Tentang "Kosakata Kehidupan" untuk Anak
Jumat, 27 Maret 2015
Pernah suatu hari, Thole pulang sekolah dan mengucapkan kata yang tidak pantas diucapkan anak seusianya. Sepertinya ia mulai tercemar oleh pergaulan barunya.
Kami marah besar, kursi putih yang sudah lama tidak terpakai untuk menghukumnya. Kembali dikeluarkan dari gudang.
Kali ini, kami tidak hukum dengan menyuruhnya duduk diam di kursi hingga berjam-jam.
Namun saat itu, kami beri Thole beberapa buah buku tebal. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris Indonesia hingga beberapa buku eksikopeldi.
Dengan suara tinggi dan menggelegar, kami bilang "Baca! Ada milyaran kata di kamus itu. Kenapa kamu pilih kata jorok seperti itu. Bapak maraaaaah!"
Thole tampak menggigil ketakutan dan membolak-balik buku sambil berlinang airmata.
Saya tahu, ini situasi yang sangat mencekam dan akan selalu terkenang sepanjang umurnya.
Itu terbukti, sampai saat ini pun, ia lebih suka menyebut "guk-guk" untuk menyebut salah satu binatang, walau kami bisa mentolerir menyebut nama aslinya jika merujuk ke benda sebenarnya. Bukan sebuah makian.
Lalu kini, ketika ada seseorang dengan jabatan gubernur dengan ringannya memakai kata-kata makian dalam acara TV yang sangat terbuka.
Walau dengan dalih menentang "kemunafikan", bagi kami--itu juga sebuah kemunafikan.
Hati dan pikiran yang kotor tercemin dari mulutnya. Saya sangat yakin, jika posisi dibalik dengan lawan politiknya--hasilnya pasti sama saja. Bahkan mungkin jauh lebih parah.
Terserah jika si gubernur lungsuran tersebut bangga dengan segala macam kosakata makiannya. Atau bahkan jika ia merasa yang dilakukannya adalah revolusioner.
Aturan keluarga kami tetap tidak berubah.
Jabatan gubernur itu sangat ecek-ecek untuk keluarga kami. Ada sebuah amanah yang jauh lebih berat dan besar, yaitu menjadi seorang "bapak" ketika ia dilahirkan.
Selamat sore, selamat beristirahat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar