“Membuat konten komedi itu sulit”
Kurang lebih begitu kata beberapa kawan yang pernah mencoba membuat beberapa tulisan komedi yang serius. Serius artinya tidak membuat konten komedi yang asal-asalan. Komedi yang tidak garing,
slapstik atau hanya terasa lucu bagi pembuatnya saja.
Lebih sulit lagi jika hal-hal lucu yang dibuat adalah sesuatu yang baru. Konon, ada pameo yang mengatakan bahwa sesuatu yang lucu itu hanya terjadi sekali. Jika dipaksa diulang maka kelucuannya akan berkurang atau bahkan hilang sama-sekali.
Hal inilah yang kadang sering membuat saya ikut merasa deg-degan atau
nervous pada beberapa kegiatan yang berbau humor atau komedi ini. Padahal itu semua bukan karya saya sendiri. Contohnya saat menghadiri launching buku humor, menonton
stand up comedy. Termasuk saat datang di acara gala premiere film “
3 Dara” di Cinema XXI Djakarta Theather, Jakarta pada Senin malam, 21 September 2015 yang lalu.
Sport jantung ini dimulai dari judulnya yang agak mirip dengan film
“Tiga Dara” yang dibuat tahun 1956. Saat itu, film yang diperankan oleh Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak menjadi salah satu film hitam putih komedi Indonesia yang paling sukses dan legendaris. Boleh dibilang, mungkin ini satu-satu film komedi yang pemeran utamanya masih ada yang memakai kebaya.
Namun untunglah, ketika mencoba mencari informasi—ternyata film ini tidak ada kaitannya dengan film lama tersebut. Bukan pula
remake atau adaptasi ke era yang lebih kekinian.
Setelah agak aman dengan praduga awal, kembali selintas muncul satu pertanyaan saat membaca salah satu berita yang mengabarkan bahwa film ini bercerita tentang pria yang terkena kutukan. Kutukan agar bisa merasakan menjadi perempuan.
What?!
Apakah film ini juga saduran dari film
“Junior”? Film tahun 1994 yang diperankan oleh Arnold Schwarzenegger, Danny DeVito dan Emma Thompson yang berkisah tentang seorang pria yang bisa hamil?
“Wah, gawat. Ini mah film contekan!” kataku dalam hati saat itu.
Namun untunglah, ketika mulai menelusuri data-data tentang para kru dan tim kreatif film ini—semua kekhawatiran ini mulai hilang.
Dimulai dari penulis skenarionya,
Nataya Bagya. Walau saya belum menemukan akun twitter pribadinya sebagai salah satu rujukan informasi—setidaknya dari akun
linkedin-nya menunjukan bahwa sosok penulis script ini sudah sangat senior dan produktif.
Dari
script commercial video hingga beberapa film layar lebar tuntas digarapnya. Sebelum film 3 Dara ini, Nataya Bagya juga sukses membuat skrnario untuk film layar lebar yang juga bergenre komedi yaitu
Aku atau Dia dan
7/24.
Dari profile awal ini, saya menjadi yakin bahwa penulis skenario ini tentu paham bahwa terlalu berbahaya membuat skenario film komedi dengan cerita daur ulang atau saduran. Ketakutan film 3 Dara jiplakan dari film Junior, lenyap sudah.
Nah, kemudian jika kita beralih ke para pemain dan alur ceritanya—maka kita akan menyadari bahwa film komedi ini adalah salah satu film yang tersulit untuk dibuat. Bukan perkara teknis sinematografi-nya, namun lebih kepada betapa “kolosal” film ini dibuat.
Bayangkan saja, jika kebanyakan film komedi bertumpu pada satu atau dua aktor utama saja. Kelucuan hanya terjadi pada kisah pemeran utamanya saja, selebihnya hanya “korban” atau penggembira cerita saja.
Di film ini, beda.
Betul, sosok Tora Sudiro, Adipati Dolken dan Tanta Ginting memang sukses memerankan penokohannya masing-masing. Bahkan satu catatan khusus kepada Tanta Ginting, saya sempat khawatir ia tidak bisa melepaskan image Tan Malaka di film Soekarno yang berapi-api dan keras. Namun terbukti kekhawatiran saya ini salah. Tanta sukses berperan sebagai sosok jenaka tanpa kesan dibuat-buat atau melucu.
Namun, di film 3 Dara ini—semua posisi pemeran mempunyai sisi strategis masing-masing. Bahkan menurut saya, sosok sentral dalam kisah komedi ini malah berada pada Henki Solaiman dan Rianti Cartwright yang berperan menjadi dokter operasi plastik dan psikolog.
Tanpa dua sosok peran ini, saya yakin, film ini akan kehilangan ritme dan alur. Penonton yang tidak menyimak baik-baik dan saya garansi akan kebingungan dengan ploting ceritanya. Ibarat pemain bola, Henki dan Rianti ini adalah pemain tengah yang membagi distribusi bola.
Ada lagi satu sisi menarik di film ini yang membuat saya bertanya-tanya. Yaitu masuknya Farali Khan, artis dari Malaysia yang ikut berperan serta dalam film ini. Sempat saya berfikir, ia hanya sekedar “alat” promosi agar film ini bisa diterima juga oleh masyarakat Malaysia.
Ternyata tidak, Farali tak hanya berwajah ayu—namun cakap berperan menjadi guru yoga. Sepertinya benar kata sang sutradara--Ardy Octaviand saat bisa sedikit ngobrol-ngobrol seusai acara. Pemilihan pemeran film ini hasil casting dan diskusi dengan semua kru sesuai kompetensi dan kesesuaian dengan skenario.
Bagi saya, secara garis besar flm ini layak untuk tayang lama di studio layar lebar di Indonesia. Ceritanya orisinil dan masuk dalam area psikologis orang Indonesia—khususnya kaum pria kita yang memang posisinya sementara ini lebih dominan daripada perempuan.
Khusus bagi para wanita, menonton film ini juga bisa digunakan sebagai cara mengajari pasangan prianya agar lebih memahami isi hati dan sudut pandang perempuan secara halus tanpa perlu berkesan menggurui.
Harusnya, film yang resmi tayang tanggal 23 September 2015 ini sukses menggebrak pasar penonton Indonesia. Apalagi momentum film-film hero-hero an ala Hollywood sedang pada titik turunnya.
Hanya saja, ada juga beberapa hal yang kurang mengenakan dalam hajatan gala premiere film ini. Khususnya soal molornya waktu pemutaran filmnya. Entah karena sesi ini sekedar sesi tambahan karena siangnya sudah ada sesi
screening awal atau ketidak sengajaan. Sehingga dari jam masuk hingga film diputar terlalu lama. Kasihan penonton yang menunggu. Sampai-sampai sempat kuperhatikan ada penonton yang sudah kehabisan cemilan dan memesan lagi popcorn dan soft drink-nya.
Pun ketika para artis dan kru berkesempatan memberikan sedikit sambutan, waktunya malah terlalu mepet dan pendek. Saking pendeknya, Tora Sudiro sendiri lebih memilih mengucapkan sepatah dua patah kata, lalu salam dan diakhiri foto selfie dengan teman-temannya diatas panggung.
Serta yang paling
ngenes, nih. Saat awal pertemuan dengan sutradaranya usai acara di smoking area. Sambil duduk lemas dan berwajah sedih ia berkata “Pendek bener waktu bicaranya, sampai gue gak kebagian ngucapin terima kasih buat emak gua…”
Hehehe, sabar. Buruan bikin film lagi. Nanti kan bisa puas-puasin
speech terima kasihnya. Ya, tho?
[Hazmi Srondol]