Responsive Ad Slot

Latest

Sports

Gossip

Covered

Total ”Singkong” Football

Senin, 12 Juli 2010


“Bola?!”, tanya Jujuk memastikan.
“Sudah!”, jawab Maming mantap
”Korek jres (kayu)?!”, aku juga bertanya memastikan.
”Sudah semua, minyak tanah dan koran bekas juga sudah!”, jawab Ome memastikan.
”Ok, Sip. Ayo berangkat!”, seruku mengajak.
”Jangan lupa bakar-bakar habis main bola”, Ajiz mengingatkan.
”Bereeees!”, jawab Keyong senang.

Dan kamipun berjalan bersama-sama menuju lapangan Tela-Telo dengan tentengan bola yang sudah nglotok kulitnya. Tidak ada satupun yang memakai sepatu. Jaman kami SD dulu, cekeran (tanpa alas kaki) adalah suatu yang biasa, malah yang pakai sepatu sepak bola mesti melepas sepatu kalau bermain di lapangan kebanggan kami, karena kami takut kalau sampai malah kami yang ber-cekeran keinjek sepatu sepak bola itu.

Sekitar 20 menit sampailah kami di Lapangan ”Tela-Telo”. Lapangan ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari gang rumah kami. Cuman berhubung ada sungai berjurang di belakang gang kami, terpaksalah kami mesti berputar dan menerabas hamparan pohon singkong untuk mencapai lapangan Tela-Telo.
Lapangan ini sebenarnya sangat sederhana sekali, cuman hamparan tanah kosong tanpa rumput dan tanpa garis. Yang ada hanyalah 2 buat tiang gawang dan 1 menara listrik SUTET yang berdiri tepat di samping luar lapangan. 

Namun, dibalik kesederhanaaannya, banyak kegiatan yang dilakukan dilapangan ini, apalagi pas acara HUT RI atau 17-an. Pasti ramai sekali. Penonton banyak berdiri tepat digaris pinggir lapangan, bahkan ada yang memanjat tiang SUTET. Ini sama sekali tidak mengikuti standar FIFA, AFC bahkan PSSI, tapi sudahlah… yang penting untuk kebahagiaan warga sekitar kami, ini sudah melebihi standar.

……….

”Panas yah”, keluh Kokok.
”Iyalah, berdebu lagi”, tambah Onggo.
”Kemana anak-anak komplek Saninten?”, tanyaku keheranan.
”Iya lama banget”, jawab Ajiz.
”padahal saat janjian disekolah bilangnya kumpul jam 4”, tambahnya.
Lama kami menunggu. Lebih dari setengah jam lewat anak-anak Saninten yang jadi lawan tanding kami belum datang. Lalu Jujuk berinisiatif memanjat tiang tower SUTET.
”Cah Saninten wes ketok (kelihatan)?!”, tanyaku dari bawah keras-keras.
”Belooom!”, jawab Jujuk dari atas tower.
”Pak Tani?!!”, teriak Onggo.
”Gak Adaaa!!!”, jawab Jujuk lagi.

Dan kamipun saling berpandangan penuh arti dan saling tersenyum simpul. Tanpa ada yang meng-komando, kami pun bubar bareng. Berlarian di sela-sela rimbun kebon Singkong.

……

Beberapa saat kemudian kamipun kembali ke lapangan. Disana ternyata sudah berkumpul anak Saninten yang kebingungan karena cuman 1 orang Komplek Kruing yang ada dilapangan.

”darimana sih?”, tanya Dani binggung melihat kami tergopoh-gopoh dan ngos-ngosan.
”anu… e,… habis ’operasi’!!”, jawabku ngos-ngosan.
“operasi apaan?”, tanya anak Saninten lain keheranan.
”Wes to, rahasia, gak usah tanya-tanya!”, timpal Ome kesal.
“ya sudah kalo rahasia-rahasiaan begitu, ayo buruan bal-balannya!”, tegas Dani.
“AYO!”, seru kami bersama.

Jadilah sore itu pertandingan kami. Kami yang masih SD berlarian kesana kemari, sepakbola tanpa strategi apalagi formasi. Model grudukan gitulah. Yang ada cuman pembagian posisi. Cuman Kiper, Bek dan lainnya menyerang. Dimana bola berada, disitu kami bergerombol mengejar. Pokoknya kejar, kejar dan kejar.

Inilah yang mungkin disebut sepakbola model Total Football. Dan kalau dipikir-pikir, wajarlah kalau model sepakbola total football versi ’grudukan’ sangat populer di kampung kami bahkan kampung-kampung lain di Indonesia, bisa jadi ini salah satu warisan bangsa Belanda setelah menjajah lebih dari 350 tahun di bumi Nusantara.

…..

”Payah kipernya!”, kata Ajiz
”Enak aja! Kamu yang nyerang yang goblok! Bola depan gawang malah mletho (mleset)”, jawabku gak mau kalah.
”Bek-nya juga payah! Diserang malah maju, pas pada maju malah mundur!”, kata  Maming.
”Loh Bek-nya siapa?” tanya Keyong binggung karena di tunjuk Maming.
”Ya kamulah!”, kata Maming.
”Loh kok aku yah?, perasaan aku tadi disuruh jadi Bek deh”, kata Keyong kebingungan dengan mimik clingak-clinguk.
”Guldulmu, ya emang Bek! Dibelakang berdirinya Yong! Hahaha ”, tawa Maming mendengar jawaban polos Keyong.
”Keyong lupa Bek itu apa gara-gara Singkong cabutannya kecil-kecil kali!”, tambah Ome
Kamipun tertawa terbahak-bahak mendengan celetukan Ome.

Memang benar, saat kami kelamaan menunggu kedatangan anak-anak Saninten, kami langsung bergerak sesuai rencana. Apabila tidak ada pak Tani, kami akan mencabut beberapa pohon singkong. Lalu ubi singkongnya akan kami sembunyikan dahulu sampai sepak bola selesai. Nah, barulah setelah itu kami akan membakar singkong tersebut. Tentu saja memakai kayu kering dengan dibantu minyak tanah dan korek kayu yang memang di persiapkan sebelum berangkat tadi.

Kebetulan, memang saat ’operasi pencabutan singkong’ tersebut, singkong cabutan Keyonglah yang paling kecil-kecil. Hahahahah.

Tak lama, Ome datang sambil menenteng beberapa bakaran singkong kami yang sudah matang. Bau singkong tersebut sangat harum, dan ketika di belah…. waaaaah… Putih sekali singkongnya. Empuk dengan uap yang tampak menyelimuti menyelimuti singkong panas itu. Sedaaaap!
Kami pun akhirnya lahap menikmati singkong panas bersama-sama, walau tangan dan mulut jadi hitam terkena arang kulit singkong, kami tetap senang bahkan kekalahan telak 4-1 dari anak Saninten sudah tidak teringat lagi. Yang teringat cuman satu. Singkong bakar!.


….


Aku juga teringat sekitar 8 tahun lalu, saat itu saat kegilaan sepak bola sedang membara-baranya di hati kami. Aku sempat bertemu dengan temani-teman lama waktu SD yang pengen melanjutkan hobbi sepakbola kami ini. Akupun sependapat, bahkan aku berfikir lebih gila lagi. Aku pengen membuat klub sepak bola sendiri yang serius. Klub sepak bola yang mandiri dan profesional di Semarang ini. Klub yang lebih besar dari PSIS Semarang bahkan AC Milan Italy.


“Wah, gendeng rencanamu, emang darimana biayanya?”, tanya Ome diteras rumah Ajiz.
“Gendeng kuwi!”, timpal Ajiz dengan mata terbelakak semangat. 
“Gini, sebenarnya kita mesti di mulai dari pikiran kita sendiri”, jawabku memulai.
“Pikiran itu selalu mendahului gerakan, Kalau kita berfikir kita bisa, pasti bisa!”, kataku semangat.
“Nanti kita mulai dari paling bawah, kita bikin team yang pemainnya anak-anak kampung kita. Nanti aku yang modali pertama kali buat kaosnya dan sewa lapangan Srondol dan Tela Telo”, tambahku.
Ome dan Ajiz tampak saling bertatapan dan tersenyum senang.

“Nanti kita tiru klub sepak bola luar negeri, dimana sepak bola itu bukan sekedar olah-raga, tapi sepak bola itu ‘industri’ yang luar biasa besarnya. Tidak jauh beda dengan industri pabrik elektronik maupun pabrik makanan”, tambahku mengingatkan.


“Nah, untuk klub kita, kita mesti cari pemain dari masing masih kapling, anak Kruing, Jati, Saninten, Damar, Rasamala dan lainnya kita kumpulkan. Jadikan 1 team. Lalu kita coba latih tanding yg beneran. Tapi ingat, mesti profesional, setidaknya seragam dan pakai sepatu!”


“Nanti kita bangkitkan fanatisme lokal, kita bikin stiker yang kita jualin ke masing-masing tetangga pemain kita yang tersebar ini. Ya itung-itung bentuk dukungan lah buat wakil wilayahnya. Nah, untungnya kita buat sewa lapangan dan lainnya termasuk ikut kompetisi Tarkam (antar kampung). Sapa tahu kita bisa sering main dan populer, kan nanti bisa berkembang pendukungnya, tentu saja merchandisenya kita buat yang lebih bervariasi. Bila perlu sewa kios kecil khusus jual merchandise.”


“Nah, bila perlu, kita bikin radio khusus sepakbola, isinya berita sepak bola, lagu dan iklan saja”. Tegasku.


Ajiz dan Ome tampak makin semagat, dan mereka sempat bertanya.


“Kan ijin radio mahal? 150 jt an loh”, kata Ome.
“Ya radio gelap dululaaah, banyak kok yang jual rangkaiannya kok, siarannya area kita saja dulu. Yang penting ‘keberadaan’ kita di ketahui. Kita bangkitakan kebanggan warga kita.”, jawabku.
“Nanti kalo bisa besar, dan punya stasiun radio atau Tv sendiri, yang seponsorin kita gak bakal rugi, karena produknya di siarin lewat radio. Gituu”, jelasku.
“Bila perlu, kita bikin stadion sepakbola sendiri, lengkap dengan sekolah sepakbola yang ada sekolah umumnya, trus ada asramanya. Mirip pesantran gitulah. Cuman ngajinya sepak bola aja”, kataku bermimpi

“Waaaah…, kereeeen “, perangah Ome dan Ajiz. Ikutan terbawa pikiranku.
“Kamu mau dukung?”, tanyaku menyelidik.
“100 persen dukung!”, jawab Ome. 
“Yo wis, aku 1000 persen dukung juga”. Kata Ajiz gak mau kalah.


Kemudian jadilah kaos yang aku pesan buat Gurkha FC, nama klub kami di sekitaran Perumnas, Sondol dan Banyumanik. Nama ini buatan Ome, yang diambil dr nama pasukan gabungan Inggris yang kata Ome agar team kita walau dari berbagai wilayah berbeda namun tetap solid.


Aku sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan nama itu, aku sebenarnya pengen dinamakan CASSAVA FC, lebih ng-inggris dan mencerminkan lapangan Tela-Telo kami yang di kelilingi kebun Singkong. Tapi sudahlah, aku lebih menghormati ide Ome yang aku tahu sedang bersemangat, dan nama Gurkha adalah simbol semangat sepakbolannya Ome yang Militan.


Oh ya, kaos klub kami berwarna oranye tua, warna yang aku ambil dari kostum timnas Belanda, yang mewariskan gaya sepakbola total football kepada kami di lapangan penuh singkong itu.


Dengan kaos baru itu, kami pun mulai berlatih rutin dan sesekali melakukan pertandingan persahabatan dengan team lokal disekitar wilayah kami. Benar-benar langkah awal yang sangat menyenangkan





Namun entah kenapa, tim kami pelan-pelan memundur. Beberapa pemainnya sudah menikah dan tidak lagi bergabung di tim.


Kadang aku berpikir, apa gara-gara dulu suka mencuri singkong di lapangan Tela-Telo jadi pak Tani marah dan terzolimi sehingga mengutuk kami diam-diam dalam hati sehingga cita-cita kami di Gurkha FC kandaas.


Entahlah, kalaupun iya, semoga sekarang sudah impas. No hurt feeling lagi ya pak Tani….

………

Aku menatap monitor PC di meja kantorku. Aku buka peta satelit di situs wikimapia. Aku terharu dengan tulisan “lapangan Telo” yang dibuat oleh entah siapa. Namanya sedikit berubah, berkurang kata “Tela”-nya. Dan, ow-ow! Kebun ‘telo’ (singkong) itu sudah benar-benar tidak ada. Bahkan tiang SUTET nya pun sudah menghilang juga. Semua sudah berganti menjadi komplek perumahan elit Taman Setyabudi.
Aku hanya berdoa, semoga menghilangnya kebon ‘telo’ itu tidak menghilangkan pikiran kami membentuk tim mandiri dan profesional yang lahir dan besar dari Semarang.

Yang semoga lebih besar dari AC Milan maupun MU Inggris.

[Jakarta, 11 Maret 2010]

Diposting juga di KOMPASIANA

Tidak ada komentar

Don't Miss