Ya, kali ini harus berani memberikan nilai 10 (satu nol koma nol nol), seperti hal-nya guru SD saya dulu juga berani memberi angka serupa di STTB saya untuk mata pelajaran sejarah.
Hampir semua sisi film ini sulit mencari celah kekurangannya. Dari cerita, teknik sinematografi, pemain, setting film, wardrop dan lain sebagainya.
Bayangkan saja, baru kali ini saya menonton film yang sepanjang pemutarannya membuat mata saya tergenang-genang sekaligus bibir tersenyum geli.
Saya rasa, penonton lain yang memadari studio malam itu (28/4/2017) pun merasakan hal yang sama. terbukti sayup-sayup terdengar suara cekikikan halus. Filsafat dasar budaya minang "SHOLAT, SHOLAWAT dan SILAT" mampu di urai dengan sederhana namun tepat esensi.
Ada kutipan yang langsung membuat saya terdiam. Seakan menjawab pertanyaan panjang perihal berbagai macam aliran beladiri yang pernah saya pelajari.
Benar, "Lahir Silat mencari kawan, Bathin silat mencari Tuhan". Tidaklah perlu mencari jenis beladiri apa yang terbaik, jikalau hanya beladiri yang dipelajari hanya menjadi alat pembunuh tanpa pembentukan karakter diri dan bathiniah untuk semakin dekat kepada sang Pencipta.
Kemudian, para pemeran ciliknya pun diluar dugaan, bermain apik--sangat apik malah. Dengan gaya yang natural dan tidak lebay. baju yang dipakai pun khas anak-anak. Tidak terlihat kaos baru ala acara televisi. Bahkan sosok Adil, Kurip, Dayat dan Rani tampak hidup dan hampir-hampir menenggelamkan nama besar para pemeran dewasanya. Entah bagaimana dulu audisinya.
Sisi sinematrogafi, walau minim animasi -- penggunaan alat-alat juga pas. tidak over. Kamera-kamera utama maupun drone juga mampu mencapture keindahan alam Minang yang asli. Color grading yang sangat pas pas pas! Lighting tidak kebanting.
Bahkan rumah-rumah Minang tua dan baru tampak asri dan teduh. Sound engineeringnya juga hebat. Suara hembusan angin, langkah kaki hingga percikan air mengalir serta dialog berbahasa minangnya semakin membuat saya serasa bener-benar merasa sedang berada di daerah ini.
Film selesai pun, bukan berarti usai sudah diskusi. Anak kami pun langsung memberi sebuah pertanyaan yang tepat ke jantung ibuknya, "Ibuk termasuk 'merantau cino' nggak?". Ya, tersebut istilah 'merantau cino' dalam film ini. Istilah merujuk kepada orang minang yang merantau tapi tak pernah pulang-pulang.
Ibuknya terdiam. Akhirnya bapaknya yang membantu jawab. "Tidak, mas. Biar bapakmu Jawa, tapi kelak bapak pun siap menemani jika memang Ibuk harus kembali ke Minang dimasa tua. Bapak juga Ikhlas kalau kamu dididik dengan cara Minang seperti ini."
Selamat menonton.
Hazmi Srondol
Tidak ada komentar
Posting Komentar