Sempat mata saya tertuju pada sebuah status di facebook di grup facebook yang menanyakan "apa prestasi Jokowi selama menjadi presiden?".
Sebuah pertanyaan kecil yang sepertinya menjadi sangat sulit dijawab, terbukti yang muncul malah "prestasi" sewaktu menjabat sebagai Gubernur DKI yang dipakai kampanye pilpres 2014 yang lalu. Seperti membangun waduk Rio-Rio dll.
Baru setelah tidak muncul jawaban yang memuaskan, kembali muncul komentar yang berisi "20 prestasi Joko selama 4 bulan menjabat Presiden.
Ya, jurus memberikan rentengan data seperti ini kembali dipakai. Mirip-miriplah saat jaman kampanye Pilpres dimana ia juga mengeluarkan deretan penghargaan yang diraihnya. Walau entah keabsahan dan sumber pemberi penghargaan itu dari mana datang. Pokoknya terlihat panjang, sudah. Dianggap keren.
Padahal, waktu sudah berjalan dan rakyat butuh prestasi riil dari Joko. Paling sederhana, berapa harga beras, harga BBM, kurs dollar, harga cabai, harga, gas 3 kg, biaya sekolah, biaya transport di era Joko dibandingkan semenjak tanggal 20 Oktober 2014 SBY berakhir menjabat sebagai presiden...???????
Baik, jika fakta ini berat dijawab--ada baiknya kita kembali mengacu atas 20 daftar yang dianggap prestasi Jokowi ini.
Ada point menarik ketika mereka memasukan soal data soal "cadangan devisa" dan "neraca perdagangan" pada poin 1 dan 19.
Disana, mereka merasa bangga dengan kenaikan cadangan devisa negara sebesar US$.5,3 milliar--dari cadangan sebelumnya US$110 milliar ke US$115,3 milliar.
Belum lagi, statement "surplus" pada neraca perdangangan yang tidak pernah terjadi dalam 5 tahun terakhir.
Hmmm, saya jadi bersemangat jika akhirnya pendukung Joko ini mulai beralih ke pembahasan yang lebih logis berbasis data. Bukan sekedar pencitraan atau main survey-surveyan seperti selama ini yang dilakukan.
Karena dalam ranah ini, saya bisa berkesempatan membahas dan mencatatkan ulang beberapa pokok pikiran Prabowo Subianto yang membuat saya sangat yakin beliau paling siap menjadi nahkoda Republik Indonesia di era "badai" ekonomi saat ini.
Begini, cadangan devisa negara sebesar $115,3 trilyun itu sebenarnya masih sangaaaaaat sedikit dari yang seharusnya kita miliki. Dasarnya adalah sebagai berikut:
Sebenarnya, tahun 1998 yang dianggap krisis moneter Indonesia--kita masih memiliki untung besar dari aktivitas ekport dan impor kita. bahkan tahn 1998 tersebut, kita mencapai rekor ekpor terbesar yang pernah kita lakukan. Impor kita jauh dibawah ekspor. Negara kita benar-benar SURPLUS.
Surplus dari ekspor inilah yang mendatangkan cadangan dollar kita menumpuk. Saya rasa benar jika ekonom kita saat itu berani menyatakan jika "pondasi ekonomi" kita kuat.
Surplus itu pun masih kita rasakan hingga periode pertama SBY menjabat Presiden. 5 tahun pertamanya, SBY pernah membukukan pencapaian hingga surplus US$ 45 Milliar. Hanya saja, pada periode kedua, tahun 2012, 2013 dan sebagian 2014 SBY mengalami masa defisit. Paling parah tahun 2013 yang mencapai - US$ 4,1 Milliar dan diperbaiki di tahun 2014 dengan defisit -US$1,8 milliar.
Artinya, semenjak tahun 2012 kita sudah jadi negara importir.
Sedangkan jika dihubungan dengan rata-rata devisa kita dari tahun 1999 sampai dengan 2014 yang mencapai US$ 25 milliar, maka seharusnya cadangan devisa kita dalam 15 tahun terakhir adalah sekitar US$ 375 milliar.
Jadi, kenapa sekarang hanya ada US$ 115,3 Milliar? kemana US$.259,7 millar atau Rp.2.597 Trilyun cadangan devisa kita? Bocor?
Padahal angka tersebut sangat besar, senilai APBN negara kita yang mencapai Rp.3000 Trilyun.
Belum lagi jika dikembalikan dengan statement 20 prestasi Joko yang mengatakan bahwa Indonesia "surplus" sebesar US$ 1,4 millar, kenapa dalam chart kurs dollar kita pada bulan Januari-Februari 2015 masih merangkak naik dan masuk daerah kritis? (dalam chart saya beri tanda dua garis merah).
Padahal, jika memang kita surplus--ini berkaitan erat dengan masuknya dollar ke Indonesia yang berimbas pada penguatan Rupiah.
Boleh cek kondisi jatuhnya dollar tahun 1998. Kejatuhan yang tidak masuk akal dan disinyalir adanya campur tangan asing yang berupa gerakan konspirasi global untuk menjatuhkan nilai rupiah. Itu pun di masa Presiden Habibie, cepat di recovery dengan kenaikan nilai rupiah diangka 7000-an.
Ya, hal ini memang bisa terjadi karena saat itu kita negara "eksportir". Seperti halnya sekarang RRC yang begitu kuat nilai mata uangnya karena negara tersebut mempunyai produk-produk eksport yang luar biasa banyaknya. Bahkan sampai-sampai, mereka pun mampu meng-ekspor batik ke Indonesia. Batik? Ya, batik. Cek saja di Thamrin City Mall, Jakarta dan tempat lainnya.
Saya jadi curiga, apakah kesan "surplus" di bulan Januari-Februari adalah data yang akan berlangsung terus menerus? Atau sekedar sementara, sejauh masyarakat masih mampu membeli BBM premium oktan 86 yang oleh Faizal Basri pun kebingungan tolak ukur penentuan harganya? Apakah ini sekedar cara pemerintah memeras uang rakyatnya untuk menutupi kerapuhan anggaran nya?
Kalau iya, betapa naifnya. kenapa tidak mencari cara lain untuk mengurangi defisit devisa yang memang berasal dari impor minyak yang mencapai US$30 milliar?
Contohnya menerapkan teknik penurunan jenis oktan 86 menjadi 83 agar harga lebih murah dan pemakainya hanya kelas motor dan mobil angkot bermesin karburator. Untuk mesin Injeksi seperti Xenia-Avanza silahkan pindah ke Pertamax 92. Kalau masih ngeyel silahkan mogok di tengah jalan. Jadi rakyat kecil tidak terlalu terganggu.
Subsidi tersebut juga bisa ditambal sulam dengan menaikan cukai rokok dari sebelumnya 50% menjadi 67%. Contohnya, jika harga sebungkus rokok yang awalnya 10 ribu bisa menjadi 15 ribu. Kan sangat lumayan bisa menaikan pendapatan pajak dari rokok 100%.
Bayangkan, dengan cukai 50% saja, kita berhasi mendapatkan Rp. 150 trilyun. Dikalilipatkan menjadi 100% sudah setara biaaya subsidi BBM. Ini pun pasti tidak akan menganggu roda produksi dan distribusi masyarakat yang berbasis pada energi BBM.
Atau mulai konversi BBM ke BBN bio-ethanol dari perkebungan nabati, sesuai program pertanian pangan dan energinya Prabowo Subianto agar mengurani import BBM. Atau dengan atau-atau yang lain yang tidak membebani masyarakat.
Sedangkan perihal klaim 18 "prestasi" lain Joko yang "akan" membangun ini itu. Sudahlah, saya sekedar mengulang pertanyaan dari Prabowo saat debat capres: "UANGNYA DARI MANA?". Nambah hutang lagi buat anak cucu?
Apa mau mencabut subsidi-subsidi lain dan membiarkan rakyat kesetanan jungkir balik saling "makan" untuk bisa bertahan hidup?
Ya Allah, Ya Rabbi... kemanakah kau sembunyikan kata “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” yang pernah engkau sematkan ke negeri ini?
Negeri gemah ripah loh jinawi, dengan suasana yang aman dan tenteram, di bawah naungan ridha dan ampunan Allah SWT.
Sekian, selamat sore dan selamat memasuki libur panjang...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar