“…akhirnya aku malah jadi sadar, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semua sudah dalam skenario-Nya…”
Begitulah kurang lebih cuplikan bait yang tertulis dalam salah satu bab di novel komedi “Srondol Gayus ke Italy” perdanaku. Bait yang kini mendadak muncul kembali setelah kejadian antara saya dengan LOWE dan INDOMIE.
Ya, setelah kemunculan artikel curhatku sebelumnya yang di sertai respon dan dukungan para sahabat baik penulis, jurnalis, blogger hingga netizen pengguna social media—akhirnya muncul telefon dari mbak Joyang mewakili CEO LOWE dari Singapore untuk meminta maaf atas kejadian yang sudah terjadi. Permintaan maaf yang di sertai tindak lanjut untuk bertemu secara langsung—pertemuan yang akan menyertakan pihak INDOFOOD sesuai permintaanku.
Sungguh, aku tidak menyangka ketika di depan mata dan kepalaku sendiri—Mbak Jo, pak Stefanus Indrayana (GM Corporate Communication – Indofood) dan pak Mustofa dari segment produk Indomie mengaturkan permohonan maaf baik secara pribadi ataupun corporate kepada saya. Saya yang hanya seorang penulis dan blogger ini.
Sungguh saya tak mampu menahan haru, antara terbayang tiga dus Indomie yang nonggol di depan pintu laundry kiloan istriku hingga rasa plong dan bahagia campur menjadi satu.
Sudah kucoba membendung air mata ini, tapi sungguh—ini bukan sandiwara film India. Jebol bendungan kecil di pelupuk mataku, aku menangis. Menangis yang kata almarhumah Ibuku dulu—pantang untuk lelaki kecuali pada dua hal yaitu ketika di hadapkan pada sesuatu yang sangat duka atau sebaliknya, yaitu pada saat-saat paling membahagiakan.
Ya, aku memaafkan Indomie dan Lowe, walau tetap saja kejadian ini tidak bisa aku lupakan karena merupakan bagian dari perjalanan hidupku sendiri.
Aku tahu, beberapa sahabat mempertanyaakan begitu mudahnya aku memberi maaf kepada mereka setelah penghinaan dan penistaan kepada penulis yang dilakukannya. Kok nggak sampai gebrak meja atau cegat di pojokan gang sambil bawa golok ngumpet di gapura. Bahkan beberapa sahabat yang menguasai masalah hukum banyak memberi masukan soal denda dan hukuman pidana serta perdata perihal pemotongan esensi cerita yang bisa mencapai milyaran jumlahnya.
Ya ya ya, memang itu sangat menggiurkan. Pasti bisalah untuk membeli ‘ferarri’ berwarna merah testarossa. Namun, ada hal lain yang menjadi pertimbangan. Selain hasil diskusi dengan istri dan anak-anak di rumah—tentu kita ingat sebuah film yang membahas soal pencurian karya cipta yang berjudul “Flash of Genius”.
Film yang berdasarkan kisah nyata ketika seorang professor teknik bernama Robert Kearns yang menemukan system pengaturan waktu sapuan wiper kaca mobil pada tahun 1950-an, temuan yang disabot oleh pihak corporate Ford dan dicaplok kepemilikan hak ciptanya secara semena-mena. Singkat cerita, pak Robert ini hanya meminta permintaan maaf dari pihak Ford namun hasil nya sidangnya--pihak Ford lebih memilih membayar denda 18,7 juta USD atau sekitar 180 milyar rupiah dan dinyatakan ‘sekedar’ pelanggaran yang dilakukan tanpa sengaja daripada harus meminta maaf kepada penemu aslinya.
Dan hari itu (27/2/2013), Indomie dan Lowe melakukan hal yang terbalik. Tak perlulah saya mesti menunggu persidangan hingga belasan tahun, tak perlu sampai ditinggalkan istri dan anak-anaknya dan tak perlu sampai masuk ke rumah sakit jiwa karena dianggap depresi karena obsesi seperti kisah film diatas. Saya cukup menuliskan curhat dan permintaan maaf pun datang tanpa kerumitan. Jikalau dibandingkan masalah pak Robert, bolehlah apa yang saya dapatkan ‘bernilai’ lebih dari 200 milyar rupiah. Dan bagi kami sekeluarga, sudah sangat cukup dan kami anggap masalah sudah selesai.
Perilhal jika nanti pihak Lowe atau Indomie akan memberikan kompensasi atas tulisanku yang dipakai untuk kampanye terdahulu. Kami tidak berharap banyak. Apapun yang diberikan, kami terima. Termasuk jika memang semangkuk Indomie rebus pakai telur adalah nilai yang sepantasnya. Kami tidak berani meminta terlalu berlebih. Saya menurut apa yang dikatakan pak Stefanus Indrayana—biarlah ‘hati nurani’ yang bicara soal angkanya.
Kami takut, jika menuntut berlebihan di luar kewajaran--ini malah menjadi bagian dari pemerasan. Sedangkan apalah jadinya anak-anak kami kelak jika apa yang kami dapatkan dari hasil pemberian yang tidak iklas dan terpaksa. Percuma banyak duit, tapi anak-anak menjadi sosok bandel, susah diatur atau bahkan menjadi pemakai narkoba… kayak artis siapa tuh? Saya kok mendadak lupa…
Dan sekarang, dengan hati yang sudah lega dan plong ini. Semangat menulis yang sempat pudar seakan bangkit kembali. Banyak hutang pribadi yang harus segera di selesaikan. Dari memasarkan ulang novel pertama, menerbitkan buku lanjutan, membesarkan media humor Srondolnews.com, membuat shortmovie, mewujudkan Assosiasi Blogger Reporter Indonesia serta berbagai macam kegiatan di digital media sudah menunggu.
Semoga dengan hilangnya beban perasaan ini, semua langkah menjadi ringan dan Tuhan membuka pintu dan jalan-Nya untuk mempermudah langkah ini kedepan. Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Dari tetap berusaha setulus merpati namun mesti belajar cerdik seperti ular. Jangan sanpai kebaikan tanpa kepintaran malah membuat kita jadi sosok yang salah dimanfaatkan.
Benar kata pak Indra saat usai bermaafan dan berpelukan, “Tak ada yang yang kebetulan dalam kejadian ini. Semua sudah dalam skenarioNya”. Statement yang mendadak menjadi sindiran ke diri sendiri untuk tetap konsisten dan bertanggung jawab atas apa yang yang sudah kutuliskan, baik di buku maupun lainnya.
Ya, aku merasa sangat beruntung, dibanding kawan-kawan penulis yang lain—saya bisa bertemu langsung dengan sosok-sosok hebat dibelakang produk yang sudah mewarnai kehidupan kita sehari hari. Dari hiburan iklan hingga makanan yang sudah menjadi sahabat kita sehari-hari—Indomie.
Tak lupa di penutup artikel ini, buat nama-nama yang tersebutkan dalam tulisan terdahulu, baik terlibat langsung maupun sekedar terkna loop email seperti mbak Hanna Wihodo, mbak Henny Sihombing, mbak Fiki Karina, mbak Wina Andriana dan mas Wawa Suwanto saya haturkan permohonan maaf dan terima kasih. Karena tanpa mbak dan mas semua, tentu saya akan lama diam dan mangkrak di satu kelas...
Dan semua yang terjadi sekarang menjadi tambahan pelajaran buat kita semua bahwa korporat, agency, penulis, blogger dan jurnalis, bukan musuh yang saling berhadapan, namun adalah mitra untuk kesuksesan bersama.
Jikalau ada waktu, sudilah kita ketemu dan ngobrol-ngobrol. Insya Alloh saya yang traktir, walau traktirnya cuman semangkuk Indomie rebus yang lezat lo yaaa… hehehe.
Salam hangat dan jabat erat,
HAZMI SRONDOL
Penulis – Blogger
…………….
Artikel terkait:
1. "Sesuatu" yang Haram dari Indomie:
http://www.hazmisrondol.com/sesuatu-yang-haram-dari-indomie/
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/02/20/sesuatu-yang-haram-dari-indomie-530412.html
2. Part 9 Novel Srondol Gayus ke Italy : http://hiburan.kompasiana.com/humor/2010/03/30/srondol-ke-italy-9-tragedi-toilet-umum-106614.html
Begitulah kurang lebih cuplikan bait yang tertulis dalam salah satu bab di novel komedi “Srondol Gayus ke Italy” perdanaku. Bait yang kini mendadak muncul kembali setelah kejadian antara saya dengan LOWE dan INDOMIE.
Ya, setelah kemunculan artikel curhatku sebelumnya yang di sertai respon dan dukungan para sahabat baik penulis, jurnalis, blogger hingga netizen pengguna social media—akhirnya muncul telefon dari mbak Joyang mewakili CEO LOWE dari Singapore untuk meminta maaf atas kejadian yang sudah terjadi. Permintaan maaf yang di sertai tindak lanjut untuk bertemu secara langsung—pertemuan yang akan menyertakan pihak INDOFOOD sesuai permintaanku.
Sungguh, aku tidak menyangka ketika di depan mata dan kepalaku sendiri—Mbak Jo, pak Stefanus Indrayana (GM Corporate Communication – Indofood) dan pak Mustofa dari segment produk Indomie mengaturkan permohonan maaf baik secara pribadi ataupun corporate kepada saya. Saya yang hanya seorang penulis dan blogger ini.
Sungguh saya tak mampu menahan haru, antara terbayang tiga dus Indomie yang nonggol di depan pintu laundry kiloan istriku hingga rasa plong dan bahagia campur menjadi satu.
Sudah kucoba membendung air mata ini, tapi sungguh—ini bukan sandiwara film India. Jebol bendungan kecil di pelupuk mataku, aku menangis. Menangis yang kata almarhumah Ibuku dulu—pantang untuk lelaki kecuali pada dua hal yaitu ketika di hadapkan pada sesuatu yang sangat duka atau sebaliknya, yaitu pada saat-saat paling membahagiakan.
Ya, aku memaafkan Indomie dan Lowe, walau tetap saja kejadian ini tidak bisa aku lupakan karena merupakan bagian dari perjalanan hidupku sendiri.
Aku tahu, beberapa sahabat mempertanyaakan begitu mudahnya aku memberi maaf kepada mereka setelah penghinaan dan penistaan kepada penulis yang dilakukannya. Kok nggak sampai gebrak meja atau cegat di pojokan gang sambil bawa golok ngumpet di gapura. Bahkan beberapa sahabat yang menguasai masalah hukum banyak memberi masukan soal denda dan hukuman pidana serta perdata perihal pemotongan esensi cerita yang bisa mencapai milyaran jumlahnya.
Ya ya ya, memang itu sangat menggiurkan. Pasti bisalah untuk membeli ‘ferarri’ berwarna merah testarossa. Namun, ada hal lain yang menjadi pertimbangan. Selain hasil diskusi dengan istri dan anak-anak di rumah—tentu kita ingat sebuah film yang membahas soal pencurian karya cipta yang berjudul “Flash of Genius”.
Film yang berdasarkan kisah nyata ketika seorang professor teknik bernama Robert Kearns yang menemukan system pengaturan waktu sapuan wiper kaca mobil pada tahun 1950-an, temuan yang disabot oleh pihak corporate Ford dan dicaplok kepemilikan hak ciptanya secara semena-mena. Singkat cerita, pak Robert ini hanya meminta permintaan maaf dari pihak Ford namun hasil nya sidangnya--pihak Ford lebih memilih membayar denda 18,7 juta USD atau sekitar 180 milyar rupiah dan dinyatakan ‘sekedar’ pelanggaran yang dilakukan tanpa sengaja daripada harus meminta maaf kepada penemu aslinya.
Dan hari itu (27/2/2013), Indomie dan Lowe melakukan hal yang terbalik. Tak perlulah saya mesti menunggu persidangan hingga belasan tahun, tak perlu sampai ditinggalkan istri dan anak-anaknya dan tak perlu sampai masuk ke rumah sakit jiwa karena dianggap depresi karena obsesi seperti kisah film diatas. Saya cukup menuliskan curhat dan permintaan maaf pun datang tanpa kerumitan. Jikalau dibandingkan masalah pak Robert, bolehlah apa yang saya dapatkan ‘bernilai’ lebih dari 200 milyar rupiah. Dan bagi kami sekeluarga, sudah sangat cukup dan kami anggap masalah sudah selesai.
Perilhal jika nanti pihak Lowe atau Indomie akan memberikan kompensasi atas tulisanku yang dipakai untuk kampanye terdahulu. Kami tidak berharap banyak. Apapun yang diberikan, kami terima. Termasuk jika memang semangkuk Indomie rebus pakai telur adalah nilai yang sepantasnya. Kami tidak berani meminta terlalu berlebih. Saya menurut apa yang dikatakan pak Stefanus Indrayana—biarlah ‘hati nurani’ yang bicara soal angkanya.
tweet dr LOWE
Kami takut, jika menuntut berlebihan di luar kewajaran--ini malah menjadi bagian dari pemerasan. Sedangkan apalah jadinya anak-anak kami kelak jika apa yang kami dapatkan dari hasil pemberian yang tidak iklas dan terpaksa. Percuma banyak duit, tapi anak-anak menjadi sosok bandel, susah diatur atau bahkan menjadi pemakai narkoba… kayak artis siapa tuh? Saya kok mendadak lupa…
Dan sekarang, dengan hati yang sudah lega dan plong ini. Semangat menulis yang sempat pudar seakan bangkit kembali. Banyak hutang pribadi yang harus segera di selesaikan. Dari memasarkan ulang novel pertama, menerbitkan buku lanjutan, membesarkan media humor Srondolnews.com, membuat shortmovie, mewujudkan Assosiasi Blogger Reporter Indonesia serta berbagai macam kegiatan di digital media sudah menunggu.
Semoga dengan hilangnya beban perasaan ini, semua langkah menjadi ringan dan Tuhan membuka pintu dan jalan-Nya untuk mempermudah langkah ini kedepan. Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Dari tetap berusaha setulus merpati namun mesti belajar cerdik seperti ular. Jangan sanpai kebaikan tanpa kepintaran malah membuat kita jadi sosok yang salah dimanfaatkan.
Benar kata pak Indra saat usai bermaafan dan berpelukan, “Tak ada yang yang kebetulan dalam kejadian ini. Semua sudah dalam skenarioNya”. Statement yang mendadak menjadi sindiran ke diri sendiri untuk tetap konsisten dan bertanggung jawab atas apa yang yang sudah kutuliskan, baik di buku maupun lainnya.
Ya, aku merasa sangat beruntung, dibanding kawan-kawan penulis yang lain—saya bisa bertemu langsung dengan sosok-sosok hebat dibelakang produk yang sudah mewarnai kehidupan kita sehari hari. Dari hiburan iklan hingga makanan yang sudah menjadi sahabat kita sehari-hari—Indomie.
Tak lupa di penutup artikel ini, buat nama-nama yang tersebutkan dalam tulisan terdahulu, baik terlibat langsung maupun sekedar terkna loop email seperti mbak Hanna Wihodo, mbak Henny Sihombing, mbak Fiki Karina, mbak Wina Andriana dan mas Wawa Suwanto saya haturkan permohonan maaf dan terima kasih. Karena tanpa mbak dan mas semua, tentu saya akan lama diam dan mangkrak di satu kelas...
Dan semua yang terjadi sekarang menjadi tambahan pelajaran buat kita semua bahwa korporat, agency, penulis, blogger dan jurnalis, bukan musuh yang saling berhadapan, namun adalah mitra untuk kesuksesan bersama.
Jikalau ada waktu, sudilah kita ketemu dan ngobrol-ngobrol. Insya Alloh saya yang traktir, walau traktirnya cuman semangkuk Indomie rebus yang lezat lo yaaa… hehehe.
Salam hangat dan jabat erat,
HAZMI SRONDOL
Penulis – Blogger
…………….
Artikel terkait:
1. "Sesuatu" yang Haram dari Indomie:
http://www.hazmisrondol.com/sesuatu-yang-haram-dari-indomie/
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/02/20/sesuatu-yang-haram-dari-indomie-530412.html
2. Part 9 Novel Srondol Gayus ke Italy : http://hiburan.kompasiana.com/humor/2010/03/30/srondol-ke-italy-9-tragedi-toilet-umum-106614.html