Bluk! Ugh!
Nikmatnya menjatuhkan pantat ini di kursi depan meja komputer rumahku ini setelah pulang dari kantor. Meja yang sebenarnya bukan meja, tapi rak serba guna yang tingginya 1 meter dan panjangannya 2 meter lebih. Tempat berderetnya aneka barang rumah, di dalam lemari terisi piring, box bekas kardus HP dan sebangsanya, CD film bajakan yang bertumpuk-tumpuk sampai aneka rupa yang tidak jelas. Diatasnya juga berderet komputer PC rumah, printer bewarna, mesin jahit Singer dan router wi-fi buat koneksi internet satu rumah.
Hmm, pengen rasanya langsung browsing dan fesbukan. Mumpung aksesnya bebas, gak kayak kantorku yang serba di blok sana-sini oleh admin jaringan. Kadang iri juga dengan istri dirumah, bisa internetan sepuasnya, jam berapa saja tanpa gangguan block dari admin jaringan bahkan lirikan sengit atasan yang mungkin ngiri temen kita sudah ratusan di fesbuk. Hehehehe….. Paling kalo lupa bayar tagihan internet yang cuman 110 ribu per bulan baru gak bisa akses. Tinggal mampir ke ATM, beres dah. Jadi, siapa bilang ibu rumah tangga itu gaptek?
Nah, waktu tangan ini sudah mulai meraba-raba (ups!), mencet-mecet keyboard. Mataku tiba-tiba melihat sebuah undangan tergeletak diatas printer berwarna itu.
Undangan yang aneh, gambarnya ada foto 4 orang. 2 laki-laki dan 2 perempuan. Belum lagi konsep undangan yang agak kurang lazim untuk ukuran kebiasaanku.
Undangan itu terdapat logo ular naga dan 2 golok yang disilang dengan tulisan ”GRUP NAGABINGUNG”, dan yang paling unik, daftar pengangkat adat alias turut mengundang-nya alaihom gambreng banyaknya. Ada dari grup mandor, grup angkot, grup terminal, grup pedagang. Pokoknya banyak banget, khas undangan para jawara. Kalau kita benar-benar mau membacanya mesti bawa lensa pembesar karena lembar undangannya tidak cukup memuat nama-nama yang ditulis
”Undangan siapa ini buk?”, tanyaku heran
”Undangan kawin masal yah?”, tambahku.
”Bukan pak, itu undangan si mpok Eni”, jawabnya
”Mpok Eni mana buk?”, tanyaku lagi.
Binggung, mpok yang mana itu? Pikirku dalam hati.
”Itu loh pak, mpok Eni yang dulu pernah kerja nyetrika di londri kita.”, kata istriku coba jelaskan.
”Yang mana seh? Perasaan anak buahmu mpok-mpok semua.”, kataku masih binggung.
”Itu tuh, yang suaminya preman perumahan sebelah. Istri mandor Coret yang naiknya RX King.”, jelasnya.
”Oohh… iya, inget. Yang tattoan dan pakai anting ya Buk? Yang dulu mpok itu sering curhat kalo sering kelahi sama suaminya?”, tanyaku memperjelas ingatan.
”yup, bener pak, yang dulu pas berenti sekalian minjem duit buat bikin warung nasi uduk depan sekolahan SD”, jawabnya.
”Yang suaminya suka manggil bapak ”Boooooos!’… itu”, kata istriku sambil terkekeh.
Aku pun juga ikutan terkekeh, teringat dengan preman-preman daerah perumahan kami yang kalo bahasa halusnya ”mandor”. Rata-rata mereka berambut gondrong, topi yang berbau-bau tentara yang mungkin beli di pasar Senen kali dan rata-rata namanya aneh aneh seperti mandor Coret, mador Babat, mandor Sobek dan lain-lain. Pokoknya nama dan mukanya serem atau di seram-seram.
”Lhah bu, jadi si mpok Eni kawin lagi gitu?”, tanyaku heran.
”Bukan paaak, itu adiknya yang nikah.”, jawab istriku lagi.
”Lha kok yang ngundang kakaknya? Bukan orang tuanya”, kataku tambah binggung.
”loh bapak gimana, emang lupa 2 bulan yang lalu mpok Eni ngundang sunatan?”, tanya istriku.
”iya, inget. Knapa memangnya bu?”, kataku tambah heran.
”Kmaren dia untung 7 juta dari sumbangan sunatan. Nah, sekarang dia mo bikin ’proyek’ lagi pak, kawinan adiknya”, katanya sambil menahan senyum.
”Denger dari si Imah, mpok Eni dan suaminya udah minjem 25 juta buat pesta kawinannya adiknya.”, tambah istriku dengan senyum yang misterius.
”Modal gede dong buk”, kataku ikutan menahan senyum.
Kami jadi tertawa bareng, aneh-aneh saja, acara kondangan bukannya sebagai acara wujud syukur dan sedekah agar yang punya hajat dilimpahin rejeki dan kemurahan dari Tuhan malah dijadikan ajang ’proyek’ nyari duit.
”Jadi bapak mau datang?”, tanya istriku lagi.
”nggak lah, nitip amplop aja ama Imah”, jawabku.
……………..
Satu bulan kemudian, waktu aku baru duduk di kursi yang sama, di depan komputer sambil mencopot kaos kakiku. Istriku datang dengan segelas air putih dingin untuk menghilangkan haus sekaligus membuang ’setan’ bawaan dari luar rumah katanya.
”Pak, si Imah barusan cerita. Mpok Eni pinsan kemarin habis pesta”, ceritanya.
”Loh knapa buk? Kecape’an?”, tanyaku heran.
”Nggak tahu tuh, ntar panggil Imah dulu di depan”, kata istriku sambil berjalan ke kios londri memanggil si Imah, keponakan mpok Eni yang menggantikannya sebagai tukang setrika di londri istriku.
Oh ya, almarhum bapak dan ibuku sering mengajarkanku sewaktu kecil untuk berusaha perhatian dan empati kepada orang lain yang kesusahan. Kalaupun tidak mampu memberi bantuan materi, setidaknya perhatian dengan kata-kata yang sopan dan tulus seperti:
”Waduh, turut prihatin, semoga tetap sabar yah!”.
Nah, kata-kata itulah yang aku jadikan standar dalam mengunjungi rekan yang kena musibah baik keluarganya ada yang meninggal, kecelakaan, sakit atau yang lainnnya. Dan sore ini, rencananya aku akan mengucapkan kata yang sama, wujud perhatian kami kepada keluarga mpok Eni melalui Imah.
”Jadi gimana ceritanya Imah?”, tanyaku berwibawa.
Aku dan istriku duduk dengan penuh perhatian, alis di kerutkan sedikit biar kesan serius semakin tampak.
”Begini pak, sehabis acara nikahan kan pada kumpul tuh.”, kata Imah memulai.
”Trus?”, tanyaku.
”Nah, kotak tromol mulai dibuka dan di keluarin amplopnya”, lanjutnya.
”Trus?”, kata istriku makin penasaran.
”Karena lama, mpok Eni keluar dan ngambil cemilan buat yang pada ngitung uang amlop, pas mpok lagi di dapur ngambil camilan tiba-tiba serumah geger.”, kata Imah lagi.
”Geger kenapa?”, tanyaku juga penasaran.
”Ternyata waktu mpok Eni mendekati kerumunan orang yang baru ngitung amplop dia melihat bang Coret pinsan, trus mpok tanya sambil panik kenapa suaminya pinsan.”, sambung Imah.
Aku mulai menahan tawa, aku lirik istriku juga menutup mulut sambil terlihat menahan tawa.
”Kata orang-orang bang Coret pinsan gara-gara uang yang kumpul cuman 15 juta. Eee… mpok denger gitu juga malah ikutan pinsan”, cerocos Imah.
Sumpah, akhirnya kami benar-benar tidak bisa menahan tawa. Tidak terbayang wajah bang Coret, mandor yang gondrong, bertatto dan beranting itu pinsan. Apakah wajahnya masih garang diwaktu pinsannya yah? Heheheh
Dan istriku pasti tidak bisa membayangkan bagaimana pusingnya mpok Eni mengetahui ’proyek’ nya rugi 10 juta, dan itu uang hutang semua…
Sambil terus menahan saya, sesuai niat awal waktu memanggil Imah saya berucap:
”hahahah, turut prihatin ya Imah, semoga tetap sabar yah! hahahah”.
Anehnya, si Imah ikutan tertawa.
[Jakarta, 18 Maret 2010]
Diposting juga di KOMPASIANA
Tidak ada komentar
Posting Komentar