“Kok DPLK-nya bank Muamalat?”, tanya kang Bud keheranan.
“Knapa gak B*I atau BR*saja nDol?, bank pemerintah itu kan aman??”, tambahnya lagi.
“Knapa gak B*I atau BR*saja nDol?, bank pemerintah itu kan aman??”, tambahnya lagi.
”Atau nggak Asuransi luar negeri kaya A*****z, bunganya gede loo”, tambahnya lagi.
“Iya pak, ngerti kok, cuman aku sudah lama berurusan dengan bank konvensional”
“Pengen coba aja bank syariah, itung itung‘amal’ pak”, jawabku sekenanya.
“Wahahaha, jadi pilih amal tho daripada aman?”, tawa kang Bud lepas, tidak menyangka dengan jawabanku.“Emang sudah ngerti opo kuwi bank syariah?”, tanyanya sambil menyisakan tawa.
“Ya enggak sih pak, setidaknya ada kata ’syariah’-nya dikitlah pak, setidaknya ada bau-bau islamnya lah. Mosok agamanya islam tapi urusan duit ke bank konvensional semua. Toh bank syariah sama bank konvensional aku sama-sama gak paham. Sama-sama gak ngerti bedanya. Variasi dikit lah kang, hehehe”, jawabku.
Kang Bud pun semakin terkekeh. Katanya alasannya nggak logis sama sekali.
….
Waktu perusahaan tempatku bekerja tiba-tiba mengeluarkan kebijakan pengurusan pensiun oleh lembaga perbankan atau pihak external alias bukan dari divisi SDM lagi, maka dipanggillah beberapa lembaga perbankan dan asuransi untuk diperkenalkan dan dipresentasikan kepada karyawan tempat kami di ruang serbaguna secara bergiliran. Melelahkan dan kadang membosankan. Apalagi untuk orang berlatar belakang teknik sepertiku ini.
Banyak yang terkaget dengan kebijakan ini dan akupun juga sebenarnya juga terkaget-kaget walau nggak kaget-kaget amat.Karena hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh pak Robert T Kiyosaki, khususnya dalam bukunya ‘Prophecy‘. Buku novel ekonomi karangan pak Kiyosaki-lah yang salah satu termudah untuk aku pahami. Dalam buku itu ada 2 hal yang aku garis bawahi yaitu:
1. Kelak perusahaan tempat kita bekerja tidak akan lagi mengurusi pensiun kita, kita sendirilah yang harus mengurusnya lewat lembaga keuangan perbankkan maupun asuransi.
2. Bahwa program pensiun yang kita ambil akan hancur, program pensiun tersebut tidak benar-benar menguntungkan, karena ‘keuntungan’ dari bunga dana investasi kita akan habis dimakan inflasi dan pajak aneka rupa.
Pada prediksi no. 1 pak Kiyosaki, yang aku kagetkan adalah waktu kejadian yang sangat cepat sejak prediksi pak Kiyosaki tercetak dibukunya. Aku kira bakal terjadi 5 atau 10 tahun kedepan. Ternyata tidak, aturan yang berlaku di Amerika tempat tinggal pak Kiyosaki langsung dengan cepatnya menular ke Indonesia.
Pff… aku merarik nafas panjang untuk mengisi oksigen di otak yang mulai kehabisan oksigen karena mulai khawatir jika prediksi no. 2 pak Kiyosaki juga benar-benar terjadi.
“Beda mas, kalau prediksinya pak Kiyosaki berdasarkan rate bank konvensional. Kalo sampeyankan DPLK nya ke bank syariah, beda pastilah”, kata om Andi suatu hari.
Om Andi yang dosen mekatronika lulusan S3 di Malaysia ini sepertinya cukup paham dengan dunia perbankkan syariah. Apalagi dengan pengalaman om Andi selama tinggal disana. Dimana bank syariah sangat populer, bahkan dengar-dengar terbesar didunia dengan sokongan dana dari dunia Arab. Belum lagi informasi tentang banyaknya dana pengusaha non muslim yang ditabung dan di investasikan di bank Syariah negara sana.
“Bedanya apa om? Perasaan sama aja. Bahkan kreditan motor syariah dengan pendanaan non syariah sama aja bulanannnya. Berarti kan ada patokan rate bunganya dong?”, tanyaku waktu itu.
Om Andi hanya tersenyum saja.
Sebenarnya pertanyaan tentang beda bank konvensional dan bank syariah itu bukan hanya aku saja yang sering bertanya-tanya, seringkali hal ini sering juga ditanyakan oleh rekan-rekanku yang non muslim. Jujur saja aku sering kelabakan. Apalagi jargon “tanpa bunga” nya yang di kira mereka berarti kalau minjem berarti cicilannya harusnya lebih sedikit. Maklumlah, di negara dengan mental konsuntif ini, pinjaman konsumsi sangat besar sekali peminatnya.
Tapi, dari brosure yang mereka lihat. Hampir kebanyakan mereka akan berfikir sama denganku. Mereka lihat list cicilannya kok sama saja itungannya dengan bank konvensional.
”Ya, jangan dilihat dari situnya lah. Lihat adabnya yang lebih terang dan jelas”, tambahnya lagi.
Jawaban tentang adab inilah yang pernah membuat aku dan sahabatku sewaktu kecil pernah menimbulkan perdebatan. Kebetulan sekarang dia merasa sudah tentram hatinya karena bank yang tempat dia bekerja di Semarang sudah membuat divisi syariahnya. Cocok sekali buat lawan diskusi, sekaligus buat menjawab pertanyaan-pertanyaan kecilku saat dia kebetulan mendapatkan pelatihan di Jakarta.
”Yang penting itu ’manner’nya, tata caranya di islamikan dulu”, kata Setyo.
”lah kok mannernya? Kok bukan sistemnya secara umum di syariahkan? Ntar jangan-jangan kayak makan babi tapi baca basmallah dulu”, gerutuku tidak puas.
Setyo pun jadi tertawa terbahak mendengar gerutuku yang ngawur banget katanya.
”Aku nggak paham Set, kenapa disebut bank syariah, tapi masih menggunakan uang kertas, bukan uang emas dinar atau dirham”, tanyaku mendesak.
”Bukannya mata uang kita dicetak tidak dengan pembanding cadangan emas yang disimpan, karena ngikutin Amerika yang sejak tahun 1971 sudah tidak memakai patokan simpanan emas lagi. Jadi fluktuatif harganya?”, tanyaku menambahkan.
”masalahnya, uang dinar emas dan dirham perak kita sekarang juga merupakan komoditi Haz. Jadi apa bedanya dengan uang kertas?”, tanya nya membalik.
”Loh kok komoditi?”, tanyaku binggung.
”lha iyalah, kan Dinar bukan produksi pemerintah, buatan Antam dan ada biaya produksi. Bahkan penjualnya non pemerintah juga. Jadi ada kemungkinan permainan harga dinar emas jika kebutuhan meningkat? Iya tho?”, tanyanya tajam.
Aku tidak bisa menjawab, berat.
”Nah, itulah yang terjadi di perbankkan syariah kita. Arahnya ada ’persaingan’ antara bank syariah dan penjual dinar emas. Bahkan sempat ada statement kalau bank konvensional 100% haram, kalau bank syariah 300% haram!”, kata Setyo sambil mendengus.
”Coba saling sinergi. Tanpa menunggu pemerintah menjadikan dinar emas menjadi mata uang resmi kedua di negara ini, pasti Bank Syariah kita menjadi sangat kuat”. Setyo menambahi sambil matanya menatap kosong. Penuh keprihatinan.
Aku jadi malas bertanya lagi, situasi jadi sentimentil begini.
Kami sempat terdiam lama, saling membiarkan pertanyan-pertanyaan hilir mudik di kepala dan hati kami masing-masing. Sampai suatu saat Setyo memecahkan keheningan dengan pertanyaannya.
“Jadi, masih DPLK di Muamalat?”, tanyanya.
“Iya Set, amal”, jawabku.
“ Yah, aku ngerti, lubuk hatimu paling dalam mendukung, kamu bertanya karena kamu hanya menanyakan apa yang mungkin menjadi pertanyaan di benak teman-teman kantor kamu yang binggung dengan pilihan DPLK kamu.” Kata Setyo berusaha bijak.
“Memang harusnya perekonomian Syariah itu sudah secara Makro, tapi di negara kita baru disisi mikro ekonominya. Ya lumayan lah Haz, kalo tidak bisa merubah total, setidaknya kita sedikit demi sedikit melakukan perbaikan.”, imbuhnya.
Aku terdiam, pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya pun terkubur dengan sendirinya. Aku cuman berharap, ‘amal’-ku di bank Muamalat bisa bermanfaat.
Setidaknya agar teman-temanku non muslim tidak phobia dengan Islam, khususnya kata syariah.
………………………
“Wah, lumayan bunga DPLK neh”, kata Joe suatu hari di kantor.
“Berapa dapetnya Joe?”, tanyaku.
“Adalah 40% dari potongan gaji buat DPLK sebulan”, jawabnya puas
“Gak sia sia bertahun-tahun gabung di DPLK bank B*I. Amaaaaan!,” katanya girang.
“Aku malah deg degan neh, katanya Asuransi ******ku goncang gara-gra krisis ekonomi Amerika”, gerutu Agus kesal.
“Katanya bunganya gede, kirain dana-nya kuat, kok malah isyunya mau bubar gini. Huh!”, tambah Agus dengan dengusan yang keras.
Aku jadi penasaran dan langsung duduk di kursi meja kerjaku. Lalu membuka laci dan mengambil amplop di dalamnya.
Aku jadi penasaran untuk membuka amplop laporan hasil investasi di DPLK Muamalat yang jujur saja nggak pernah sama sekali aku buka. Bukan malas. Memang ogah saja. Aku selama ini selalu berfikir kalau hasilnya pasti sama saja dengan yang lain.
..kreeet…!
Aku sobek amplop itu dengan perlahan, lalau aku cabut perlahan-lahan. Lembaran penuh barisan angka itu membuatku terbelalak!!
Bagi hasil perbulannya ada bahkan banyak yang lebih besar dari potongan gaji perbulanku. Bahkan jumlah total-nyapun lebih besar dari punya temanku yang non syariah! Walau kadang hasil investasi perbulannya menyusut karena sedang di investasikan dananya, tapi tidak sampai terpaut jauh dengan hasil investasi di bank konvensional.
Senyum lebar langsung terkembang di bibirku, sepertinya ramalan pak Kiyosaki hancurnya program pensiun oleh lembaga keuangan bakalan dipatahkan oleh bank syariahku. Entah untuk bank konvensional.
Belum lagi, selama krisis dunia 2009, bank syariahku tidak ada gejolaknya sama sekali. Adem ayem tentrem kerto raharjo. Hehehehe. Niat awal yang cuman buat amal ini ternyata dijawab Alloh dengan keamanan plus keuntungan.
Aku makin girang. heheheh
Joe dan Agus pun jadi menoleh ke mejaku, penasaran dengan hasil investasi DPLK ku di bank Syariah itu.
”Gimana DPLK Syariahmu Haz?”, tanya Agus menyelidik.
Aku berdiri dari kursi, dengan senyum yang makin mengembang aku julurkan tangan ke arah mereka dengan mengacungkan jempol sambil berucap:
”MANTAB!”
heheheheh
[Jakarta, 15 Maret 2010]
Diposting juga di KOMPASIANA
Tidak ada komentar
Posting Komentar