Mendadak saya blingsatan di waktu sepertiga malam saat menyadari ada benda penting hilang dari tempatnya. Seluruh isi jeroan tas ransel sampai saya keluarkan isinya untuk memastikan keberadaan benda yang sudah sembilan bulan ini menemani.
“Buku notesku, buk” jawabku dengan menyisakan ekspresi kepanikan saat istriku menanyakan apa yang sedang aku cari-cari ini.
Ya, buku notes ku ini bukan bermerk Moleskine yang legendaris itu. Bukuku hanya bermerek Kuramas yang seharga empat ribu rupiah. Hanya sekitar $0,3 dengan kurs rupiah hari ini.
Namun begitu, banyak sekali draft tulisan, jurnal, konsep video youtube hingga catatan perjalanan penting yang sudah tersimpan baik disana. Termasuk point-point wawancara terakhir (22/9/2015) dengan sutradara dan producer film 3 Dara di Cinema XXI, Djakarta Theater, Jakarta.
Oh ya, aku baru ingat. Memang sepertinya buku kecil itu tertinggal di Cinema XXI. Perasaan, terakhir aku mencorat-coret di buku itu saat ngobrol di ruangan merokok tersebut. Agak lega walau mood menulis hilang total gara-gara kejadian ini. Bahkan hingga menjelang adzan subuh berkumandang, hati masih tidak tenang.
Barulah beberapa saat kemudian, ketika hari sudah menjelang siang dan aku yakin Cinema XXI sudah buka, dalam perjalanan ke Lapas Sukamiskin, Bandung kutelefon gedung bioskop tersebut. Nomer yang kudapat dari hasil searching di google itu ternyata tepat.
Ada suara merdu dari customer service gedung yang mengabarkan bahwa bukuku masih ada dan disimpan baik oleh security disana. Alhamdulillah. Hilang satu kekhawatiran. Hanya saja, mbak CS memintaku untuk datang sebelum gedung bioskop tutup.
Hal itulah yang akhirnya membuatku tergesa-gesa ketika bertamu di lapas Sukamiskin. Waktu itu, sempat waktu berkunjung sempat tertahan karena ada kegiatan relokasi tahanan Gayus dari Lapas Sukamiskin ke Gunung Sindur.
Sopir kantor yang paham dengan situasiku, langsung tancap gas—ngebut menuju ke Jakarta untuk menjemput buku ini. Alhamdulillah, saat jam tujuh malam, kami sudah sampai di Djakarta Theather. Ketika berada di lobby bioskop, satpam bernama bapak N segera mengkontak rekannya, bapak S yang berada di atas untuk menunjukan lokasi penyimpanannya.
Luar biasa, bukuku masih utuh dan tersimpan baik di ruang khusus Djakarta Theater. Pak S sempat cerita jika ketika menemukan buku ini dan sedikit membukanya, ia kaget karena ia tahu banyak catatan-catatan yang menurutnya menunjukan isi yang sangat penting. Ia sempat berkeliling dan berteriak-teriak ke awak media yang masih dilokasi. Menanyakan siapa pemiliknya.
Jujur, dalam hati terbersit rasa kagum atas perlakuan satpam gedung ini terhadap bukuku. Bayangkan, sekali lagi ini bukan buku notes bermerk Moleskine.
[caption id="attachment_1765" align="aligncenter" width="474"] Sketsa van Gogh di notes Moleskine (sumber: http://www.theguardian.com/lifeandstyle/competition/2013/may/12/win-van-gogh-sketchbook)[/caption]
Sebuah merk notes legendaris buatan Italy yang sudah banyak dipakai oleh para tersohor dunia. Dari sketsa lukisan Vincent van Gogh atau Pablo Picasso juga banyak dibuat di buku ini.
Kemudian ada penulis besar seperti Ernest Hemingway atau travel writer terkenal Bruce Chatwin juga selalu membawa buku catatan ini. Tidak puas? Coba cek beberapa scene film The Motorcycles Dairies, disana Che Guevara juga terlihat memakai Moleskine ini untuk catatan perjalanannya. Scene ini konon juga berasal dari kejadian nyata perjalanan Che saat mencari jatidiri dan pembentukan karakter revolusionernya.
Sempat saya terheran-heran. Bagaimana mungkin buku notes ini begitu mahal harganya. Sekitar Rp.300.000 an lebih. Mungkin karena bahan sampulnya dari kulit tertentu yang halus dan kuat, serta bahan kertasnya mempunyai standarisasi khusus. Sejenis kertas acid-free papaer yang aman untuk lingkungan dan nyaman kerika membuat sketsa atau tulisan.
Atau memang harga kertas luar negeri tidak semurah Indonesia yang merupakan salah satu sumber bahan pulp kertas dunia? Entahlah.
Berbeda sekali dengan bukuku yang sampulnya berupa sejenis karton tebal dan kualitas kertas apa adanya. Namun tetap ada kelebihannya, yaitu dengan sampul keras ini—membuat kita menjadi mudah dan nyaman ketika menulis pada halaman awa-awal walau pun sambil berdiri. Seakan-akan ada tatakan atau landasan menulisnya.
[caption id="attachment_1766" align="aligncenter" width="593"] Che Geuvara dan notes Moleskine-nya di film "The Motorcyles Diaries"[/caption]
Walau saja, saat pergi ke toko buku seperti Gramedia atau Toko Gunung Agung-- mata ini selalu terpaku ke lapak Moleskine. Ingin sekali memilikinya.
Sempat juga sih membeli versi bajakannya. Kalau tidak salah merk-nya front. Hanya saja, tetap ada rasa ketidaknyamanan dengan merk alternatif ini. Akhirnya, notes ini malah dipakai istriku untuk catatannya.
Untuk sementara, daripada membeli moleskine versi abal-abal, mendingan memakai notes buatan lokal. Toh ketika memakai yang biasa-biasa saja, satpam Cinema XXI juga masih memperlakukan dengan perlakuan istimewa.
Namun, bisa jadi—kalau memakai Moleskine, perlakuannya jadi istimewa kuadrat kali, ya? Hehehe…
[Hazmi Srondol]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar
Nggak kebayang emang kalau notes ketinggalan apalagi hilang. Saya pun masih rutin nyatat apa - apa di notes.
setres tingkat dewa, mbak. hehehhe
Allhamdulilah masih disimpan ya, ini isinya penting banget ya mas :) AKu pernah juga tertinggal belanjaan di Summarecon Allhamdulillah gak hilang
iya. senang sekali masih disimpan baik-baik.... oh pernah hilang juga catatannya di sumarecon? waaah....
ya ampun, baca postingan ini jadi tertarik juga buat koleksi moleskin, bang :)
oh ya, di era digital ini, saya juga selalu sedia notes di tas, gunanya kalo ketemu tokoh atau apa, bisa bikin draft wawancara
secara, kalo ngandelin gadget (hape) kadang suka lowbat di tengah jalan...
beli laah... biar ada sensasi sensiri. hahahah. kek Zippo gitu. sama-sama korek, kalau dibanding pakai criket atau tokai, tetep ada beda rasanya. hahahha
Posting Komentar