Akhirnya kami pun mengizinkan anak untuk ikut dalam Aksi Super Damai 212. Tentu setelah memohon izin kepada guru sekolahnya serta memohon izin kepada ibuk yang melahirkannya.
Walau tidak tepat jam 8 sampai di sekitar monas karena kami memilih agak siang sedikit untuk naik kereta komuter dari Bekasi karena padatnya mujahid pada jam sibuk tersebut. Namun kami tetap sampai beberapa jam sebelum sholat Jumat dimulai.
Ya, sejak tahun 1998—saya sangat percaya dengan kereta komuter sebagai alat transportasi paling cepat dan aman. Khususnya dalam kondisi yang sangat luar biasa. Seperti ramainya demo, bencana banjir, datangnya suporter sepakbola hingga aksi damai ini.
Soal empet-empetan, biasalah. Bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Anak-anak sudah sering saya jelaskan bagaimana lebih empet-empetannya kereta JR Jepang saat rush hour. Toh didalam kereta ada budaya saling penertian sesama penggunannya. Anak-anak dan ibu hamil selalu mendapat perlindungan lebih.
Dalam perjalanan menuju monas, kembali anak-anak bertanya “kenapa kita demo, tujuannya apa, pak?”
Pertanyaan yang to the point. Otak pun berkerja lebih keras untuk memberikan jawaban dengan bahasa yang paling sederhana dan mudah dimengerti.
Baiklah, akhirnya kujelaskan tentang adanya seseorang yang tidak beragama Islam. Tidak mengimanani Allah dan Al Qurán, kebetulan sedang mengikuti ajang Pilkada telah mengucapkan kata-kata yang mengina Al Qurán dan Ulamanya. Al Qurán khususnya surat Al Maidah ayat 51 dianggap sebagai alat kebohongan dan ulama yang mengabarkan ayat tersebut dianggap pembohong.
Saya jelaskan pula, jika memakai hukum Islam—niscaya orang tersebut telah dihukum mati atau setidaknya diusir dari negeri tersebut.
Namun karena kebaikan hati para Ulama di Indonesialah yang akhirnya membuat sang penista tersebut hanya diminta dipenjara. Dihukum dengan Undang-undang negara Indonesia.
Hanya saja, sampai tahap ketiga ini—orang yang sudah menjadi tersangka ini masih belum dihukum. Entah bagaimana proses hukumnya.
Nah, saya jelaskan juga— ikut Aksi ini bukan sekedar mendorong penegak hukum segera melaksanakan tugasnya seperti halnya yang pernah dilakukan kepada warga negara lain seperti Arswendo atau pak Permadi.
Ada nilai lebih.
Ini adalah kesempatan untuk mendapatkan pahala yang nilainya setara Jihad. Jihad dimana merupakan salah satu amalan tertinggi bagi seorang muslim. Apalagi, yang akan dilakukan terdapat sikap dan pilihan untuk membela ayat Allah.
Pembelaaan yang ujung-ujungnya akan kembali pula kepada kita jua. Al Qurán akan membela kita saat tumpukan dosa sudah jauh lebih besar daripada amalan-amalan umum lainnya.
Jangan sampailah ketika anggota keluarga kita belum sanggup menjadi singa-nya Allah. Menjadi panglima-panglima perang-Nya, kita malah menjadi anjing-anjing Firáun yang menistakan Allah lewat manesfestasi penghinaan kepada ayat-ayatNya. Paling tidak, kalau baru bisa menjadi bagian kecil, jadilah seperti semut-semut pada zaman nabi Ibrahim.
Anakku sepertinya sudah semakin paham. Mengangguk-angguk. Lalu bertanya kembali, “ini ada hubungannya dengan pilkada nggak, pak? Kan dia sedang nyalon Gubernur?”
“Tentu ada, nak” jawabku.
“Apa itu pak? Biar gagal ikut pilkada?”
“Bukan, ini agar menjadi pelajaran bagi siapa pun yang ikut Pilkada agar tetap menjaga sikap dan mulutnya. Menahan hawa nafsunya. Mentang-mentang ada aturan peserta pilkada tidak bisa dihukum dan dipenjara—maka dia bisa seenaknya berbicara bahkan menghina. Apalagi sesuatu yang berbeda dari agama dan keyakinannya”
Hazmi Srondol
Tidak ada komentar
Posting Komentar