"Ini kok
piguranya pasangnya aneh, mas? Kok pada di lantai?” kataku bertanya kepada para
asisten Prabowo di Bukit Hambalang.
“Oh, ini
bukan dipasang dilantai mas. Tembok musholanya baru habis di pernis ulang
kayunya. Nanti dipasang lagi keatas” jelasnya.
Hooo…
pantesan kok aneh, semua pigura yang bergambar kaligrafi Al Quran, gambar
ka’bah dipasang berdiri di karpet. Bersandar rapi. Satu persatu aku perhatikan
dengan seksama. Indah.
Dari sekian
banyak pigura tersebut, terdapat satu yang sedikit berbeda. Pigura itu berisi
foto Prabowo Subianto bersama seseorang yang pernah aku lihat di televisi. Pria
berwajah Arab dengan sorban putih, kain sorban di pundak serta tasbih hitam di
telapak tangannya. Masalahnya, aku lupa siapa gerangan. Sepertinya dia seorang
Habib—julukan para keturunan darah langsung dengan Nabi Muhammad.
Hingga usai sholat magrib di mushola tersebut, aku kembali melihat gambar
itu. Yang jelas, bukan alm. Habib Munzir—pimpinan Majelis Rasulullah, walau pun
sama-sama berwajah khas Arabnya. Bukan pula Aa Gym apalagi Habib Razieq
pemimpin FPI yang ‘kondang’ itu.
Ya, harap
maklum. Banyaknya aliran Islam yang masuk ke Indonesia membuatku
bertanya-tanya. Aliran Islam model manakah yang lebih condong dianut oleh
Prabowo ini. Apalagi semenjak kepergiannya ke Yordania dahulu, tentu banyak
referensi aliran yang ditemuinya. Sedangkan persoalan ini menjadi sangat
penting bagiku, karena apa pun alirannya—tetap akan berimbas pada cara beliau
dalam mengambil kebijakan.
Apakah
Syiah, Sunni, Ikhawanul Muslimin, Wahabi, Tasawuf atau Ahlus Sunah Wal Jamaah
ala warga Nadliyin Nahdatul Ulama?
Rasa
penasaran ini juga semakin kuat saat pada suatu hari, usai acara penandatangan
kontrak politik dengan para kepala desa, muncul pertanyaan soal posisi FPI
terkait statement Mendagri, Gamawan yang mengingatkan agar pemerintah daerah
menggandeng organisasi kemasyarakatan (ormas) termasuk FPI.
Pemda perlu
membina ormas sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
"FPI
bukan organisasi terlarang, karena itu mereka harus diberdayakan dan jika
melakukan pelanggaran dapat diberi sanksi sesuai dengan kesalahan yang
dilakukan, kata Gamawan usai rapat koordinasi pendahuluan tentang pangan di
Bukittinggi, Sumbar, Senin (28/10).
Nah, saat
itu statement menarik saat Prabowo diwawancara perihal keberadaan FPI. Saya
yakin banyak yang berharap Prabowo langsung bersikap keras menolak FPI. Apalagi
beberapa saat sebelumnya—Prabowo sangat keras akan “memasang badan” menghadapi
preman Tanah Abang yang menghalagi niat Jokowi-Ahok dalam program merapikan
pedagang PKL disana.
Namun,
jawaban yang diharapkan serupa ternyata berbeda.
“Maksud
anda, terkait dengan statement Mendagri sebelumnya yah?” tanya balik Prabowo
sebelum menjawab.
“Iya, pak”
jawab wartawan yang bertanya.
"Saya
kira kalau kita pelajari statement Mendagri dengan jeli, semua ormas harus
dirangkul termasuk FPI. FPI bisa diyakinkan hidup damai. FPI bisa
diyakinkan hidup damai menerima Pancasila, NKRI, hidup rukun sebagai komponen
bangsa ya harus diakomodasi," " ujar Prabowo.
Dari statement
itu, bisa dilihat bahwa Prabowo masih konsisten dengan pandangan politiknya
bahwa segala kebijakan kenegaraan harus mengacu pada UUD 1945 dan
Pancasila.
Tidak jauh
berbeda dengan gaya Mahapatih Gajahmada yang segala sesuatu harus dikembalikan
pada undang-undang Negarakertagama.
Ya, bahasa
tidak langsungnya, “selama masih bisa dibina—ya dibina. Kalau tidak bisa
dibina, ya dibinasakan”.
Kurang lebih
itulah yang kusimpulkan esensi statemennya. Namun sayangnya, sudah bisa diduga.
Statement panjang seperti itu mudah dipelintir oleh oknum media yang kurang
suka dengan sepak terjangnya. Kesan bahwa Prabowo mendukung keberadaan FPI yang
suka ‘main kekerasan’ lebih ditonjolkan. Ya sudahlah, namanya juga resiko jadi
public figure. Saya fikir Prabowo sudah kebal dan terbiasa dengan kondisi
seperti ini.
Nah, kembali
soal foto Habib di mushola Bukit Hambalang—sepertinya sudah rezekiku untuk
mendapatkan jawabannya.
Prabowo dengan warna NU dan Tokoh masyarakat Banyuwagi |
***
“Oh, itu
Habibana Umar bin Hafidz dari Hadramaut, Yaman” jelas salah satu timku di
kantor.
“Oalah,
beliau siapa, bang?” kataku penasaran.
“Wah, mas.
Beliau guru mulia para jamaah ahlus sunnah wal jamaah. Sering membagikan
ilmunya disini (Indonesia). Fatwanya sering dijadikan rujukan ulama NU juga
kok, mas” jelasnya.
“Oalaaah….”
“Lha emang
kenapa? Kok tumben-tumbenan bahas Habib?”
“Nggak,
takut aja kalau Prabowo jadi presiden lalu kita nggak boleh merayakan maulid
ama tahlilan, bang. Kasihan keluarga kami kalau meninggal gak di tahlilin”
jawabku.
“Ya,
enggaklah. Aman itu, mas. Guru agamanya Prabowo yang itu nggak model begituan”
Hehehe…
Asyik!
Note: Pernah di posting serupa di Kompasiana