Usai sholat subuh hari Jumat kemarin (29/8/2014) saya segera tancap gas menuju DPP Partai Gerindra di kawasan Jl. RM Harsono yang tak jauh dari kebun binatang Ragunan dimana jenazah Profesor Suhardi--Ketua Umum Partai Gerindra disemayamkan.
Ya, setelah dua hari sebelumnya melewati masa kritis akhirnya Allah memanggil beliau untuk menyudahi penderitaan sakit kangker paru-paru stadium empat yang dalam beberapa bulan ini cepat menjalar di tubuhnya.
Suasana duka terasa sangat dalam di ruangan tempat persemanyaman almarhum. Sejak hari kamis (28/8/2014) pukul 22.17, pelayat tak henti-henti mengalir menyampaikan rasa bela sungkawa terdalamnya.
Tak terkecuali beberapa petinggi partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih seperti terlihat sedang melakukan sholat jenazah ketika saya tiba di lokasi. Pak Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Hatta Rajasa, Habib Ali Mochtar dan lain-lain juga sempat terlihat saat tak sengaja berpapasan.
Kesedihan semakin terasa ketika pak Prabowo Subianto, sahabat terdekat Prof. Suhardi memberikan pidato pelepasan jenazah menuju kota Yogyakarta, tempat Prof. Suhardi sehari-hari tinggal sekaligus dimakamkan.
Prabowo terlihat sembab di matanya dan terbata-bata memberikan pidato, kami yang mendengarnya tahu, beliau sedang menahan pecahnya tangisan di depan publik. Selain sifat nasionalisme, profesional, dan segudang prestasinya--Prabowo juga menyampaikan sikap utama almarhun Prof. Suhardi: berani dan jujur.
Keberanian dan kejujuran yang mungkin inilah penyebab Prabowo bersedia menerima proposal dan ajakan Prof Suhardi untuk terlibat ke politik dan membangun partai baru yang saat itu rencananya bernama
Partai Tani & Nelayan, sebuah bidang yang sangat dikuasainya sekaligus bidang yang memang menjadi solusi utama untuk mengatasi masalah dan tantangan besar bangsa ini.
Walau akhirnya, Prabowo bersedia mendirikan partai yang berbasis konsep pertanian dan kelautan--namanya berubah menjadi
Gerakan Indonesia Raya agar cakupan partai nya semakin meluas tanpa kehilangan ruh "kedaulatan pangan" yang dicita-citakan Prof Suhardi.
Akhirnya usai upacara pelepasan jenazah, saya pun akhirnya ikut dalam rombongan menuju Yogyakarta dengan menumpang pesawat Lion Air yang khusus disewa untuk mengantar jenazah ini.
Rasa sedih dan penasaran campur aduk menjadi satu. Khususnya rasa ingin tahu bagaimana Ketua Umum Partai terbesar ketiga di Indonesia ini hidup sehari-hari.
Sesampainya di Yogya, dalam bus yang kami tumpangi akhirnya sampai di sebuah gang yang membuat kami harus turun karena jalannya tidak muat untuk dimasuki oleh kendaraan sebesar bus ini.
Alangkah terkejutnya, gang Dahlia di Jalan kaliurang KM 7,5 Condong Catur, Sleman itu tidak menunjukan ciri-ciri kawasan kompleks atau perumahan mewah. Sekedar perkampungan ala Yogya yang biasa kutemui.
Semakin terkejut ketika disamping pendopo joglo tua tempat persemayaman jenazah terdapat rumah yang baru kusadari adalah rumah almarhum Prof Suhardi.
Sungguh mata ini terbelalak, sekelas Ketua Umum Partai serta berbagai jabatan tinggi di pemerintahan dan kampus universitas (maaf) rumahnya ya begitu-begitu saja. Standar. Khas rumah yang dibangun era 80-an.
Tampak belakang, depan dan tengah rumah mendiang Prof. Suhardi (Dok. Pribadi)
Tampak depan rumah terdapat beberapa pohon rindang. Kemudian ketika masuk, semakin terkaget. Dalam ruang tamu yang sempit, terdapat mebel yang sederhana dan beberapa piagam yang dipajang di dindingnya.
Dibatasi oleh lemari, dibelakang ruang tamu terdapat ruang tengah yang agak luas dan digelar tikar serta karpet untuk para tamu dan tetangga yang membantu mengurus pemakaman ini. Terlihat juga ada ruang kecil untuk menonton TV.
Tak jauh, berbatasan dengan ruang TV terdapat ruang makan. Ruang makan yang sangat bersahaja dengan empat kursi kayu tua dengan hidangan nasi, lauk tempe goreng, telur dadar goreng dan sayur krecek tempe serta ayam goreng yang dipotong kecil kecil. Saya sempat mencicipi masakan khas jawa tersebut, ternyata sangat nikmat. teringat masakan orang tua kami di kampung dulu.
Dan paling menyesakkan ketika masuk ke ruang belakang/dapur. Ruang dapurnya tidak ada pemisahan antara dapur basah atau kering. Pokoknya dicampur. Terdapat sumur timba yang sudah dipasang pompa air kecil tempat ibu-ibu "asah-asah" atau mencuci piring sambil duduk di "dingklik". Atapnya tidak ada plafonnya, bahkan sempat kulihat ada beberapa genteng nya sudah copot dibagian ujung.
Barang paling mewah yang kulihat dibelakang ini hanyalah mesin cuci front loading yang entah terpakai atau tidak sistem pemanasnya mengingat konsumsi watt-nya sangat besar sedangkan saya lupa cek, apakah kapasitas listrik rumah beliau mencukupi.
Nah, bagi yang sedang kebelet buang hajat--silahkan terkaget-kaget. model kakus (WC) nya masih model jongkok. Yang hobi berlama-lama di toilet duduk bakal tidak nyaman karena model ini bisa membuat orang kesemutan kakinya jika hobi nongkrong lama di kamar mandi.
Usai disemayamkan di pendopo warga, jenazah dipindahkan ke Balairung UGM untuk memberikan penghormatan terakhir kolega beliau di kampus UGM sebelum akhirnya jenazah beliau di makamkan di komplek pemakaman keluarga UGM.
Keluarga mendiang Prof. Suhardi (Dok. Pribadi)
Untung saja Gerindra mempunyai team Marching Band yang membuat pemakaman ini sedikit terlihat "mewah". Walau tetap saja, irama drum dan trompetnya malah semakin menbuncahkan rasa sedih dan mendalam. Fadli Zon, Waketum Partai Gerindra yang memimpin upacara pemakaman ini pun membacakan pidato perpisahan dan penghormatan atas jasa dan prestasi besar Prof Suhardi sebelum jenazahnya dikebumikan.
Seperti biasa, usai dikebumikan sang modin memberikan ceramah dan kesaksian atas amal-amal beliau semasa masih hidup. Terakhir, pak modin bercerita tentang sifat "ahli sedekah" nya almarhum Prof. Suhardi. Salah satu sedekah terakhirnya adalah me-wakaf-kan tanah seluas 500 meter persegi untuk pendirian pesantren khusus lansia, sebuah pesantren yang dikelola olah sang modin yang ternyata masih merupakan rekan prof. Suhardi ketika masih kuliah.
Duh, Gusti...