Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Susahnya Miskin, Sengsaranya Kaya

Minggu, 11 Juli 2010




Jati tampak gagah sekali saat turun dari mobilnya, sebuah mobil Mercy Tiger-nya tampak makin memancarkan aura pesonanya di pelataran kampus UGM ini.

“Mas Jati…” Sapa gadis manis berkulit putih dengan manjanya.
‘Hai dewi, sendirian aja neh?’.
“Iya, makanya temenin dong ke perpus sebentar”
‘Aduh, aku lg mo ketemu Djarak neh, pinjem catetannya sebentar’
Dewi diem saja, cemberut dgn penolakan halus Djati.

Tak jauh darinya, tampak sahabatnya Djarak, pemuda berkulita sawo matang asli Sleman tampak menunggu di samping sepeda onthel hijau lumutnya. Tak lama Jati bertemu dengan Djarak.
“Piye Rak, wes dadi tugas e?” (Gimana Rak, udah kelar tugasnya?)
‘Wes, ndhi Djisamsoe ne?’
“Iki…” Jati menyodorkan 2 bungkus kretek sebagai ongkos kemalasannya.

Simbiosis mutualisme

Maklum, malam nya Djati lagi ada perlu dengan Tyas, si gadis manis bertubuh langsing di kawasan Kaliurang. Puncak Cipanasnya Yogja. Keperluan yang tidak jelas, sama dengan tidak jelasnya dengan kedua wajah manusia itu saat mengatar Tyas pulang ke kontrakannya, tepat setengah jam sebelum adzan subuh berkumandang.



Djarak menjatuhkan tubuhnya di bangku bambu depan rumahnya. Rumah yg masih bertembok gedhek bambu yang dicat dengan kapur putih agar tampak lebih terang. Sebatang kretek dinyalakan. Pfff… Nikmat sekali tampaknya. Djarak masih terbayang transaksi seharian sambil menghitung pendapatannya, ada 2 bungkus kretek dan beberapa lembar uang yang jumlahnya cukup buat biaya kuliahnya bulan ini. Lumayan bathinnya. Hanya bermodal folio beberapa lembar serta mengatur posisi duduk agar bisa membagi jawaban ke Jati saat beruntun 3 mata kuliah ujian bersamaan harinya.

Djarak sedikit memendam iri kepada Jati. Walau tidak sampai menimbulkan benci. Djati memang beruntung fikirnya, sebagai anak juragan pabrik gula di Klaten, Jati tidak pernah kekurangan sedari kecil. Ke kampuspun naik Mercy Tiger, yang membuat dirinya tampak populer diantara gadis-gadis dikampusnya, termasuk Anis, gadis yang ditaksirnya.

Sedangkan aku, bathin Djarak, hanya anak buruh tani yang ke kampus mesti genjot sepeda. yang mesti membawa gembes air biar tidak perlu beli minum kalo haus. Kuliahpun demi mewujudkan mimpi orang tua yg pengen anaknya bisa jadi ‘wong’ atau ‘orang’ besar kalo sudah selesai kuliah. Itu saja dengan dana iuran keluarga yang pastilah tidak mencukupi. Untung saja banyak Jati-Jati di kampus yang pintar tapi pemalas. Dari merekalah Djarak belajar membantu menguruskan segala sesuatu, dari bikin tugas, daftar ulang, nitip bayar SPP sampai nyontekin ujian. Tentu saja bantuan dengan ongkos yang sepadan.

Kapok!. Aku kapok miskin!, bathinn Djarak dalam hati.

….

Jati menenggak air berbuih di gelas besar itu. Disampingnya beberapa wanita berbaju mini duduk disampingnya. Musik yg keras menembus dada di sebuah diskotik yg terkenal di sekitaran Jln Gajahmada Jakarta. Djati pusing dan gelisah. Berharap air alkohol itu mampu menenggelamkan gelisahnya. Ternyata tidak. Kepalanya makin pusing, berputar-putar seperti kilatan lampu diskotik yang memantul di kepalanya yang kini sudah botak. Jati mecoba merogoh saku celananya. Tampak sekali dia kesulitan karena tubuhnya yang makin gendut membuatnya kerepotan. Walaupun hanya sekedar menganbil handphone saja. Akhirnya Jati memencet tombol di HP nya, mencoba mengirim SMS.

[Wah, kamu sudah hebat sekarang. Udah jd pejabat tho. Kaget aku iki. Aku pengen ketemu kamu. Kangen mengenang masa kuliah dulu. Besok bisa ketemu?]

{Ah mosok, kowe juga makin maju. Wetengmu. Hahahaha. Iso, besok kita ketemu di Ikan Bakar depan POM bensin Tanah Abang 2. Ngerti tho?}

[Ngerti, pas makan siang ya. yo wes sesuk tak tunggu]

{OK}

…..

Djarak masih menatap layar HP nya. Padahal sudah setengah menit lewat saat dia menekan tombol hijau tanda dia sudah jadi mengirim balasan SMS tersebut. Terbayang wajah sahabat lamanya yang tak sengaja bertemu saat demo di bank berengsek itu di depan Istana Negara. Bank yang bangkut, yang katanya terkena efek krisis global Amerika, tapi banyak juga yang bilang itu untuk dana kampanye partai tertentu. Bank itu telah menghilangkan uang 1 milyar dari 3 milyar uang tabungannya. Uang yg dikumpulkan dari hasil bantuannya mengurus perijinan segala proyek dikantor plat merah tempat dia menjabat. Yang sebenarnya sebagai bekal pensiun dia kelak.

Djarak mendenguskan nafasnya. Sampai istrinya yang tidur-tiduran disampingnya terkaget.

‘Knapa Pah?’
“Enggak”
’Kepikiran Jati apa duitmu?’
’Makanya mas, kalo kita memang nggak bakat bisnis, simpen aja duitnya jadi emas-emasan. Kan bisa berhias sambil menabung’.. gerutu istrinya.

”Tapi kan Mah, natar kalo kerampokan atau kemalingan gimana?” jawab Djarak membela diri.

’Ya mending kerampokan atau kemalingan Pahs, ilangnya keliatan. Ada tanda-tanda pintu pintu ama jendela dicongkel, bisa teriak ’maling’ ama lapor polisi lagi.’ Jawab istrinya menimpali.

’Lha ini? Ilang nya gak jelas, mau-maunya aja papah mindahin ke bisnis simpanan apa itu yang boga-boga kayak jualan tepung aja. Katanya bunga tinggilah, cepat balik modal lah…. emang seberapa cantik seh sales bank nya kok sampai kerayu 1 M gitu’, cerocos tambahan istrinya.

Djarak terdiam. Sebel tapi setuju sekaligus menyesali tidak mendengarkan feeling istrinya dulu.

Nguuuuing,

suara nyamuk berterbangan di atas kasur.
”Menganggu saja”, bathin jarak sambil melihat lihat sekeliling.
Matanya berhenti berkeliling saat matanya bertubrukan dengan sebuah raket nyamuk yang pakai baterai cas-casan itu.

TEESS!

Satu sabetan mengenai nyamuk. Mati dengan asap kecil menguap. Sedikit bau gosong tercium.

…..

Jati agak terlambat sampai di warung ikan bakar. Djarak tidak kesal, sudah hapal tabiat jam karet sahabat lamanya yg kini sama-sama sudah tua. Djarak tersenyum melihat rambut Jati yang botak dan sedikit buncit, tapi sisa-sisa kekekaran badannya sewaktu masih muda terlihat. Dan Djarak sendiri tampak melirik rambutnya sendiri yang mulai beruban dari kaca wastafel. Kata orang itu pertanda orang tersebut mulai alim, karena sudah mulai meninggalkan dunia hitam katanya. Hehehehe

Karena telat, terpaksa merka duduk di meja dgn bergabung dengan orang banyak. Jati dan Djarak pun mulai berbincang bincang dengan seru, dari yg sepele sampai yang serius. Dari urusan kerjaan sampai rumah tangga.

“Djat, masih mainin cewek juga to? Udah tua Djat..”
‘Sebenarnya sejak aku nikah dengan Dewi aku sudah stop’
“Hah? Dewi? Dewi kembang kampus itu Djat? Wah hebaaat”
‘Iya, Dewi yang kamu maksud itu. Tapi begitulah perempuan Rak, makin tua, makin hilang cantiknya tapi malah nambah sombongnya’
“Waduh trus knapa mulai lagi?
’Penyakit cemburunya makin tua makin jadi, hobinya nuduh nggak jelas. Sampai kena tensi tinggi lalu puncaknya kena stroke beberapa tahun lalu’, ujur Djarak dengan nada memelas.
”Lha trus?”
’Itulah Rak, dewi sudah tidak mampu ngelayani aku lagi. Sempat pengen nikah lagi tapi takut malah stroke nya nambah, kasian kalo strokenya nanti malah jadi kanan-kiri lagi’ tambahnya.

Djarak tertawa terkekeh, membayangkn wajah merot lengkap kanan kiri .

’Ya amannya jajan ajalah, toh masyarakat kita lebih menerima pria keluar malam asal tetap pulang daripada kawin lagi. Yah, model ambil isinya balikin botolnya ngono Rak. Jangan sampai kayak Ustad dari Bandung itu lagi, katanya bisnisnya jadi hancur gara-gara kawin lagi’, lanjut Djati lagi..

Djarak mengangguk angguk. Nggak jelas setuju atau tidak.

’Lha gimana bisnismu Rak? Jadi bikin usaha kayak cita-citamu pas lulus kuliah dulu?’ Tanya Djati tiba-tiba.
”Nggak punya Jat, Dulu mau mulai gak punya modal. Sekarang punya modal, tetep aja nggak berani. Takut. Kebanyakan mikir malah nggak jalan-jalan” keluh Djarak.
”Ya akhirnya cari yang aku pikir aman, masukin ke bank, ambil deposito.”
’trus kamu di rayu mindah tabungan ke reksadana brengsek itu ya?’ selidik Djati memastikan.
”Iyo, Sak M je ilange….”, tunduk Djarak dalam-dalam.

Terbayang perjuangannya keluar dari lingkaran kemiskinan. Saat-saat dulu dimana bapaknya tidak sanggup diobati di rumah sakit sampai meninggal, saat-saat ibunya hampir tiap hari didatangi tukang kredit dari renternir pasar…

’Wes rak, masih ada 2 M lagi kan? Sama kok denganku, ada kali 5 M lebih uangku ludes nggak bisa diambil di reksadana sialan itu’, gerutu Djati.

”Aku sendiri heran, aku yang pedagang dan pengusaha gini kok bisa-bisanya ketipu ama mulut manis marketing bank itu agar memindahkan tabungan ke reksadana, ck…ck…ck”, keluh Jati menyalahkan diri sendiri.

Djarak sambil tersenyum dan matanya berkaca-kaca, nggak sangka, ternyata cita-citanya sudah terkabul. Djarak sudah satu level dengan Jati. Sama-sama tinggal punya uang 2 Milyar saja di tabungan. Lewat sudah masa miskin pikirnya menyadari.

Djarak dan Jati terdiam bersama. Pikirannya melayang sendiri-sendiri.

Sampai tidak sadar sedari tadi ada orang lain yang duduk sendirian di meja panjang warung itu yang sedari tadi mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Seseorang dengan potongan rambut pendek dgn berjaket kulit coklat. Sambil-senyam senyum atau berubah muka sendirian mengikuti alur perbicangan mereka berdua sambil kebal-kebul dengan rokok kreteknya.

’Oh maaf dik jadi menganggu acara makannya’
”nggak kok pak, malah seneng denger ceritanya”

’kok seneng, kami kan lagi susah kehilangan uang milyaran ini’, kata pak Djati bercanda.

”iya, tapi kan bapak jadi ketemu sahabat lama pak, dalam kondisi yang… hmm… saya nggak ngerti ini susah apa senang. Katanya kehilangan duit, tapi masih kok punya simpanan miliaran, gak seperti saya yang rekening bank cuman buat lewat bayar cicilan rumah ama mobil saja. Hehehhehe.” jawabnya sambil terkekeh.

”Denger denger banyak yang bunuh diri lo pak gara-gara uangnya hilang kayak bapak. Kayak di Jambi itu tuh sampai melompat dari gedung, trus ada ibu-ibu yang kayak jadi gila joget-joget di sidang pansus DPR. Lha ini bapak berdua malah bisa nostalgia sambil makan ikan bakar berdua. enak bangeeet. Jarang-jarang lo pak….”, imbuhnya sok tahu.

’Iya yah’, jawab pak Djati terkekeh yang dibarengi anggukan bapak yang beruban disebelahnya.

”Inilah dik, bangsa kita ini aneh, orang miskin dan orang kaya sama-sama jadi masalah. Jadi orang miskin susah, gak ada fasilitas. Kalo kaya, cuman di batasi tabungannya cuman sampai 2 Milyar. Selebihnya keamanan tidak dijamin. Padahal dulu digembar-gemborin supaya menabung sampai dibikin lagu. Gimana tuh”, kata pak Djarak menimpali sambil mencoba menirukan sebuah lagu anak-anak yang mengajari menabung, yang nanti tahu-tahu dapat untung..

….

”oh ya dik, dari tadi ngobrol saja, sampai nggak sempat kenalan. Jadi sampai saya belum tahu namanya, saya ini Djarak dan ini pak Jati sahabat lama saya waktu susah dan kuliah di Jogja dik”, katanya dengan ramah sambil mengulurkan tangannya.

Disambutnya uluran tangan itu dengan jabatan tangan yang erat sambil menjawab dengan senyuman hangat:

…Srondol, pak!…

[Jakarta, 15 Februari 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Tidak ada komentar

Don't Miss