Ada pertanyaan yang muncul saat usai coblosan Pileg 2014 seperti ini:
"Om Srondol sih, nyerangnya PDI-P mulu. Mentang-mentang korban penjualan Indosat. Tuh Golkar dapat 14%..."
Hehehe...
Ya, memang harus saya akui saya susah sekali menyerang partai yang satu ini. Jangankan menyerang, mengolok-olok pun saya jarang. Khususnya soal boneka teddy bear yang pernah muncul beberapa waktu lalu.
Bukan apa-apa, saya sadar saya tidak begitu cocok dengan beberapa personal petinggi Golkar dan detail program untuk masa depan bangsa yang masih belum saya dapatkan. Kalau pun kesal dengan beberapa oknum partai ini, saya lebih banyak diam. Karena urusannya sudah masalah karakter personal--bukan kelembagaan.
Berbeda dengan Partai Gerindra yang sekarang saya anggap paling siap konsep dan programnya. Ibaratnya, ada "GBHN" nya. Hal yang sudah tidak bisa kita temukan di era sekarang sejalan dengan dihapusnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Jadi jangan heran kita tidak bisa menuntut hasil kerja Presiden era reformasi karena memang tolak ukur sebagai "mandataris MPR"-nya tidak ada.
Dan penghapusan ini, mau tidak mau saya mesti berhati-hati terhadap partai yang akan kumasuki. Setidaknya memilih yang sudah punya sejenis GBHN yang detail dan bisa kupakai untuk mengontrol ketika mereka masuk ke pemerintahan. Walau pun mungkin kontrolnya hanya lewat tulisan saja. Lagian, tidak mungkin menjadi bagian dari sebuah organisasi hanya sekedar ikut-ikutan. Padahal pesan orangtua kita dulu jelas--lebih baik berbeda daripada ikut-ikutan.
Nah, kembali ke akar masalah--dimata saya Golkar adalah sebuah perisai terakhir atas ideologi komunisme di Indonesia.
Sekedar membuka kembali ke sejarah awal berdirinya Partai Golkar ini yang tahun 1964 bernama Sekber GOLKAR (sekretariat bersama golongan karya) oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh PKI di kancah politik Indonesia.
Saya rasa, gegara ideologi dasar Golkar inilah yang membuat banyaknya tuntutan pembubaran partai ini. Khususnya bagi mereka yang masih mengidamkan ideologi komunis hidup kembali di negeri ini.
Ya, soal partai adalah soal ideologi sedangkan manusianya--ya sesuai sunatullah pasti akan berubah-ubah sesuai tingkat keimanan dan pemahamannya. bahasa sekarangnya "swing voter". Kadang nasionalis, kadang agamis kadang, sosialis atau malah kadang apatis #EH. Hehehe...
Lalu, berita membahagiakan tentunya muncul pagi ini dengan hadirnya beberapa petinggi Golkar di Bukit Hambalang untuk membahas koalisi Gerindra - Golkar. Ini berarti, akan dua ideologi bergabung--yaitu ideologi kerakyatan dan anti komunisme.
Saya jadi membayangkan, jika Allah ridho Prabowo menjadi Presiden RI tahun 2014-2019 ini--betapa asyiknya negara ini jika teamwork terbangun antara pekerja kesejahteraan dan pelindung ideologi Pancasila bersatu.
Walau harus diakui--tak lengkap jika tanpa hadirnya partai berbasis agama spt PKS, PPP, PAN, PBB dan PKB untuk memberikan spirit relijius agar pemimpin dan rakyat Indonesia tidak terjebak pada paham Neoliberal tanpa disadarinya. Sebuah paham yang hanya berbasis pasar, cashflow dan materi tanpa memikirkan bahwasanya manusia itu terdiri dari dua dzat--tubuh dan roh. Jiwa dan raga.
Paham neolib ini juga jelas kontra dengan paham "gotong-royong" ala leluhur bangsa kita yang saling asah-asih-asuh dengan semboyan khas yang semoga rekan-rekan tidak lupa atau sekedar menjadi jargon saja yaitu:
Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Sedangkan kekhawatiran soal kabinet campuran--saya percaya, ikan itu busuk dari kepalanya. Selama kepalanya seperti Prabowo, Insya Allah badan, ekor dan siripnya akan mengikuti gerak dan niat kepalanya.
Sekian jawaban saya perihal Partai Golkar, selamat malam dan tetap MERDEKA!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar