran pertama yang kucari tentu saja akun-akun social media Freeport Indonesia. Disana terdapat akun @IDFreeport di twitter, https://www.facebook.com/IDFreeport di Facebook dan freeportindonesia di Instagram.
Akun-akun ini sepertinya serempak pengaktifanya. Dari fasilitas discover first tweet, terlihat akun resmi Freeport mulai berkicau sejak tanggal 12 April 2013 dan berisi informasi lowongan kerja di perusahaan ini.
Menariknya, walau memang terlambat hadir, dua tahun dari 40 tahunan hadir di Indonesia—akun social media Freeport Indonesia ini dinilai terbaik dari 3 besar perusahaan dalam kategori Mining (tambang) dan mendapatkan penghargaan Social Media Achievement Award 2014 yang diselenggarakan oleh Frontier Consulting Group milik Handi Irawan dan Majalah Marketing binaan tokoh marketing Indonesia—Hermawan Kertajaya.
Pencapaian tinggi di bidang social media ini ternyata tidak telepas dari sistem monitoring dan pengukuran berbasis sebuah platform khusus. Platform ini, ternyata juga dipakai oleh perusahaan-perusahaan besar lainnya seperti Telkomsel, XL, BNI46, Alfamart dan lain sebagainya.
Sebuah kerja keras yang memang patut dihargai, walaupun tetap saja—memunculkan sedikit kegelian saat mencoba mengakses konten-konten sosial medianya.
Ya, jikalau dibandingkan dengan akun sosial media perusahaan tambang dunia lainnya—Rio Tinto misalnya, akun social media Freeport tampak masih terlihat foto-foto yang diberi komando “cis kacang buncis, chiiis!” alias senyuman.
Memang tidak salah banyak senyum di foto-foto tersebut. Apalagi jika konsep foto perihal layanan rumah sakit, pendidikan, anak-anak bermain atau foto resepsionis perusahaan. Namun bagaimana foto pekerja tambangnya?
Apa betul, dari tiga orang pekerja tambang dengan latar mesin ‘menyeramkan’ seperti Doctor Octopus di film Spiderman bisa ketiganya kompak tersenyum seperti itu?
Padahal, dulu sewaktu masih bujangan dan tinggal di kos-kosan—ada salah satu adik kelas pernah ‘kabur’ dari perusahaan tambang batubara tempatnya berkerja di Kalimantan. Padahal belum genap satu tahun bertugas disana. “Seram, mas. Kalau pekerja lagi kesel dan marah, lempar kunci Inggris segede gaban dibanting ke velg truk “. Ngeriiii…!
Nah, sangat terbalik dengan foto dari akun social media peusahaan tambang @RioTinto. Disana, kita bisa melihat foto-foto pekerja tambang yang sangat natural. Dari helm hotor, tangan berlumuran tanah, wajah-wajah serius, mesin-mesin raksasa berdebu hingga foto tambang diamond di Diavik, Canada yang tampak berlubang lebih rendah dari air laut.
Ya, bisa jadi memang mungkin pekerja tambang Freeport di Papua ini “sumeh-sumeh” dan murah senyum ala orang timur. Namun, tetap saja—kejanggalan ini mesti dituntaskan dengan segera mengunjungi langsung lokasinya. Agar misteri tambang Freeport ini, bisa lebih jelas terbuka.
Penulis,
@hazmiSRONDOL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar