Peluit Pak Polisi
Minggu, 11 Juli 2010
Speedometer sudah menembus dia angka 170 km/jam. Setengah detik sempat melihat jarum itu bergerak menuju angka itu. Adrenalinku naik, sudah lama nggak ngebut secepat ini, terakhir belasan tahun lalu di turunan jalan Baturaden dengan Digdo, itu aja aku nggonceng RGR mas Joko. Heheheh
Pff, kalo saja bukan karena harus berangkat ke kantor dan mesti keluar di pintu tol Semanggi, mungkin tercapai juga kali tembus di angka 200.
Memang sudah beberapa hari ini aku dapat titipan mobil punya keluarga besar istriku. Sebuah mobil SUV baru ber cc 2400 dengan harga yang menurutku masih mahal, walau memang aku akui harga gak bisa bohong, larinya jauh lebih gila dari dari mobil keluarga kami yg harganya sekitar sepertiganya saja.
Namun aneh, istriku malah bilang, kalo dia lebih nyaman dgn mobil kami sendiri. Disamping dalamnya terasa lebih lega, kursinya juga 3 baris jadi bisa muat orang lebih banyak…. Huff, sungguh sudut pandang yg aneh. Apa semua perempuan gitu kali yah? Jangan jangan dia lebih milih punya metromini pribadi daripada Alphard? Padahal sebagai lelaki, mobil pinjaman itu sudah sangat hebat menurutku, mesin kuat dan larinya kencang. Belom lagi tongkrongannya sangat gagah, serasa seperti ksatria kalo lagi turun dr kemudinya.
Belum lagi sound systemnya, mantap! Suara khas Akon jadi terdengar seperti suara hipnotis yg memaksa kepala, jari-jari di setir bergerak-gerak, mengangguk-angguk. Untung saja nyetir itu sambil duduk, coba nyetir mobil itu berdiri kayak sopir kapal, dijamin pantat inipun tak kuasa menahan untuk tidak ikutan bergoyang, geal-geol ke kanan dan kekiri. Nah, karena keasyikan, tiba-tiba ….
PRRRRRIIIIIITTTT! …………
Sosok berrompi hijau fosor kok tiba tiba di depan mata sambil memberikan isyarat untuk menepi. Pff… Sepagi ini kok tumben-tumbenan sudah nangkring di jalan.
Wajah bintara polisi itu mendekat, memberi hormat sambil mengucapkan kan salam selamat pagi, mungkin sudah standar protap-nya kali.
“Selamat pagi pak, lagi ngelamun ya pak?”
“Nggak mas, emang kenapa?”
“Bapak tadi menerabas lampu merah?”
“Ah masak?”
Aku jadi diam, malas berdebat
…..
Aku jadi teringat seseorang yang sangat alergi terhadap institusi rompi hijau fosfor ini. Sampai sampai Kakang yang satu ini bilang,
“Kalo saja pak Adang bukan polisi. Aku pasti pilih dia buat jd Gubernur DKI”.
“Loh emang knapa kalo polisi kang?”.
“Wes to Nang, kabeh polisi itu brengsek?”.
“Loh, tapi kan pak Adang disokong partai Islam yang terkenal bersih kang?”
“Wes to Nang, pokok’e yg namanya polisi ya gitu-gitu wae, gak ada yang bener, wong masuknya saja mesti pakai duit!”
“Ah, nggak semua kang. Ada kok polisi yg super nrimo, bahkan dianiaya diem aja. Diinjak-injak tiap hari juga diem aja”
“Ah, nggak ada itu”
Tampak muka kang Sapt mulai menunjukan ketidaksukaannya. Air muka mulai memerah. Sengit.
“Ada kang, tuh Polisi Tidur”, jawabku sambil menunjuk gundukan semen bergaris-garis di jalan dekat warung.
“Wong edan!” Kang Sapt mulai misuh-misuh sambil terlihat air mukanya berubah. Antara kesal campur ketawa.
Aku ngakak dalam hati, puas ngerjain pemuja almarhum Gus Dur ini. Kakakakak.
…..
Memang polisi itu institusi yang paling unik, apalagi era reformasi ini. Mau dibilang militer, polisi ini sipil. Dibilang sipil, tapi membawa senjata. Ya, sering aku sebut institusi ini sebagai institusi sipil bersenjata. Institusi ini pula yang sering membuat dahiku berkerut. Apalagi istilah Cicak dan Buaya yg terkenal itu. Saking terkenalnya, sinetron aja pasti kalah ratingnya. Sungguh, banyak hal-hal yang otakku ini tidak sanggup menjangkau apa yg terjadi. KPK dan Polisi seakan-akan institusi yang saling berhadapan. Tapi, yang aku dengar, banyak anggota KPK sendiri adalah alumni polisi, didikan polisi. Kok beritanya kayak saling eker-ekeran begitu. Binggung..
Lebih binggung lagi waktu aku sedang melakukan survey pembangunan underpass di Gandaria. Waktu itu matahari sangat terik. Maklum, surveynya aja sekitar jam 12.30. Serasa deh ubun-ubun ini mendidih. Pak pejabat DPU, Dishub, kontraktor dan kunsultan sudah kelihatan kepayahan dan saling memberi kode buat ngluyur masuk rumah makan. Serombongan kecil itu sudah mulai berjalan. Namun langkahku tertahan, aku lihat pak Kapten Pu*i ini malah masih asyik ngobrol dengan ajudannya yg masih bintara itu… Aku tunggu.. Diem… Berharap ada respon bergerak dari pak kapten polisi yg murah senyum sekaligus humoris ini. Namun saat rombongan kecil semakin menjauh. Habis juga kesabaranku dan akhirnya aku mendekati pak kapten.
“Ayo pak, makan dulu. Panas neh. Haus”
“Oh monggo pak Srondol kalo mau duluan” jawabnya halus.
“Yo nggak enaklah pak, mosok misah-misah gini”
“Waduh gimana ya pak, saya lagi puasa”..
BUK! Serasa pukulan hook telak masuk ke muka.
“Yaudah pak kalo gitu, mas Abi**n aja ikutan” aku coba tunjuk ajudannya buat mengantikan beliau.
“Wah pak Srondol, anggota saya ini malah lebih doyan Puasanya, kalo gak puasa mah sudah saya suruh ikutan makannya”
DEG! Kali ini pukulan lebih telak, serasa nembus ke ulu hati. Jawaban perwira TMC Polda ini sudah membuat aku KO. Knock Out. Dari situ baru aku perhatikan baik-baik wajah pak Kapten dan bintara ajudannya, ternyata ada bekas hitam di jidatnya, mungkin bekas sujud panjangnya yang hampir-hampir tidak tampak mencolok karena pak Kapten kulitnya juga sudah terlihat gelap karena terbakar matahari.
Aku anehnya baru ngeh! Baru paham, kalo ternyata hari itu kan kamis, berarti pak kapten ini puasa Senin Kamis dong??? Waduuuh, malu banget. Apalagi menatap perutku sendiri yg semakin buncit ini. Nggak nyangka, beliau yang kerjanya banyakan di jalanan saja masih mampu puasa senin kamis. Walau emang sih jidat hitam dan puasa seninkemis tidak menjamin ke-aliman seseorang tapi setidaknya beliau ini pasti bisa mengontrol nafsu paling dasar, nafsu makannya. Gak seperti aku yang kalo sudah urusan perut, suka kelabakan.
Bahkan pernah gara-gara urusan perut ini, aku pernah panik tidak karuan. Panik saat ketika si mbok pedagang gorengan dan teh anget di stasiun Bekasi langgananku tiba-tiba sudah menghilang di lorong stasiun. Aku sampai mutar-mutar mencari si mbok yang sopan dan medok ini di luar stasiun. Ternyata ketemu juga, si mbok sudah pindah di parkiran luar stasiun. Si mbok yang sudah hapal langsung membuatkan teh anget celup sosro dengan gula sedikit untukku. Tahu banget kebiasaanku kalau pulang dr kerja dan turun dari kereta KRL langsung nge teh anget. Kami ngobrol ngalor ngidul… biasa, omongan dengan ’wong cilik’ emang menyenangkan. Tulus dan apa adanya. Sambil ngobrol, si mbok juga sambil melayani orang yang ngutang rokok kretek Sampoerna hijau sebatang. Aku tanya:
”Siapa itu mbok?”
"Tukang becak, mas"
”Weh, masih ada becak to mbok di stasiun bekasi ini?”
"Inggih tasih to, mas. Dulu sempat mau di gusur tapi batal’
”Batal kenapa, mbok?”
"Waktu kepala stasiun baru membongkar pedangang dan bakal nggusur tukang becak, tiba-tiba Kapolsek Bekasi mendatangi kepala stasiun dan melarang penggusuran becak.’
”Ah serius Mbok?” aku mendelik, hampir-hampir tak percaya.
"Inggih, mas. Kapolseknya bilang: kasihan orang miskin, becak diatur aja, jangan digusur, parkiran jangan buat mobil saja…’
”Trus gimana mbok?”
"Pak kepala stasiunnya ketakutan, akhirnya becak boleh nunggu di stasiun dan disediakan barisan parkir becaknya’.
Si mbok bercerita dengan semangat sekaligus tersenyum puas ala wong cilik, merasa menang dan bangga dengan tindakan kepahlawanan Kapolsek Bekasi yang aku jamin kenal si mbok juga kagak.
”Iya deh mbok” kataku, sambil aku nitip beberapa bungkus Djisamsu buat di bagi ke tukan becaknya.
"Serius niki, mas?" tanya si mbok
“Serius mbok, sekali-kali lah mereka ngisep kretek yang mahalan, mumpung abis gajian mbok”
"Wah injih, mas. Matur suwun", kata simbok sambil tersenyum tak percaya
…..
‘Gimana pak?’ tanya Bintara berompi hijau fosfor itu mengagetkanku dari lamunan.
“Gimana bagaimana?” tanyaku balik.
"Mau sidang sendiri atau nitip sidang pak??”
Walah, GUBRAK!
(Jakarta, 10 Februari 2010)
Diposting juga di KOMPASIANA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar