Oleh: Hazmi Srondol
Aku duduk terdiam di kursi. Bapak dan ibu menatapku dengan tajam. Sepertinya mereka kecewa sekali. Meja kayu jati yang membatasi kami tampak tergeletak sebuah majalah anak-anak, sumpah aku lupa apa namanya. Lengkap dengan lembar wesel dan lembaran surat beramplop putih.
Aku yang masih SD kelas 2 itu tentu saja sedikit gemetaran. Aku biasa dimarahi bapak, tapi itu juga sudah menjadi biasa bagiku menghadapi tamperamen bapak. Paling juga ujung-ujungnya dipukul kakinya pakai ikat pinggang. Udah kebal.
Cuman yang aku risau adalah ibu, ibu yang biasannya selalu membelaku tampak memendam kemarahan sekaligus kekecewaan. Aku belum pernah melihat ibu seperti itu. Ibu mulai membuka mulut dengan nada bergetar.
”bener mas ini bukan karangan kamu?” Kata ibu sambil membuka halaman kolom puisi.
"Mik, jawab! Jangan diam saja!" Bentak bapak.
”Ibu dapat teguran dari majalah, katanya puisimu ini jiplakan dari buku pelajaran sekolah. Kok kamu gitu to Le”, kata ibu dengan mata berkaca kaca.
Aku menunduk. Diam.
"Wes jan! Ngisin ngisini! Karya jiplakan kok di kirim ke majalah!" kata bapak sinis.
Mendengar kata itu, aku jadi meradang, mulai mengankat kepala dan membalas tatapan mata bapak. Aku tidak suka kalimat terakhir bapak.
Ibu mulai khawatir, saat melihat 2 mata harimau beradu.
CTAR!
Suara ikat pinggang pun akhirnya terdengar membentur sesuatu. Ya.. Itu suara benturan kakiku. Bapakku tidak suka anaknya melawan, walau cuman dengan tatapan mata. Perih. Tapi yang satu ini, aku tidak menangis. Aku tetap diam saja.
.....
Diam-diam aku membuka tutup Vicks Inhaler yang sengaja aku kantongin waktu Joe mengajakku naik busway jurusan kota itu. Itulah senjataku melawan bau ketek orang yang tangannya sedang mengangkat tangannya, berpegangan di gantungan busway. Kuhirup vicks itu denga gerakan se-elegan mungkin, aku tidak mau menyakiti hati orang itu dengan gerakan ekstrovet menutup hidung dengan tissu atau sapu tangan. Walau sebenarnya, sumpah, aku mau muntah.
Sesampainya di halte glodok, aku langsung berhamburan keluar. Selamat sudah dari bencana bau ketek itu. Untung saja busway memenuhi janjinya untuk memangkas waktu tempuhnya. Joe terkekeh melihat manuverku keluar dr busway. Seperti ninja kegendutan katanya. Kekekekeke
Glodok, itulah surga kami. Aku dan Joe suka sekali berkunjung disini. Setidaknya sebulan sekali lah. Kami selalu tepat setengah 12 kami kabur pas jam makan siang disini dan kami selalu memastikan jam setengah 2 harus sudah kembali ke kantor.
Kami merasa, Glodok mirip dengan kantong doraemon, semuanya ada. Dari baterai jenis apa saja sampai baut beraneka rupa. Dari elektronik dengan merek plesetan sampai vcd bla-bla-bla..
“Baru neh bos”, kata abang bermuka kotak menyodorkan beberapa keping vcd nya sambil colak-colek.
Aku berbalik badan dengan gaya PBB (peraturan baris berbaris) ala anak pramuka.
“Udah punya” jawabku sambil menatap si abang bermuka kotak.
Sepertinya si abang sedikit gentar, tidak melanjutkan marketing maksanya. Aku paling tidak suka di colek-colek gitu. Penjual vcd yang berada balik pagar pembatas jalan Gajahmada itu sangat menyebalkan. Aku memilih ngeloyor menuju sisi timur, mendekati arah Jalan Pinangsia. Disana penjualnya tidak terlalu arogan, mungkin karena saking banyaknya pilihan dan saingan.
Aku geleng-geleng kepala melihat tumpukan vcd yang luar biasa banyaknya. Ada lagu, film, software sampai (oke aku tulis).. Bokep. Ada!
”Mbak, emang gak takut razia?” tanyaku ke mbak penjaga konter vcd.
“lah sudah jarang razia mas” jawabnya sambil menata tumpukan kepingan vcd tanpa melihat wajahku.
“oh....” hanya itu komentarku.
Jam makin mendekati pukul 13 siang. Si Joe masih belum tampak dari tempat kami janjian. Dan tiba-tiba masuk sebuah SMS dari operator seluler yang memberitahukan bahwa I-ring (NSP) ku di perpanjang otomatis dengan biaya sebesar 5000 belum termasuk PPN.
Pantes pikirku, artis sekarang gak ngamuk-ngamuk lagi ama vcd bajakan. Lha wong tolak ukur kesuksesan lagu sudah bukan hanya jumlah kaset dan cd yang terjual, tapi juga berapa banyak cuplikan lagunya di download di telepon seluler.
Aneh, dari barang yang sama. Sebuah keping copian CD Lagu, dulu adalah musuh artis yang harus diberangus, sekarang berubah fungsi malah jadi bagian promosi tak jauh berbeda dengan radio atau telivisi.
Tepat jam 13, Joe datang dengan sekantong perkakas barunya. Sepertinya dari wajahnya tersirat wajah puas, puas mendapat barang bagus dan tentunya murah. Kami langsung menuju halte busway untuk kembali berkerja di perusahaan kami. Didalam busway, sambil menatap kawasan glodok dari dalam jendela aku bergumun pelan kepada Joe.
”Joe, aku yakin dahulu kawasan ini pasti lah area persawahan yang subur.”
”Lha kok” Joe bertanya tidak mengerti.
”Iya, dahulu pasti disini banyak petani dan kerbau yang sedang membajak sawah. Berhubung sawahnya di jadiin ruko, petaninya tidak bisa membajak sawah. Makanya sekarang terpaksa mereka membajak Vcd”, jawabku.
”Gundulmu” tawa Joe terkekeh.
Sempai kulirik seorang bapak yang membawa koran dengan artikel tentang dosen di bandung yang diduga menjiplak karya tulis orang lain juga ikutan terkekeh.
Sampai dikantor, aku melihat ada beberapa spanduk bekas demonstrasi karyawan kami. Dan beberapa tuntutan kepada dirut baru. Oh, aku jadi ingat dengan dirut yang lama. Dirut lama perusahaan kami pernah juga menulis sebuah artikel tentang pesaing yang selalu memakai jurus ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) dalam menghadapai kompetisi. Pak Dirut lama juga mengingatkan agar tidak khawatir dengan jurus pesaing tersebut dan tetep fokus dan menjaga DNA Inovasi perusahaan...
Hohoho, kata-kata yang keren. DNA Inovasi. Cuman lama-lama aku jadi berfikir, knapa kok DNA Inovasi? Knapa bukan DNA Kreasi atau DNA Pembuat?
Apa memang sebenarnya tidak ada penemuan yang benar-benar orisinil? Bahkan setelah aku melihat tontonan di BBC Channel, aku jadi berfikir bahwa bisa jadi karya Leonardo da Vinci banyak terinspirasi atau malah cuman penulisan ulang dari penemuan teknokrat muslim masa lalu. Dan setelah sedikit membaca cuplikan buku ” 1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World” yang dijadikan referensi BBC Channel, kok rasanya semakin menguatkan dugaanku.
Aku juga pernah bertanya kepada guru Aikido-ku, sebut saja Hakim Sensei knapa kok Aikido bisa mirip esensinya dengan Silat Cikalong Pancer Bumi? Apakah jangan-jangan Aikido menjiplak Silat Cikalong atau sebaliknya? Padahal Aikido yang merupakan kristalisasi Aikijujitsu ini dipopulerkan oleh Morihei Ushieba yang lahir tahun 1883 di Jepang sedangkan Silat Cikalong adalah hasil perenungan dari Raden Haji Ibrahim Jayaperbata setelah pulang dari naik haji di Mekah. Raden Haji ini kelahiran 1816 dan tinggal di Cianjur, desa Cikalong-Cikundul Jawa Barat.
Hakim Sensei cuman tersenyum dan berkata:
”Pak Hazmi, kalo Alloh berkehendak, kepada siapa dan dimana ilmu pengetahuan di bagikan itu bukan suatu masalah. Mau yang satu di Jepang atau di Sunda itu gampang-gampang saja, itu hak preogratif Alloh untuk membaginya.”.
”Sekarang masalahnya, pak Hazmi mau rajin latihan tidak?”
”heheheh” aku hanya tersenyum nyengir, ketahuan tukang bolosnya.
.........
”Bapak, komputelnya lusak”, kata thole suatu sore.
”aku jadi nggak bisa main Bobbi Bola” imbuhnya.
”ah, itu dirusakin mas Thole pak!” seru istriku.
”loh, kok dirusakin mas?”, tanyaku kepada thole.
”Nggak nglusakin, aku kan pengen kayak bapak, mencet-mencet komputel”. Jawab anakku yang masih berumur 3 tahun tapi hobbi main edugames Bobi Bola polos.
......
Jawaban thole jadi membuatku jadi terseret dimasa lalu. Saat itu aku juga suka sekali meniru bapak dan ibuku. Apalagi kalau diajak ke kantornya ibuku pada hari minggu. Aku suka sekali mendengar suara mesin ketik dan dentingan ’ting’ kala spasinya sudah mentok di meja kantornya.
Aku menulis apa sa ja yang aku hapal dari buku pelajaran, dari Pancasila, UUD45, nama-nama menteri kabinet sampai puisi Ibu Kartini yang semuanya sangat aku hapal luar kepala. Dari semua ketikan, puisi Ibu Kartini lah yang paling rapi. Aku suka sekali melihatnya. Sepertinya, ketikankulah yang paling indah. Aku juga mengetik amplop surat dengan alamat majalah yang juga aku hapal luar biasa, karena seringnya mengirim kuis TTS di majalah tersebut.
Tiba-tiba, ibuku sudah selesai dari tugasnya di meja sebelah ku. Ibu menyuruhku menyingkirkan kertas-kertas berantakan dimeja tempat aku mengetik. Aku menurut saja, sambil membuang lembar ketikan yang tidak rapi. Kecuali puisi Ibu Kartini yang aku masukan amplop yang rencananya akan aku simpan untuk aku lihat-lihat, aku merasa, ketikan itu adalah hasil prakarya yang hebat.
Tapi entah kenapa ibuku sangat tergesa-gesa, belum sempat aku titipkan ke tas ibu. Ibu menarikku dari kursi dan bergegas keluar dari kantornya.
Sambil diseret ibu keluar ruangan, aku sempat melirik kembali amplop puisi itu. Aku ingat sekali, amplop itu tergeletak di meja sebelah meja ibuku tempatku mengetik.
Dan amplop putih itu, tidak ada perangko-nya..
[Jakarta, 23 Februari 2010]
buku 1001 Inventions :
http://www.al-rashad.com/index.php?main_page=product_info&products_id=861
Aikido dan Silat Cikalong :
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1050
http://silatbogor.multiply.com/photos/album/21
Aku duduk terdiam di kursi. Bapak dan ibu menatapku dengan tajam. Sepertinya mereka kecewa sekali. Meja kayu jati yang membatasi kami tampak tergeletak sebuah majalah anak-anak, sumpah aku lupa apa namanya. Lengkap dengan lembar wesel dan lembaran surat beramplop putih.
Aku yang masih SD kelas 2 itu tentu saja sedikit gemetaran. Aku biasa dimarahi bapak, tapi itu juga sudah menjadi biasa bagiku menghadapi tamperamen bapak. Paling juga ujung-ujungnya dipukul kakinya pakai ikat pinggang. Udah kebal.
Cuman yang aku risau adalah ibu, ibu yang biasannya selalu membelaku tampak memendam kemarahan sekaligus kekecewaan. Aku belum pernah melihat ibu seperti itu. Ibu mulai membuka mulut dengan nada bergetar.
”bener mas ini bukan karangan kamu?” Kata ibu sambil membuka halaman kolom puisi.
"Mik, jawab! Jangan diam saja!" Bentak bapak.
”Ibu dapat teguran dari majalah, katanya puisimu ini jiplakan dari buku pelajaran sekolah. Kok kamu gitu to Le”, kata ibu dengan mata berkaca kaca.
Aku menunduk. Diam.
"Wes jan! Ngisin ngisini! Karya jiplakan kok di kirim ke majalah!" kata bapak sinis.
Mendengar kata itu, aku jadi meradang, mulai mengankat kepala dan membalas tatapan mata bapak. Aku tidak suka kalimat terakhir bapak.
Ibu mulai khawatir, saat melihat 2 mata harimau beradu.
CTAR!
Suara ikat pinggang pun akhirnya terdengar membentur sesuatu. Ya.. Itu suara benturan kakiku. Bapakku tidak suka anaknya melawan, walau cuman dengan tatapan mata. Perih. Tapi yang satu ini, aku tidak menangis. Aku tetap diam saja.
.....
Diam-diam aku membuka tutup Vicks Inhaler yang sengaja aku kantongin waktu Joe mengajakku naik busway jurusan kota itu. Itulah senjataku melawan bau ketek orang yang tangannya sedang mengangkat tangannya, berpegangan di gantungan busway. Kuhirup vicks itu denga gerakan se-elegan mungkin, aku tidak mau menyakiti hati orang itu dengan gerakan ekstrovet menutup hidung dengan tissu atau sapu tangan. Walau sebenarnya, sumpah, aku mau muntah.
Sesampainya di halte glodok, aku langsung berhamburan keluar. Selamat sudah dari bencana bau ketek itu. Untung saja busway memenuhi janjinya untuk memangkas waktu tempuhnya. Joe terkekeh melihat manuverku keluar dr busway. Seperti ninja kegendutan katanya. Kekekekeke
Glodok, itulah surga kami. Aku dan Joe suka sekali berkunjung disini. Setidaknya sebulan sekali lah. Kami selalu tepat setengah 12 kami kabur pas jam makan siang disini dan kami selalu memastikan jam setengah 2 harus sudah kembali ke kantor.
Kami merasa, Glodok mirip dengan kantong doraemon, semuanya ada. Dari baterai jenis apa saja sampai baut beraneka rupa. Dari elektronik dengan merek plesetan sampai vcd bla-bla-bla..
“Baru neh bos”, kata abang bermuka kotak menyodorkan beberapa keping vcd nya sambil colak-colek.
Aku berbalik badan dengan gaya PBB (peraturan baris berbaris) ala anak pramuka.
“Udah punya” jawabku sambil menatap si abang bermuka kotak.
Sepertinya si abang sedikit gentar, tidak melanjutkan marketing maksanya. Aku paling tidak suka di colek-colek gitu. Penjual vcd yang berada balik pagar pembatas jalan Gajahmada itu sangat menyebalkan. Aku memilih ngeloyor menuju sisi timur, mendekati arah Jalan Pinangsia. Disana penjualnya tidak terlalu arogan, mungkin karena saking banyaknya pilihan dan saingan.
Aku geleng-geleng kepala melihat tumpukan vcd yang luar biasa banyaknya. Ada lagu, film, software sampai (oke aku tulis).. Bokep. Ada!
”Mbak, emang gak takut razia?” tanyaku ke mbak penjaga konter vcd.
“lah sudah jarang razia mas” jawabnya sambil menata tumpukan kepingan vcd tanpa melihat wajahku.
“oh....” hanya itu komentarku.
Jam makin mendekati pukul 13 siang. Si Joe masih belum tampak dari tempat kami janjian. Dan tiba-tiba masuk sebuah SMS dari operator seluler yang memberitahukan bahwa I-ring (NSP) ku di perpanjang otomatis dengan biaya sebesar 5000 belum termasuk PPN.
Pantes pikirku, artis sekarang gak ngamuk-ngamuk lagi ama vcd bajakan. Lha wong tolak ukur kesuksesan lagu sudah bukan hanya jumlah kaset dan cd yang terjual, tapi juga berapa banyak cuplikan lagunya di download di telepon seluler.
Aneh, dari barang yang sama. Sebuah keping copian CD Lagu, dulu adalah musuh artis yang harus diberangus, sekarang berubah fungsi malah jadi bagian promosi tak jauh berbeda dengan radio atau telivisi.
Tepat jam 13, Joe datang dengan sekantong perkakas barunya. Sepertinya dari wajahnya tersirat wajah puas, puas mendapat barang bagus dan tentunya murah. Kami langsung menuju halte busway untuk kembali berkerja di perusahaan kami. Didalam busway, sambil menatap kawasan glodok dari dalam jendela aku bergumun pelan kepada Joe.
”Joe, aku yakin dahulu kawasan ini pasti lah area persawahan yang subur.”
”Lha kok” Joe bertanya tidak mengerti.
”Iya, dahulu pasti disini banyak petani dan kerbau yang sedang membajak sawah. Berhubung sawahnya di jadiin ruko, petaninya tidak bisa membajak sawah. Makanya sekarang terpaksa mereka membajak Vcd”, jawabku.
”Gundulmu” tawa Joe terkekeh.
Sempai kulirik seorang bapak yang membawa koran dengan artikel tentang dosen di bandung yang diduga menjiplak karya tulis orang lain juga ikutan terkekeh.
Sampai dikantor, aku melihat ada beberapa spanduk bekas demonstrasi karyawan kami. Dan beberapa tuntutan kepada dirut baru. Oh, aku jadi ingat dengan dirut yang lama. Dirut lama perusahaan kami pernah juga menulis sebuah artikel tentang pesaing yang selalu memakai jurus ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) dalam menghadapai kompetisi. Pak Dirut lama juga mengingatkan agar tidak khawatir dengan jurus pesaing tersebut dan tetep fokus dan menjaga DNA Inovasi perusahaan...
Hohoho, kata-kata yang keren. DNA Inovasi. Cuman lama-lama aku jadi berfikir, knapa kok DNA Inovasi? Knapa bukan DNA Kreasi atau DNA Pembuat?
Apa memang sebenarnya tidak ada penemuan yang benar-benar orisinil? Bahkan setelah aku melihat tontonan di BBC Channel, aku jadi berfikir bahwa bisa jadi karya Leonardo da Vinci banyak terinspirasi atau malah cuman penulisan ulang dari penemuan teknokrat muslim masa lalu. Dan setelah sedikit membaca cuplikan buku ” 1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World” yang dijadikan referensi BBC Channel, kok rasanya semakin menguatkan dugaanku.
Aku juga pernah bertanya kepada guru Aikido-ku, sebut saja Hakim Sensei knapa kok Aikido bisa mirip esensinya dengan Silat Cikalong Pancer Bumi? Apakah jangan-jangan Aikido menjiplak Silat Cikalong atau sebaliknya? Padahal Aikido yang merupakan kristalisasi Aikijujitsu ini dipopulerkan oleh Morihei Ushieba yang lahir tahun 1883 di Jepang sedangkan Silat Cikalong adalah hasil perenungan dari Raden Haji Ibrahim Jayaperbata setelah pulang dari naik haji di Mekah. Raden Haji ini kelahiran 1816 dan tinggal di Cianjur, desa Cikalong-Cikundul Jawa Barat.
Hakim Sensei cuman tersenyum dan berkata:
”Pak Hazmi, kalo Alloh berkehendak, kepada siapa dan dimana ilmu pengetahuan di bagikan itu bukan suatu masalah. Mau yang satu di Jepang atau di Sunda itu gampang-gampang saja, itu hak preogratif Alloh untuk membaginya.”.
”Sekarang masalahnya, pak Hazmi mau rajin latihan tidak?”
”heheheh” aku hanya tersenyum nyengir, ketahuan tukang bolosnya.
.........
”Bapak, komputelnya lusak”, kata thole suatu sore.
”aku jadi nggak bisa main Bobbi Bola” imbuhnya.
”ah, itu dirusakin mas Thole pak!” seru istriku.
”loh, kok dirusakin mas?”, tanyaku kepada thole.
”Nggak nglusakin, aku kan pengen kayak bapak, mencet-mencet komputel”. Jawab anakku yang masih berumur 3 tahun tapi hobbi main edugames Bobi Bola polos.
......
Jawaban thole jadi membuatku jadi terseret dimasa lalu. Saat itu aku juga suka sekali meniru bapak dan ibuku. Apalagi kalau diajak ke kantornya ibuku pada hari minggu. Aku suka sekali mendengar suara mesin ketik dan dentingan ’ting’ kala spasinya sudah mentok di meja kantornya.
Aku menulis apa sa ja yang aku hapal dari buku pelajaran, dari Pancasila, UUD45, nama-nama menteri kabinet sampai puisi Ibu Kartini yang semuanya sangat aku hapal luar kepala. Dari semua ketikan, puisi Ibu Kartini lah yang paling rapi. Aku suka sekali melihatnya. Sepertinya, ketikankulah yang paling indah. Aku juga mengetik amplop surat dengan alamat majalah yang juga aku hapal luar biasa, karena seringnya mengirim kuis TTS di majalah tersebut.
Tiba-tiba, ibuku sudah selesai dari tugasnya di meja sebelah ku. Ibu menyuruhku menyingkirkan kertas-kertas berantakan dimeja tempat aku mengetik. Aku menurut saja, sambil membuang lembar ketikan yang tidak rapi. Kecuali puisi Ibu Kartini yang aku masukan amplop yang rencananya akan aku simpan untuk aku lihat-lihat, aku merasa, ketikan itu adalah hasil prakarya yang hebat.
Tapi entah kenapa ibuku sangat tergesa-gesa, belum sempat aku titipkan ke tas ibu. Ibu menarikku dari kursi dan bergegas keluar dari kantornya.
Sambil diseret ibu keluar ruangan, aku sempat melirik kembali amplop puisi itu. Aku ingat sekali, amplop itu tergeletak di meja sebelah meja ibuku tempatku mengetik.
Dan amplop putih itu, tidak ada perangko-nya..
[Jakarta, 23 Februari 2010]
buku 1001 Inventions :
http://www.al-rashad.com/index.php?main_page=product_info&products_id=861
Aikido dan Silat Cikalong :
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1050
http://silatbogor.multiply.com/photos/album/21